20 Maret 2008

Pensiun Dini: Agar Aset Tak (Merasa) Jadi Keset

Bank Mandiri sukses mem-PHK 10.000 karyawannya. PHK juga membuat produktivitas Aneka Tambang melonjak.

Siapa tak kenal PT Dirgantara Indonesa (DI)? Perusahaan yang di masa Orde Baru bernama PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) ini sempat menjadi idaman banyak pekerja. Namun, zaman keemasan DI sudah berakhir. Sejak dihantam krisis, perusahaan yang didirikan oleh mantan Presiden B.J. Habibie ini tak jua bangkit. Hingga kini, DI masih menanggung beban utang sebesar Rp1,5 triliun.

Sebenarnya, sudah banyak cara dicoba untuk membuat DI kembali sehat. Salah satunya dengan pengurangan karyawan. Pada 2003, misalnya, DI melakukan PHK massal. Sebanyak 9.600―dari total 16.000―karyawan terpaksa dipensiun dini. Tujuannya, apa lagi kalau bukan efisiensi biaya. Namun, bukannya DI berhasil keluar dari lilitan masalah, tetapi justru sang dirut, Edwin Sudarmo, yang terancam dipenjara.

Apa yang terjadi di DI, di mata Arvan Padriansyah, managing director Institute for Leadership & Life Management, merupakan pelajaran berharga bagi perusahaan. Pada dasarnya dosen Pascasarjana Universitas Indonesia ini setuju jika perusahaan yang mengalami kelebihan karyawan melakukan program pengurangan. Namun, Arvan mengingatkan, perusahaan perlu hati-hati. Sebab, jika salah mem-PHK, kerugian perusahaan bisa berkali lipat. Pertama, perusahaan harus membayar pesangon yang tak sedikit. Kedua, bisa jadi perusahaan juga kehilangan SDM yang berkualitas, yang justru merupakan aset perusahaan yang paling berharga.

Selain itu, Arvan juga mewanti-wanti agar perusahaan tetap memanusiakan karyawan yang akan terkena PHK. Caranya, dengan memberikan imbalan yang layak. “Jangan ketika butuh saja karyawan dianggap aset, tetapi ketika tidak dibutuhkan lagi, mereka diperlakukan sebagai keset,” ujar penulis buku best seller Life is Beautiful ini.

Pendapat Arvan itu diamini oleh Bernadette K. Themas, managing director Kelly Services Indonesia. Bernadette menuturkan pengalamannya ketika membantu P&G Indonesia memensiundinikan 300 karyawannya. Semuanya berlangsung tanpa gejolak. “Ini karena P&G mempersiapkan rencana PHK tersebut dengan sangat matang, sampai memakan waktu tiga tahun,” kata wanita kelahiran 17 Februari 1967 ini.

Nah, di antara sejumlah perusahaan, PT Bank Mandiri Tbk. (Bank Mandiri) dan PT Aneka Tambang Tbk. (Antam) boleh dikatakan sukses ketika melakukan pengurangan karyawan. Selain tidak menimbulkan gejolak, tujuan perusahaan untuk menciptakan efisiensi dan produktivitas juga tercapai. Berikut ini sekilas profil program pensiun dini sukarela (PPDS) dari kedua perusahaan BUMN itu.

PT Bank Mandiri Tbk.
Pada 2 Oktober 1998, empat bank BUMN yang menjadi pasien Bank Indonesia—Bank Ekspor Impor, Bank Dagang Negara, Bank Bumi Daya, dan Bank Pembangunan Indonesia—harus menjalani proses merger. Empat bank berapor merah tersebut dilebur dan berganti baju menjadi Bank Mandiri. Namun, berhubung yang bergabung adalah empat bank papan atas, merger tersebut menyisakan sejumlah bom waktu. Ketika Bank Mandiri berdiri, ia dibangun di atas ancaman puing-puing kebangkrutan. Bayangkan, kerugiannya mencapai Rp120 triliun dan modalnya minus Rp93,5 triliun. Sementara asetnya sendiri hanya Rp102 triliun. Jadi, sebenarnya, secara logika, Bank Mandiri bisa dikatakan sudah bangkrut.

Dampak lain dari merger tersebut adalah membengkaknya jumlah karyawan, menjadi 26.609 orang. Padahal, jika mengacu pada pedoman Investment Management and Performance Agreement (IMPA), jumlah maksimal karyawan bank pelat merah ini sