21 Maret 2008

AJI tetapkan upah minimum jurnalis Rp4,1 juta

JAKARTA (Bisnis): Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menetapkan Rp4,1 juta sebagai upah layak minimum bagi jurnalis muda di Jakarta yang baru diangkat menjadi karyawan tetap.

Standar upah ini ditentukan bukan berdasarkan upah minimum regional (UMR), tapi berdasarkan komponen dan harga kebutuhan hidup layak pada 2008. Caranya, melalui pengukuran perubahan biaya hidup disesuaikan dengan kenaikan inflasi dan harga barang di pasaran.

“Standar ini kami keluarkan agar profesionalisme jurnalis bisa ditingkatkan,” kata Koordinator Divisi Serikat Pekerja Winuranto Adhi dalam acara “Jurnalis Tolak Amplop: Perjuangkan Upah Layak Rp4,1 juta” di kantor AJI Jakarta, Selasa malam.

Survei AJI menyebutkan dari sekitar 850 media cetak yang masih terbit di awal 2008, hanya 30% yang sehat bisnis. Dari sekitar 2.000 stasiun radio dan 115 stasiun televisi pada waktu yang sama, hanya 10% yang sehat bisnis.

Menurut Winurantho, kondisi industri media yang belum matang inilah yang kerap menjadi alasan pembenar bagi pengusaha pers untuk tetap menggaji rendah jurnalisnya. Oleh karena itu, standar upah ini diharapkan bisa menjadi acuan jurnalis dalam melakukan penawaran dengan media tempat mereka bekerja.

“Upah sebesar Rp4,1 juta ini tidak akan jadi apa-apa bila hanya AJI yang memperjuangkannya. Sebaliknya, Rp4,1 juta ini akan jadi apa-apa atas dukungan serikat pekerja media dan para jurnalis,” tutur Jajang Jamaludin, Ketua AJI Jakarta

Berdasarkan survei gaji jurnalis Jakarta 2008 (setelah diangkat menjadi karyawan tetap) oleh AJI, lima media dengan gaji jurnalis terbesar antara lain Bisnis Indonesia sebesar Rp4,5 juta, Kompas sebesar Rp4,1 juta, Kontan Rp3,9 juta, Media Indonesia Rp3,1 juta, dan Jurnal Nasional Rp3 juta. (tw)

(Sumber: plinplan on March 21st, 2008 @ 11:03:16)

20 Maret 2008

Mempersiapkan Dan Merancang Masa Pensiun


Saat usia sudah mencapai kepala empat dan karir sudah berada di puncak, tak ada salahnya untuk mulai memikirkan kemungkinan mengambil pensiun dini untuk mendapatkan kehidupan yang lebih tenang dan nyaman bersama keluarga.

Pensiun adalah satu tahap kehidupan yang membahagiakan, terutama bila Anda mampu merencanakannya dengan baik. Dalam merencanakan pensiun, berikut hal-hal yang harus Anda persiapkan:

A. Masa pra-pensiun: usia 40-60 tahun.

Masa ini adalah masa untuk menginventarisir diri dan mempersiapkan hidup ke depan. Terlepas dari mendapat pensiun atau tidak, sebaiknya Anda tetap mempersiapkan kebutuhan finansial Anda saat pensiun nanti.

Ada tiga faktor penting yang harus mulai Anda sesuaikan:

1. Rasa aman di bidang keuangan. Mulai menabung dan berinvestasi secara bijak sejak muda. Untuk itu perlu disiplin dan sedikit kerugian.
2. Tetap sehat. Caranya dengan mengendalikan berat badan, berolahraga teratur dan mengkonsumsi makanan sehat dengan gizi seimbang demi kesehatan dan kebugaran Anda.
3. Selalu bersikap positif. Tetap optimis memandang masa depan, adalah obat mujarab di masa pensiun.

Mengembangkan sikap positif antara lain:

- Merencanakan kehidupan setelah bekerja, misalnya kesibukan apa lagi yang dapat dilakukan setelah tidak berkantor?
- Cobalah sibukkan diri dengan kegiatan atau hobi, bisa juga dengan mengembangkan diri dan pengayaan pengetahuan lain yang menarik bagi Anda.
- Jika ingin tetap sehat di masa pensiun, tetaplah bergaul dan jangan mengucilkan diri.
- Lakukan olahraga dan dukungan emosional akan memberi kesehatan yang baik. Kurangnya kontak sosial akan menurunkan jumlah hormon tertentu yang mempengaruhi sistim kekebalan tubuh.
- Lakukan segala aktivitas yang mampu meningkatkan kehidupan sosial dan fisik.

B. Masa pensiun dini, pertimbangkan dengan baik.

Tanyakan pada diri Anda, sudah dapatkah Anda pensiun dini? Apa yang akan Anda lakukan bila pensiun dini?

- Rencanakan apa yang ingin dilakukan di waktu-waktu bebas, apakah Anda akan mendapat uang pesangon bila meminta pensiun dini?
- Bagaimana menyiasati kegiatan rutin yang sudah terbiasa dilakukan, pilah kegiatan apa yang harus menjadi prioritas.
- Menyiasati kegiatan rutin yang sudah terbiasa dilakukan. Mulailah memilah kegiatan dan mana yang perlu menjadi prioritas.
- Jika perlu, lakukan simulasi yang melibatkan keluarga. Sebab seisi rumah pun harus terbiasa dengan pensiun dini yang Anda putuskan.

C. Jika harus pensiun akibat pengurangan karyawan atau sakit.

Siap atau tidak siap, Anda harus memasuki masa pensiun. Bagi yang tak siap sebelumnya, masa ini akan menimbulkan stres dan membangkitkan emosi. Untuk beberapa saat, Anda akan terlihat kehilangan, murung, gelisah, cemas, depresi ringan atau terbuai masa lampau (post power syndrome).

Yang bisa Anda lakukan:

- Lakukan berbagai kegiatan agar tetap aktif, kerjakan segala sesuatu secara disiplin untuk mempertahankan kontinuitas dan pola hidup. Misalnya, tetap bangun pagi, sarapan, baca koran, berjalan kaki.
- Isi dengan kegiatan intelektual, seperti main catur, mengisi Teka Teki Silang (TTS). Kemampuan mental tak akan merosot seiring berjalannya usia. "Gunakan atau hilang" pepatah ini berlaku untuk pikiran maupun tubuh.
- Menekuni hobi atau bersekolah lagi.
- Menjadi relawan, sehingga Anda dapat menyalurkan kemampuan atau terlibat dalam kegiatan rohani.
- Tetaplah bergaul dan menjaga silaturahmi agar tidak merasa sendirian.
- Penting untuk membuat perencanaan dan tetap aktif di masa pensiun, agar hidup tetap menyenangkan bagi Anda.

(YSM)
(Sumber: halo-halo.betterlife, better future.)

Mereka yang Mundur dan Dipecat

Sejumlah perusahaan di AS, mulai dari lembaga keuangan sampai kedai kopi, memecat para eksekutifnya karena kinerja perusahaan memburuk.

Seorang pemimpin perusahaan harus mampu meningkatkan dan mempertahankan kinerja perusahaan. Jika gagal, ia harus siap lengser. Pilihannya: mengundurkan diri atau dipecat. Fenomena semacam ini bisa dilihat dalam beberapa bulan terakhir. Krisis subprime mortgage yang menerjang AS sejak Juli lalu membuat beberapa eksekutif puncak mengundurkan diri atau dipecat.

Stanley O'Neal, CEO Merrill Lynch & Co., adalah salah satunya. Ia harus mengakui kegagalannya dan memilih mengundurkan diri dari perusahaan yang telah lima tahun dipimpinnya. Akibat krisis subprime mortgage, Merrill Lynch mengalami kerugian terbesar sepanjang 93 tahun terakhir. Pada 24 Oktober 2007, perusahaan ini melaporkan telah mengalami pengurangan nilai aset (writedown) US$8,4 miliar, dan merugi US$2,24 miliar atau US$2,82 per saham.

Pukulan itu membuat harga saham Merrill Lynch ambruk dan merupakan rekor terburuk dalam lima tahun terakhir. Saham bank investasi itu anjlok 32% menjadi US$61,40 pada hari pelaporan writedown tersebut. Pendapatan Merrill Lynch pun dilaporkan jatuh 94% menjadi US$577 juta. Standard & Poor's (S&P), Fitch Ratings, dan Moody's Investors Service semuanya menurunkan peringkat kredit Merrill Lynch. S&P memotong peringkat surat utang Merrill Lynch dari AA- menjadi A+.

Menurut Geisst, penulis buku 100 Years of Wall Street, sebagaimana dikutip Bloomberg, kerugian sebesar itu hanya pernah terjadi ketika krisis utang dunia ketiga meledak pada 1980. “Bahkan saat itu pun kerugiannya tidak sebanding dengan yang sekarang ini,” ujar Geisst. Kondisi inilah yang akhirnya membuat O’Neal memutuskan mundur dari jabatannya pada 31 Oktober 2007 lalu. Pria 56 tahun itu merupakan CEO pertama Wall Street yang kehilangan jabatannya setelah terjadinya krisis subprime mortgage.

Pengganti O'Neal adalah John Thain, CEO dari NYSE Euronext, yang juga pernah menjabat sebagai eksekutif di Goldman Sach selama dua dekade. Thain dikenal sebagai sosok yang optimis. Saat ia bergabung dan menjadi CEO NYSE Euronext (NYX) pada 2004, kinerja dan citra bursa itu dalam kondisi terburuk sepanjang sejarahnya. Namun, Thain yakin dia mampu membangkitkan kembali kinerja NYX. Hasilnya sungguh memukau. Thain mampu melakukan transformasi besar-besaran sepanjang 215 tahun sejarah bursa saham NYX. Selama ia memimpin, transaksi saham di NYX meningkat tajam mencapai 600%, dan membuat NYX sebagai bursa Trans-Atlantik pertama. Tak hanya itu, pada 2005 ia pun mampu menjadikan NYX sebagai lembaga usaha bisnis yang dapat membukukan laba. Kemudian, pada 2006, ia mengakuisisi bursa saham Euronext NV yang berbasis di Paris senilai US$14,4 miliar.

Selain Merrill Lynch, lembaga keuangan lain di AS juga banyak mengalami kerugian. Citigroup, misalnya, rugi US$11 miliar. Harga saham perusahaan yang memiliki aset sekitar US$2,2 triliun itu merosot 32% pada 2007, dua kali lebih besar daripada Bank of America Corp dan JPMorgan Chase & Co. Kerugian tersebut dialami Citigroup akibat investasi sebesar US$55 miliar di subprime mortgage. Ini juga yang membuat Charles Prince, chairperson dan CEO Citigroup, mengikuti jejak O’Neal. Ia mengundurkan diri pada 5 November 2007 lalu.

Merujuk laporan kuartal III-2007, pendapatan Citigroup hanya mencapai US$22,4 miliar, dengan keuntungan bersih US$2,21 miliar. Angka keuntungan ini menurun 60% dibanding periode yang sama tahun lalu. Akibatnya, Citigroup berencana mengurangi 45.000 karyawannya hingga akhir 2008.

Pengganti Prince adalah Vikram Pandit, mantan eksekutif Morgan Stanley. Berbeda dengan Thain yang kemampuannya tidak diragukan lagi oleh banyak kalangan di AS, kemampuan Pandit justru masih dipertanyakan. Pasalnya, track record-nya sebagai eksekutif belum teruji. Sebelum menjadi CEO Citigroup, Pandit bekerja di Old Lane Partners, perusahaan yang bergerak di bidang investasi, yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Citigroup. Di Morgan Stanley, pria kelahiran Nagpur, India, 50 tahun lalu ini telah berkarier lebih dari 20 tahun dengan jabatan tertinggi sebagai chief operating officer (COO).

Tak hanya O’Neal dan Prince, ternyata James Cayne, CEO Bear Stearns, juga mengundurkan diri pada 9 Januari lalu setelah mengumumkan perusahaannya membukukan kerugian US$1,9 miliar sepanjang 2007. Angka ini merupakan pencapaian terburuk pertama kalinya dalam sejarah 84 tahun perusahaan tersebut. Selain itu, harga saham perusahaan anjlok 53% di pasar New York sepanjang 2007. Menurut The Wall Street Journal, Cayne kemungkinan digantikan oleh Alan Schwartz, president Bear Stearns dan seorang bankir investasi yang terkenal dengan kemampuannya dalam pencapaian kesepakatan transaksi.

Mereka yang Dipecat

Jika para CEO Merrill Lynch, Citigroup, dan Bear Stearns memilih pensiun dini ketimbang dilengserkan, nasib yang berbeda dialami beberapa eksekutif puncak perusahaan terkemuka di AS. Mereka dipecat! Mereka itu, di antaranya, CEO Morgan Stanley Zoe Cruz, CEO Canadian Imperial Bank of Commerce (CIBC) World Markets Brian Shaw, Chief Risk Officer (CRO) CIBC Ken Kilgour, dan CEO Starbucks Corp. Jim Donald.

Morgan Stanley memecat Zoe Cruz karena perempuan berusia 52 tahun itu dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kerugian perusahaan yang mencapai US$3,7 miliar pada kuartal IV-2007. Kerugian yang diderita Morgan Stanley juga disebabkan oleh krisis subprime mortgage. Padahal, Cruz pernah dinobatkan oleh sebuah majalah sebagai perempuan ke-4 dari daftar 50 perempuan paling berpengaruh di AS. Cruz digantikan oleh John Mack.

Sementara itu, CIBC memecat dua eksekutifnya karena bank tersebut mengalami kerugian terbesar di antara bank-bank Kanada lainnya, yakni mencapai US$3 miliar. Dalam pernyataan yang dirilis pihak perusahaan yang berbasis di Toronto itu, Brian Shaw, CEO CIBC World Markets, akan digantikan oleh Richard Nesbitt, CEO TSX Group Inc. Adapun Ken Kilgour, CRO CIBC, akan digantikan Tom Woods, chief financial officer (CFO) CIBC.

Alasan yang tak jauh berbeda juga diambil oleh Howard Schultz, chairman Starbucks Corp., ketika pada 7 Januari lalu memecat Jim Donald dari posisinya sebagai CEO perusahaan jaringan penjual kopi terbesar di dunia itu. Semasa kepemimpinan Donald, kinerja Starbucks memburuk. Pemecatan Donald itu disebabkan oleh anjloknya harga saham perusahaan hingga 50% sepanjang 2007, menyusul penurunan penjualan di beberapa gerainya.

Schultz akan mengambil alih peranan Donald sebagai CEO. Ia juga menandaskan masih akan menjadi eksekutif teratas Starbucks untuk jangka panjang. Selain memecat Donald, dalam merestrukturisasi perusahaan Schultz juga berencana menutup beberapa gerai Starbucks di AS, dan mengurungkan niatnya untuk membuka sejumlah gerai baru. Belum diketahui berapa banyak gerai kopi yang akan ditutup oleh Starbucks Corp. Seperti yang dilaporkan Associated Press, Starbucks menyebut pergantian kepemimpinan itu sebagai bagian dari rangkaian inisiatif perusahaan, termasuk penutupan beberapa gerai kopi di AS yang formatnya buruk dan kinerjanya tidak terlalu bagus.

Starbucks memang berjuang keras melawan kerugian dalam beberapa bulan terakhir, seiring dengan penurunan daya beli masyarakat, penurunan nilai rumah, dan kenaikan harga minyak mentah. Sebaliknya, sejumlah pesaing Starbucks, seperti Dunkin' Donuts dan McDonald’s Corp., justru “menyerobot” para konsumen Starbucks dengan meluncurkan gerai-gerai kopi sendiri.

Mengutip dokumen-dokumen internal McDonald's, Wall Street Journal edisi Senin, 7 Januari 2008, melaporkan bahwa jaringan restoran makanan cepat saji terbesar di dunia itu akan menambahi gerai-gerai kopinya dengan sejumlah barista penyedia cappuccino dan kopi es di 14.000 lokasi.

Mampukah CEO-CEO baru itu memperbaiki kinerja perusahaannya yang tengah terpuruk? Jika gagal, mereka harus siap mundur atau dipecat!

(Selasa, 4 Maret 2008 11:25 WIB - wartaekonomi.com/ EVI RATNASARI)

Catatan admin: Mampukah kita mendepak bos-bos kecil maupun menengah yang jelas-jelas tidak punya prestasi dan diam-diam menghancurkan perusahaan?

Pasca Pensiun Dini: Saat “Gelombang” dalam Genggaman

Sejumlah eksekutif sukses mengelola bisnis sendiri setelah ikut pensiun dini. Mereka menikmati betul fleksibilitas mengatur waktu.

Belakangan ini Melyani sangat sibuk. Niat ibu tiga anak ini mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) memaksanya bekerja ekstra keras. Sambil menunggu izin dari Bank Indonesia, wanita berparas cantik ini terus menghitung kebutuhan SDM-nya. Ia butuh seorang direktur, beberapa manajer, dan staf administrasi. “Sebenarnya, saya juga ingin menampung rekan-rekan yang terkena program pensiun dini sukarela (PPDS) dari beberapa bank. Tapi, nantilah jika sudah siap,” ungkap wanita yang menghabiskan sebagian besar kariernya di bisnis perbankan ini.

Meski tak ikut PPDS, Melyani contoh eksekutif bank yang memutuskan pensiun lebih cepat. Saat berhenti dari Bank Bali tahun 1999, wanita berkulit putih ini adalah kepala cabang Bank Bali, Bintaro, Tangerang. Kantor cabang yang ia pimpin pernah meraih peringkat ke-3 dalam perolehan penjualan valas Bank Bali se-Jabodetabek. Maka, tak heran jika para direksi pun sempat “menahan” kepergian Melyani. Namun, niatnya merintis bisnis sendiri sudah bulat. “Saya melihat ada peluang besar jika membuka usaha valas sendiri,” ungkap wanita yang akhirnya mendirikan PT Molindo Viega Egitama, perusahaan money changer yang kini berjalan sembilan tahun, ini.

Lain Melyani, lain pula Nina, sebut saja begitu. Terpincut program “golden handshake” yang ditawarkan PT Garuda Indonesia, ibu dua anak ini pun pensiun lebih cepat. Hasilnya, segera setelah uang mengucur ke koceknya, sebuah rumah seharga Rp300 juta ia beli. Kontan. Sayang, tak lama kemudian, sang suami yang bekerja di sebuah bank swasta ikut terkena PHK. Banknya dilikuidasi. Keduanya lalu membuka toko obat dan perkebunan pohon nilam. Namun, bisnis mereka kandas. Untunglah kini Nina telah kembali bekerja sebagai eksekutif di BUMN dalam bidang percetakan.

Kisah tadi menggambarkan betapa pensiun dini memang punya daya pikat: peluang untuk meraih segepok uang, sementara di tempat lain pekerjaan baru menanti. Bagi yang berjiwa bisnis, pesangon PPDS adalah modal yang terlalu besar untuk diabaikan. Selain itu, masih ada sederat alasan lainnya.

Riyanto Gozali, misalnya, mundur dari PT Astra Graphia Tbk., ketika merasa kinerjanya telah mencapai puncak. Padahal, kala itu bisa saja ia bertahan hingga pensiun. Namun, ia toh memilih keluar dan bergabung sebagai managing director di PT Prosys Bangun Persada, sekaligus ikut memiliki saham di perusahaan itu.

Ayu Bisono, mantan country manager software PT IBM Indonesia, pun memperpendek kerja profesionalnya justru ketika kariernya tengah mencorong—meski kesehatannya juga rawan akibat penyakit Lupus. Semula, Ayu diberi kesempatan memilih rehat panjang (2–3 tahun) dan boleh kembali ngantor tanpa kehilangan status dan karier. Namun, Desember 2005, setelah berkarier selama 14 tahun, Ayu memilih keluar. Ia lalu menggeluti bisnis yang lama ia rintis bersama sepupu dan sahabatnya. “Dulu saya cuma setor uang, tak pernah ikut menjalankan. Kini, saya terjun langsung karena punya waktu lebih banyak lagi,” kata direktur CV Bakoelan ini.

Lebih Fleksibel

Setelah belasan tahun menjadi orang gajian, merintis bisnis sendiri tentu tidak mudah. Ini diakui Riyanto dan Ayu. Riyanto mesti menahan diri untuk tak membabi buta menerapkan manajemen ala Astra di bisnis barunya. Sementara itu, Ayu harus berlelah-lelah soal dirinya saat ikut pameran. “Sampai capek saya menerangkan kalau sudah mundur dari IBM dan kini mengelola usaha sendiri,” kata wanita yang berbisnis handicraft berlabel “Bakoelan” ini.

Berbekal pengalaman semasa di IBM, Ayu mengaku tak sulit mengelola bisnisnya. Bahkan, pengalamannya di bisnis teknologi informasi (TI) membuatnya punya kelebihan dibanding UKM lainnya. Misalnya, sejak awal ia telah memanfaatkan kemajuan TI dalam memasarkan produknya. Kalau toh ada yang harus diadaptasinya, itu adalah strategi berkomunikasi. Ia mesti membiasakan diri berkomunikasi dengan para perajin yang level pendidikannya jauh berbeda dengan koleganya semasa di IBM. Jejaring bisnisnya juga jauh berbeda dengan semasa ia berkecimpung di industri TI.

Akan halnya Riyanto, ia harus menghadapi konflik saat ingin mengubah manajemen ke arah yang lebih baik. Pilihannya, ia kembali mundur atau bertahan, tetapi melakukan sejumlah adjustment. Misalnya, di Astra, para eksekutif level menengah ke atas terbiasa melakukan rapat untuk business forecast secara mingguan. Jadi, di awal bisnisnya, Riyanto mesti mengajari banyak manajernya untuk melakukan hal sejenis. “Kalau saya paksakan, mereka pasti stres. Jadi, saya ajak mereka belajar bersama-sama membuat forecast,” kenangnya.

Meskipun demikian, toh Riyanto dan Ayu mampu bertahan. Apa rahasianya? “Sekarang lebih rileks karena saya bisa menikmati hidup dengan ‘gelombang’ yang disesuaikan dengan kebutuhan sendiri,” kata Riyanto. Ayu senada. Ia merasa lebih fleksibel mengatur waktu karena pekerjaannya dilakukan di rumahnya sendiri. Ia juga bebas menyesuaikan waktu kerja dengan perannya sebagai ibu dari anak-anaknya. Begitulah, pensiun lebih cepat bukanlah kiamat.

(Rabu, 28 Maret 2007 14:12 WIB - wartaekonomi.com/ GENUK CHRISTIASTUTI)

Kiat Pensiun Dini: Cerdik Meracik Pensiun Dini

Program pensiun dini harus mampu memberi manfaat bagi karyawan dan perusahaan. Direktur SDM mesti piawai meraciknya.

RUPS Luar Biasa PT Telkom Tbk. Rabu (28/2) siang itu membahas lima agenda. Namun, baru masuk agenda pertama, restrukturisasi dana pensiun Telkom, ketegangan terjadi. Para pemegang saham minoritas menilai restrukturisasi itu dapat meningkatkan produktivitas perusahaan. Namun, pemerintah, selaku pemegang saham mayoritas, menolak. Alasannya, restrukturisasi akan membebani keuangan Telkom. “Kami tak setuju usulan direksi mengenai restrukturisasi dana pensiun, meski telah mendapat rekomendasi komisaris,” tegas Roes Aryawijaya, deputi Menneg BUMN bidang Pertambangan, Industri Strategis, Energi, dan Telekomunikasi. Roes menilai, jika restrukturisasi dilaksanakan, pemerintah harus menambah dana Rp1,2 triliun.

Debat tentang dana atau program pensiun memang kerap terjadi. Pemegang saham tak ingin program itu memberatkan kinerja perusahaan. Di pihak lain, karyawan jelas menolak jika merasa program yang ditawarkan merugikan mereka. Menurut Lilis Halim, presiden direktur PT Watson Wyatt Indonesia, dalam meracik program pensiun, terutama pensiun dini, agar berjalan mulus, dibutuhkan kepiawaian seorang direktur SDM, khususnya untuk mencegah konflik antara karyawan dan manajemen. Lilis menambahkan, bagi beberapa perusahaan, program pensiun dini sukarela (PPDS) merupakan bagian dari strategi jangka panjang. “Salah satunya, perusahaan punya kesempatan meregenerasi karyawannya,” cetus Lilis.

Alasan strategi jangka panjang pula yang melatarbelakangi Telkom melaksanakan kembali PPDS tahun ini. “Tuntutan masyarakat makin meningkat. Otomatis, kebutuhan SDM yang berkualitas juga makin meningkat,” tutur Faisal Syam, direktur SDM Telkom.

Meski Faisal baru menjabat sebagai direktur SDM Telkom per 28 Februari lalu, ia tidak awam untuk urusan SDM. Sebelumnya ia menjabat senior general manager SDM Telkom. Faisal termasuk penggagas utama PPDS Telkom dan terlibat langsung dalam pembuatan program tersebut.

Dengan jabatan barunya ini, Faisal pasang target, sampai 2010, jumlah karyawan Telkom akan berkurang 6.000 orang. Artinya, dari 27.000 saat ini, akan tinggal 21.000. Untuk tahun ini, Faisal menargetkan 2.200 karyawan Telkom akan dipensiunkan. Perinciannya, 1.800 mengikuti PPDS dan 400 pensiun normal. “Surat keputusan pensiun akan diterima karyawan per 1 April,” ujarnya.

Agar PPDS berjalan mulus, Faisal punya sejumlah strategi. Pertama, ia bandingkan kemampuan keuangan perusahaan dengan jumlah karyawan yang bisa dipensiunkan. Dari sini kemudian dibuat PPDS yang tak memberatkan kinerja perusahaan, tetapi mampu memuaskan karyawan. Kedua, program yang dibuat bersifat sukarela atau tanpa paksaan, tetapi harus memiliki manfaat dan menggiurkan, sehingga karyawan merasa sayang untuk melewatkannya. “Untuk Telkom, kompensasinya berkisar 2–3 tahun gaji,” ungkap pria kelahiran Medan ini.

Ketiga, melibatkan Serikat Pekerja (SP). Menurut Rinaldi Firmansyah, dirut Telkom, mengikutsertakan SP penting guna meminimalkan resistensi yang mungkin timbul akibat ketidakpuasan karyawan. “Kami ajak SP berdiskusi bersama dan ikut membantu menyosialisasikan PPDS,” terang pria kelahiran 6 Februari 1956 itu. Dengan tiga strategi tersebut, PPDS Telkom pun bisa berjalan lancar. Menurut Rinaldi, setiap kali Telkom menggelar program ini, yang mendaftar jauh melebihi target. Untuk tahun ini, sampai pertengahan Maret saja sudah lebih dari 2.000 orang yang mendaftar.

Di sini perusahaan harus hati-hati dalam memutuskan karyawan yang dipensiun. Jika gegabah, perusahaan bisa kehilangan karyawan yang potensial. Oleh karena itu, perlu kriteria yang ketat dan jelas. Beberapa kriteria yang dijadikan pertimbangan, yaitu usia, performance, kompetensi, dan pendidikan. Untuk usia, karyawan yang mengambil pensiun pada usia senja, misalnya 48 tahun, mendapatkan kompensasi tinggi. Jika masih usia produktif, kompensasinya kecil.

Namun, kompensasi menggiurkan tak menjamin suksesnya sebuah program pensiun dini. Contohnya di sebuah perusahaan PMA. Meski kompensasinya menarik, yakni tiga tahun gaji plus paket liburan bersama keluarga, ternyata itu tak mampu memikat karyawan. Pasalnya, muncul kesan program ini adalah strategi perusahaan untuk mendepak karyawan.

Jika menghadapi situasi di atas, menurut Wimbo S. Hardjito, direktur corporate services PT Indosat Tbk., direktur SDM harus mengatasinya. “Kita harus bisa meyakinkan karyawan, ada peluang lain di luar dan pensiun bukanlah akhir perjalanan, melainkan memasuki perjalanan kedua,” tutur Wimbo. Namun, tambahnya, yang paling sulit adalah kalau harus menghadapi teman selevel atau mantan bos. Untuk mereka, pendekatannya tak bisa formal. “Paling efektif adalah bicara dari hati ke hati,” cetus Wimbo.

Sementara itu, kriteria performance, kompetensi, dan pendidikan dipakai untuk melihat apakah unit bisnis perusahaan akan terganggu jika karyawan itu keluar. Jika ya, manajemen bisa menolak permohonan si karyawan. Konsekuensinya, perusahaan harus lebih memperhatikan si karyawan, baik dari sisi karier maupun kesejahteraannya.

Selain itu, perusahaan juga perlu menyelenggarakan pelatihan persiapan pensiun dini bagi karyawan. Menurut Wimbo, pelatihan yang diberikan meliputi motivasi untuk persiapan mental, bagaimana mengelola uang, dan mengubah orientasi dari pegawai menjadi pengusaha.

(Rabu, 28 Maret 2007 14:11 WIB - wartaekonomi.com/ EVI RATNASARI)

Pensiun Dini: Agar Aset Tak (Merasa) Jadi Keset

Bank Mandiri sukses mem-PHK 10.000 karyawannya. PHK juga membuat produktivitas Aneka Tambang melonjak.

Siapa tak kenal PT Dirgantara Indonesa (DI)? Perusahaan yang di masa Orde Baru bernama PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) ini sempat menjadi idaman banyak pekerja. Namun, zaman keemasan DI sudah berakhir. Sejak dihantam krisis, perusahaan yang didirikan oleh mantan Presiden B.J. Habibie ini tak jua bangkit. Hingga kini, DI masih menanggung beban utang sebesar Rp1,5 triliun.

Sebenarnya, sudah banyak cara dicoba untuk membuat DI kembali sehat. Salah satunya dengan pengurangan karyawan. Pada 2003, misalnya, DI melakukan PHK massal. Sebanyak 9.600―dari total 16.000―karyawan terpaksa dipensiun dini. Tujuannya, apa lagi kalau bukan efisiensi biaya. Namun, bukannya DI berhasil keluar dari lilitan masalah, tetapi justru sang dirut, Edwin Sudarmo, yang terancam dipenjara.

Apa yang terjadi di DI, di mata Arvan Padriansyah, managing director Institute for Leadership & Life Management, merupakan pelajaran berharga bagi perusahaan. Pada dasarnya dosen Pascasarjana Universitas Indonesia ini setuju jika perusahaan yang mengalami kelebihan karyawan melakukan program pengurangan. Namun, Arvan mengingatkan, perusahaan perlu hati-hati. Sebab, jika salah mem-PHK, kerugian perusahaan bisa berkali lipat. Pertama, perusahaan harus membayar pesangon yang tak sedikit. Kedua, bisa jadi perusahaan juga kehilangan SDM yang berkualitas, yang justru merupakan aset perusahaan yang paling berharga.

Selain itu, Arvan juga mewanti-wanti agar perusahaan tetap memanusiakan karyawan yang akan terkena PHK. Caranya, dengan memberikan imbalan yang layak. “Jangan ketika butuh saja karyawan dianggap aset, tetapi ketika tidak dibutuhkan lagi, mereka diperlakukan sebagai keset,” ujar penulis buku best seller Life is Beautiful ini.

Pendapat Arvan itu diamini oleh Bernadette K. Themas, managing director Kelly Services Indonesia. Bernadette menuturkan pengalamannya ketika membantu P&G Indonesia memensiundinikan 300 karyawannya. Semuanya berlangsung tanpa gejolak. “Ini karena P&G mempersiapkan rencana PHK tersebut dengan sangat matang, sampai memakan waktu tiga tahun,” kata wanita kelahiran 17 Februari 1967 ini.

Nah, di antara sejumlah perusahaan, PT Bank Mandiri Tbk. (Bank Mandiri) dan PT Aneka Tambang Tbk. (Antam) boleh dikatakan sukses ketika melakukan pengurangan karyawan. Selain tidak menimbulkan gejolak, tujuan perusahaan untuk menciptakan efisiensi dan produktivitas juga tercapai. Berikut ini sekilas profil program pensiun dini sukarela (PPDS) dari kedua perusahaan BUMN itu.

PT Bank Mandiri Tbk.
Pada 2 Oktober 1998, empat bank BUMN yang menjadi pasien Bank Indonesia—Bank Ekspor Impor, Bank Dagang Negara, Bank Bumi Daya, dan Bank Pembangunan Indonesia—harus menjalani proses merger. Empat bank berapor merah tersebut dilebur dan berganti baju menjadi Bank Mandiri. Namun, berhubung yang bergabung adalah empat bank papan atas, merger tersebut menyisakan sejumlah bom waktu. Ketika Bank Mandiri berdiri, ia dibangun di atas ancaman puing-puing kebangkrutan. Bayangkan, kerugiannya mencapai Rp120 triliun dan modalnya minus Rp93,5 triliun. Sementara asetnya sendiri hanya Rp102 triliun. Jadi, sebenarnya, secara logika, Bank Mandiri bisa dikatakan sudah bangkrut.

Dampak lain dari merger tersebut adalah membengkaknya jumlah karyawan, menjadi 26.609 orang. Padahal, jika mengacu pada pedoman Investment Management and Performance Agreement (IMPA), jumlah maksimal karyawan bank pelat merah ini sesungguhnya hanya 18.055 orang. Artinya, bank yang sekarang dikomandoi Agus Martowardojo ini mengalami kelebihan 8.554 karyawan. Seperti diketahui, IMPA adalah kebijakan restrukturisasi perbankan yang disusun pemerintah Indonesia bersama International Monetary Fund (IMF).

Bahkan, menurut kajian Agunan P. Samosir, peneliti pada Departemen Keuangan RI (2003), sebenarnya jumlah ideal karyawan Bank Mandiri hanya 4.463 orang. Dengan jumlah karyawan yang “super gede” ini, setidaknya Bank Mandiri mengalami inefisiensi biaya karyawan sebesar 168%.

Maka, tak heran, ketika Robby Djohan ditunjuk menjadi direktur utama dari bank baru ini, yang terlintas di benak bankir senior itu adalah melakukan restrukturisasi dan efisiensi biaya secara besar-besaran. Salah satu caranya dengan mengurangi jumlah karyawan Bank Mandiri secara signifikan. Untuk memuluskan rencananya itu, pada Februari 1999, Robby pun menggelar PPDS.

Hasilnya, program tersebut sukses menjaring 15.453 orang. Namun, Bank Mandiri hanya mem-PHK 10.695 orang. Besarnya minat karyawan memang terkait dengan besarnya uang pesangon atau golden handshake yang ditawarkan. Diperkirakan, dana yang disiapkan Bank Mandiri untuk biaya PPDS ini mencapai Rp8 triliun. Ini berarti, jika dirata-ratakan, setiap karyawan yang terkena PHK akan memperoleh hampir Rp750 juta. Boleh jadi, total biaya PPDS Bank Mandiri tersebut masih menjadi rekor terbesar dalam sejarah PHK di Tanah Air, hingga detik ini. Sementara itu, jumlah karyawan Bank Mandiri pun langsung menciut tajam, tinggal 15.914 orang, atau turun 40% dari semula.

Pasca-PPDS tersebut, efisiensi biaya yang diharapkan Robby pun mulai menemukan titik terang. Buktinya, biaya operasional Bank Mandiri menurun drastis. Jika pada 1999 biaya operasionalnya Rp12,3 triliun, tahun berikutnya turun menjadi Rp8,2 triliun. Dan, pada 2001 hanya tinggal Rp4,5 triliun. Akibatnya, kinerja keuangan Bank Mandiri pun ikut merangkak naik. Tahun 2000, meski masih mengalami kerugian, bank BUMN ini mampu mengurangi kerugiannya hingga hampir 100%, menjadi “hanya” Rp67,8 triliun. Bahkan, pada tahun berikutnya Bank Mandiri telah mampu memetik laba Rp1,1 triliun.

PT Aneka Tambang Tbk.
Aneka Tambang (Antam) dikenal sebagai salah satu BUMN tambang yang paling menguntungkan. Tahun lalu, Antam membukukan pendapatan sebesar Rp2,731 triliun, atau naik tajam 177% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, perusahaan yang memproduksi emas, perak, nikel, bauksit, dan pasir besi ini mampu memetik laba bersih Rp1,559 triliun.

Pada tahun 2000, manajemen Antam berupaya melakukan efisiensi biaya, sekaligus meningkatkan produktivitas karyawan. Untuk itu, Antam menjalankan restrukturisasi sumber daya manusia dengan menggelar program pensiun dini sukarela (PPDS). Program yang dijalankan pada tahun 1999 tersebut diikuti oleh 813 karyawan. Program ini, yang dijalankan bersamaan dengan program pensiun normal, mampu mengurangi jumlah karyawan Antam sebesar 19%, yakni dari yang semula 4.708 orang (1999) menjadi 3.796 orang (2000).

Biaya PPDS Antam sebesar Rp43 miliar tersebut mampu menghemat pengeluaran biaya tenaga kerja perusahaan tambang ini senilai Rp15 miliar untuk tahun 2000. Sedangkan pada 2001, penghematan yang dihasilkan mencapai Rp25 miliar. Artinya, dalam tempo kurang dari tiga tahun, perusahaan yang dinakhodai Dedi Aditya Sumanagara ini telah mampu menutupi pengeluaran biaya akibat PPDS-nya tersebut.

Sementara itu, jika dilihat dari produktivitas per karyawan, Antam juga terhitung sukses meningkatkannya menjadi dua dali lipat. Jika dibandingkan tahun 1999, terjadi peningkatan laba bersih per karyawan dari Rp50 juta menjadi Rp101 juta. Adapun cash flow dari aktivitas operasi per karyawan juga mengalami kenaikan. Jika semula hanya Rp47 juta, tahun berikutnya meningkat menjadi Rp218 juta.

Di samping itu, pengurangan jumlah pegawai melalui PPDS tersebut ternyata tak berpengaruh pada volume produksi Antam. Malahan, produksi Antam mengalami peningkatan. Misalnya, produksi feronikel. Tahun 2000, produk ini per karyawan mencapai 2,66 ton nikel, atau naik 36% dari 1,96 ton nikel pada tahun sebelumnya. Begitu juga dengan produksi emas per karyawan yang naik 68%, yakni dari semula hanya 0,63 kilogram per karyawan, menjadi 1,06 kilogram pada tahun 2000.

(Rabu, 28 Maret 2007 14:09 WIB - wartaekonomi.com/ PRAYOGO P. HARTO)

Berebut Minta Di-PHK

Sejumlah perusahaan menggelar program pensiun dini. Ribuan karyawan siap tereliminasi. Bukannya cemas, mereka malah antusias. Sebab, pesangonnya sungguh menggiurkan.

PHK adalah momok paling menakutkan bagi seorang karyawan. Namun, lain ladang, lain belalang. Lain dulu, lain sekarang. Lihat saja Dedi, 50. Ia malah minta di-PHK. Teknisi jaringan di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (Telkom) kantor cabang Jakarta Barat itu bukan baru sekali ini saja meminta diberhentikan. “Tahun 2004 saya pernah mengajukan pengunduran diri, tapi ditolak,” tutur ayah tiga anak ini.

Mengapa Dedi begitu ingin di-PHK? Padahal, lima tahun lagi ia akan pensiun secara normal. “Uang pesangon PHK jauh lebih besar daripada pensiun normal,” ujar Dedi, membuka rahasia. Dalam perhitungan Dedi, ia setidaknya bisa mengantongi Rp1 miliar. Sementara itu, jika pensiun normal, menurut pria yang tinggal di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, ini, paling banyak ia hanya akan menerima setengahnya.

Kok bisa begitu berbeda? Ini karena PHK yang ia minta memang bukan PHK biasa. PHK ini adalah bagian dari Program Pensiun Dini Sukarela (PPDS) yang sedang ditawarkan oleh Telkom kepada para karyawannya sejak Januari lalu. Oleh karena terhitung PHK istimewa, uang perpisahannya juga spesial. Atau, istilah kerennya, “golden handshake”.

Telkom memang mengalokasikan dana Rp1,7 triliun untuk golden handshake PPDS-nya. Melalui program tersebut, perusahaan telekomunikasi nasional ini berharap dapat mengurangi 2.000 dari total 27.000 karyawannya. Artinya, rata-rata setiap karyawan Telkom yang ikut PPDS akan memperoleh Rp850 juta. Jumlah ini setara dengan 10 kali gaji dirut Telkom yang Rp108 juta per bulan. Maka, tak heran, sejak Telkom membuka program ini, sambutan karyawannya luar biasa. Dedi bahkan sudah berancang-ancang menggunakan sebagian uang pesangonnya untuk modal dagang. Sisanya, “Akan saya depositokan,” ujar pria yang sudah berkarier di Telkom lebih dari 20 tahun itu.

Musim Semi Pensiun Dini

Sebetulnya bukan sekali ini saja Telkom menggelar “hajatan” PPDS. Namun, tiga tahun terakhir, Telkom memilih stop dulu. Jika tahun ini Telkom kembali membuka program tersebut, menurut sang dirut, Rinaldi Firmansyah, hal itu karena momennya tepat. “Kondisi keuangan Telkom sedang membaik,” ungkapnya. Memang, sampai triwulan III tahun 2006 saja Telkom sudah membukukan laba bersih konsolidasi Rp9,2 triliun. Jadi, biaya PPDS hanya 9% dari laba bersihnya. Ini tentu tak banyak mempengaruhi likuiditas BUMN telekomunikasi ini.

PPDS tak hanya monopoli Telkom. Sejak 31 Januari lalu, PT Bank Permata Tbk. (PermataBank) juga menggelar program sejenis. PermataBank menyebut PPDS-nya dengan Voluntary Employment Separation Program (VESP). Sumber Warta Ekonomi menyebutkan VESP PermataBank ini akan memangkas 1.200–1.500 dari total 6.700 karyawannya saat ini. Benarkah? Direktur SDM PermataBank, Mahdi Syahbuddin, belum bisa memastikan besarnya jumlah karyawan yang akan dipensiun melalui VESP. "Namanya juga program sukarela, semuanya terserah karyawan," kata Mahdi, beralasan.

Untuk menarik minat karyawannya ikut VESP, manajemen bank yang sahamnya dikuasai PT Astra International Tbk. dan Standard Chartered Bank itu menyiapkan kompensasi menggiurkan. Formulasinya adalah 2N+1 atau dua kali masa kerja, ditambah satu, dikalikan gaji terakhir si karyawan. Artinya, jika masa kerja si karyawan 10 tahun dan gaji terakhirnya Rp20 juta, ia akan memperoleh: [(2 x 10) + 1] x Rp20 juta = Rp420 juta.

Padahal, jika mengacu pada Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, karyawan dengan masa kerja 10 tahun paling banyak hanya memperoleh 15 kali gaji terakhir. Dengan kata lain, jika si karyawan pensiun dengan gaji terakhir Rp20 juta, ia cuma memperoleh pesangon Rp300 juta-an. “Bagi kami, karyawan adalah aset. Jadi, wajar kalau mereka mendapatkan ganti rugi yang layak," papar Mahdi tentang kebijakan uang pesangon VESP yang menggiurkan tersebut.

Tak cuma pesangon, PermataBank juga siap memberikan pelatihan bagi karyawan yang berpartisipasi dalam VESP. Tujuannya, memberikan bekal bagi si karyawan untuk segera memperoleh pekerjaan baru atau berwirausaha, setelah tak lagi berkarier di PermataBank. Maka, tak heran kalau banyak karyawan PermataBank yang tergiur ikut. Bahkan, VESP terpaksa ditutup lebih cepat dari rencana semula, yaitu 31 Maret. Ini karena jumlah peminatnya sudah melebihi target.

Bernadette R. Themas, managing director PT Kelly Services Indonesia, melihat tahun ini akan jadi “musim semi”-nya PPDS. “Akan makin menjamur perusahaan yang mengikuti jejak Telkom dan PermataBank,” ramal konsultan SDM dari sejumlah perusahaan multinasional itu. Agaknya prediksi Bernadette tepat. Memang baru dua perusahaan papan atas itu saja yang berani berterus terang tentang rencana program pensiun dininya. Namun, penelusuran Warta Ekonomi menunjukkan sejumlah perusahaan juga tengah menggodok program sejenis. Misalnya, PT Garuda Indonesia, PT Merpati Nusantara Airlines, PT Bank Negara Indonesia Tbk., PT Angkasa Pura I, dan PT Kereta Api Indonesia.

BNI, misalnya, menurut direktur utamanya, Sigit Pramono, akan kembali membuka PPDS. “Target karyawan yang akan ikut maupun alokasi dananya tak akan berbeda dengan tahun lalu,” kata Sigit, seperti dikutip Infobank. Jika mengacu pada tahun lalu, berarti akan ada sekitar 500 karyawan yang ikut serta. Sementara itu, dana yang disiapkan bank berlambang perahu layar ini sekitar Rp150 miliar.

Merpati juga mempersiapkan program sejenis. Menurut Fardinan Kenedy, GM corporate secretary dan humas Merpati, pihaknya sedang bersiap memensiun dini sedikitnya 500 karyawan dari total yang 3.100. Pemerintah pun, ungkap sekretaris Menteri Negara BUMN, Said Didu, telah memberikan lampu hijau untuk rencana PPDS Merpati. Adapun dana yang disiapkan Merpati sebesar Rp120 miliar.

Seakan tak mau kalah dengan sang adik, Garuda pun merancang program serupa. Garuda tengah serius mempersiapkan PPDS untuk mengurangi minimal 15% dari total 6.000-an karyawannya.

Efisiensi dan Produktivitas

Menurut Arvan Padriansyah, managing director Institute for Leadership & Life Management, ada tiga alasan perusahaan melakukan pengurangan karyawan, yaitu efisiensi, peningkatan produktivitas, dan perubahan strategi bisnis. Apa yang dikemukakan Arvan memang tak salah. Lihat saja PermataBank. Idealnya, jumlah karyawan bank hasil merger lima bank swasta ini hanya 4.000–4.500, bukan seperti sekarang yang 6.700. Inefisiensi PermataBank juga bisa dilihat dari perbandingan antara biaya operasional dan pendapatan operasional (BO/PO). Rasio BO/PO PermataBank per Agustus 2006 adalah 92,5%. Artinya, untuk menghasilkan pendapatan operasional 100%, PermataBank butuh biaya operasional 92,5%. Ini jauh di atas rata-rata BO/PO perbankan nasional yang 87,8%. Apalagi jika dibandingkan dengan rata-rata BO/PO perbankan Asia yang hanya sekitar 65%.

Seperti diketahui, elemen terbesar dalam biaya operasional bank adalah pos biaya kredit macet dan biaya tenaga kerja. Bagi bank yang memiliki kualitas kredit baik, untuk mengurangi biaya operasional tak ada pilihan lain kecuali menekan biaya tenaga kerja. Maka, tak heran jika PermataBank berupaya memperbaiki BO/PO-nya dengan jalan mengurangi jumlah karyawan.

Selain itu, peningkatan produktivitas juga menjadi alasan PermataBank menggelar paket PPDS. Ini seperti penjelasan Krishnan S. Raman, direktur PermataBank, dalam paparan publik di Bursa Efek Jakarta, awal Februari lalu. Menurut Krishnan, PermataBank telah melakukan kajian mendalam—meliputi aspek operasional, produk dan jasa, jaringan cabang, teknologi, dan produktivitas—dalam rangka memantapkan strategi bisnis masa depannya. Hasilnya, “Kami menilai perbaikan produktivitas adalah prioritas utama,” kata Krishnan. Salah satu caranya, ya itu tadi, dengan mengurangi jumlah karyawan.

Efisiensi dan meningkatkan produktivitas juga menjadi alasan Garuda dan Merpati. Alex Maneklaran, direktur keuangan Garuda, mengungkapkan, jika mengacu pada industri penerbangan sejenis dan utilitas pesawat, seharusnya karyawan Garuda hanya 3.000–4.000 orang. Dengan jumlah karyawan saat ini yang 6.000-an, kata alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang, itu, “Kami harus menanggung biaya tenaga kerja 2,6 kali lebih banyak dari yang seharusnya.” Dengan jumlah karyawan yang demikian gemuk, wajar jika maskapai terbesar nasional ini jadi sulit “terbang”.

Apa yang dialami Garuda juga terjadi di Merpati. “Jadi, pemberhentian sebagian karyawan Merpati merupakan cara paling efektif untuk menyeimbangkan rasio antara jumlah karyawan dan armada pesawat,” jelas Said Didu. Tujuannya, lagi-lagi, agar produktivitas perusahaan bisa meningkat.

Sementara itu, pengurangan karyawan karena perubahan strategi bisnis dilakukan oleh BNI dan Telkom. Menurut Sigit, yang juga ketua Perhimpunan Bank Umum Swasta Nasional (Perbanas), ke depan, strategi bisnis BNI akan lebih fokus pada sektor ritel dan UKM. “Akibatnya, kebutuhan tenaga di divisi korporasi menjadi berlebih,” ujar pria berkacamata minus yang gemar fotografi ini.

Alasan senada dikemukakan Rinaldi Firmansyah. Menurut adik dirut PT Bursa Efek Jakarta, Erry Firmansyah, ini, pengurangan karyawan Telkom dibutuhkan untuk mengantisipasi persaingan di industri telekomunikasi yang akan makin ketat pada 3–5 tahun ke depan.

Selain itu, sentralisasi sistem yang mengedepankan penggunaan teknologi informasi (TI) ikut membuat kebutuhan akan tenaga kerja manusia menjadi banyak berkurang. Pendayagunaan TI di bisnis memang tengah berkembang pesat. Misalnya, di industri perbankan. Munculnya Anjungan Tunai Mandiri (ATM), phone banking, atau internet banking, membuat nasabah bisa bertransaksi kapan saja, di mana saja, dan dari mana saja. Dampaknya, peran teller bank jadi jauh berkurang. Kalau sudah begini, tentu karyawan yang tak dibutuhkan harus keluar.

Namun, tentu saja perusahaan juga tak bisa main PHK seenaknya. Sebab, bisa-bisa perusahaan diperkarakan. Apalagi, belakangan ini Serikat Pekerja makin galak mengkritisi setiap kebijakan perusahaan yang dinilai merugikan karyawan. Memang, di satu sisi, kebutuhan perusahaan untuk mengurangi jumlah karyawan tak bisa ditunda-tunda lagi. Namun, di sisi lain, karyawan tentu tak sudi diperlakukan seperti tebu: habis manis, sepah dibuang. Jadi, satu-satunya jalan keluar yang paling kompromistis adalah PPDS dengan golden handshake. Ini agar di sini senang, di sana senang.

(Rabu, 28 Maret 2007 14:07 WIB - wartaekonomi.com/ PRAYOGO P. HARTO, EVI RATNASARI, YUDIT MARENDRA, DAN GENUK CHRISTIASTUTI)

Pensiun Dini: Banyak Faktor

Catatan admin: Surat pembaca di Warta Ekonomi, bisa dibaca sebagai bahan pertimbangan:

Setelah membaca artikel berjudul “Pasca-Pensiun Dini: Saat 'Gelombang' dalam Genggaman” dan “Kiat Sukses Pensiun Dini: Cerdik Meracik Pensiun Dini” yang ada di majalah Warta Ekonomi edisi No. 06/XIX/19 Maret 2007, saya ingin memberikan sedikit komentar:

1. Menurut saya, begitulah kisah pensiun dini. Namun, perlu diingat, kebanyakan atau bahkan lebih dari 80% orang yang biasanya menerima gaji tiap bulan serta bekerja dengan waktu kerja yang rutin tiap hari. Biasanya, di saat harus menyesuaikan diri dengan kegiatan sesudah pensiun akan mengalami sedikit stres, juga menghadapi hari-hari tanpa aktivitas lagi di kantor. Namun, menurut saya, ini tergantung juga pada kesiapan fisik maupun mental sebelum memutuskan pensiun dini.

2. Ada banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk mengambil keputusan ikut pensiun dini:
 Karyawan tersebut merasa jenuh dan sudah tidak nyaman lagi di lingkungan kerjanya.
 Tekanan dari atasan karena atasan melihat karyawan tersebut sudah tidak produktif lagi.
 Adanya ketidaktransparanan dalam hal promosi jabatan yang dilakukan oleh manajemen.
 Kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan untuk memenuhi tuntutan irama kerja.
 Karyawan merupakan suami-istri yang bekerja di kantor yang sama.
 Ketidakpuasan dalam penghasilan yang diterima setiap bulan.
 Punya bisnis sampingan di luar yang lebih besar dibandingkan gajinya setiap bulan.
 Ada masalah rumah tangga yang lebih besar terkait dengan keuangan atau tekanan dari pasangan sehingga pensiun dini dianggap jalan keluar yang paling tepat.

Suhirtel@plasa.com

Sekadar Contoh: Program Pensiun Dini

Berita basi, tahun 2007. Tapi mungkin bisa ditiru.

Lagi, Telkom Tawarkan Program Pensiun Dini
Rabu, 31 Januari 2007 19:23 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:
PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) kembali menawarkan program pensiun dini untuk 2000 dari total karyawan Telkom sebanyak 27 ribu orang dalam rangka perampingan pegawai selama 2007. Untuk itu Telkom telah menyiapkan dana sebesar Rp 1,5-1,7 triliun untuk program ini.

Direktur Keuangan Telkom Reynaldi Firmansyah mengatakan program pensiun dini untuk mengantisipasi kondisi keuangan Telkom saat menghadapi persaingan di industri telekomunikasi yang semakin ketat. Sekitar tiga atau lima tahun lagi persaingan di industri telekomunikasi diperkirakan semakin kompetitif.

“Saat ini jumlah karyawan Telkom terlalu banyak,” kata Reynaldi di Jakarta, Selasa (30/1) malam. Keadaan ini diperkirakan akan menyulitkan Telkom di saat kondisi persaingan yang semakin ketat itu. Oleh karena itu, mengingat kondisi keuangan Telkom saat ini sedang dalam kondisi baik, maka perusahaan lebih baik menawarkan program ini.


Satu lagi:

Program Pensiun Dini TELKOM
Jakarta, 30 Maret, 2007 – PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. (“TELKOM”) dengan ini menginformasikan bahwa pada akhir tahun 2006 Perusahaan telah menawarkan program Pensiun Dini secara sukarela kepada karyawan yang akan direalisasikan pada tanggal 1 April 2007. Karyawan yang mengikuti program tersebut sejumlah 1.871 orang dengan pemberian kompensasi sekitar Rp.1,5 Trilyun (USD 165 juta). Dimana pembebanan yang bertalian dengan program tersebut telah diakru pada tahun 2006. Program pensiun dini tersebut merupakan kelanjutan dari program tahun-tahun sebelumnya yang dimulai sejak tahun 2001 dan sampai dengan saat ini telah diikuti lebih dari 10 ribu karyawan.


Ada lagi. Masih kebul-kebul. Dari http://web.bisnis.com/sektor-riil/transportasi/1id49811.html

Rabu, 19/03/2008 11:21 WIB
Delta Air tawarkan pensiun dini
oleh : Taufik Wisastra

ATLANTA (Bloomberg): Delta Air Lines Inc akan menawarkan pensiun dini dan pembelian saham perusahaan (buyout) kepada 30.000 pekerjanya untuk mengatasi melonjaknya harga bahan bakar dan melemahnya ekonomi Amerika Serikat.

Delta berencana mengurangi 2.000 tenaga kerja nonpilot di AS, sekitar 3,6% dari karyawannya, melalui buyout dan pensiun dini, kata Chief Financial Officer Ed Bastian. Sebanyak 45 pesawat akan di-grounded seiring dengan pengurangan operasi dan rute penerbangan. Delta bangkit dari kebangkrutan pada April lalu dan kini dalam pembicaraan merger dengan Northwest Airlines Corp.

Delta menghadapi kesulitan dengan melonjaknya harga bahan bakar sebesar 87% tahun lalu. Maskapai terbesar ketiga di AS ini akan mendapat kenaikan tagihan bahan bakar jet US$2 miliar tahun ini dibandingkan dengan tahun lalu.

"Pengurangan pekerja oleh Delta lebih baik dari perkiraan," ujar Michael Derchin, analis pada FTN Midwest Research Securities Corp yang berbasis di New York. (tw)

14 Maret 2008

Menakar Untung-Rugi Pensiun Dini

Oleh Yacob Yahya

Usia yang mulai ‘nanggung’ bisa membuat kita bingung. Mau tuntas berkarya hingga pensiun tiba, atau cukup sekian saja. Apalagi, jika tawaran pensiun dini (golden shake hand) datang menghampiri. Setumpuk pesangon yang disodorkan cukup bikin ngiler juga.

Namun, jika Anda memperoleh tawaran pensiun dini, ada baiknya waspada. Pada umumnya, mereka yang memperoleh ’surat cinta’ tersebut adalah karyawan yang dianggap sudah tidak bisa berkembang lagi. Bahasa vulgarnya, wajib segera dibuang sebelum menjejali biaya pegawai.

Perusahaan sudah tak sudi angon karyawan setengah tua yang sudah mentok. Lebih baik diusir dengan muka ramah. Di-up-grade via diklat juga sudah gak nyandak. Lebih baik digantikan oleh darah muda yang masih segar -yang ironinya, dengan gaji yang lebih berlipat.

Namun Anda tak perlu keburu merasa tak berarti. Bisa jadi ini adalah awal tantangan baru. Anda bisa memanfaatkan pesangon tersebut untuk berinvestasi. Bisa ke sektor riil, bisa tanam modal di pasar uang.

Tapi, Anda juga perlu menimbang risiko. Jika mau buka usaha, jenis bisnis apa yang cocok dengan Anda? Ingat, kondisi orang kantoran yang tinggal terima gaji jauh nian dengan pengusaha yang dituntut ulet.

Ada baiknya Anda membekali diri dengan mengikuti seminar atau pelatihan wirausaha. Atau belajar berinvestasi di wahana finansial. Misalnya reksadana, wealth management, asuransi unit-linked, dan lain-lain.

Kalau pilihan Anda adalah membuka usaha, cermatilah. Apakah Anda punya bakat atau pengalaman sebelumnya? Atau setidaknya Anda tahu betul lingkungan dan seluk-beluknya.

Jika opsi Anda ke sektor keuangan, telitilah. Apakah produk finansial ini bonafid? Atau jangan-jangan tipuan sulapan investasi bodong? Pengalaman Bank Global dan Dressel sudah cukup sebagai bukti. Orang sohor pun bisa tertipu memutar uang.

Yang jelas, persiapkan mental Anda memulai jenis bisnis baru. Semua usaha memang ada risikonya. Dari jadi juragan angkot, daukeh kapal, raja kos-kosan, pengusaha wartel, atau cukong beras.

Tapi yang lebih penting, jika tidak ada keberanian memulai, Anda takkan beranjak melangkah. ***

*) Yacob, jurnalis Hukumonline bidang ekonomi-politik.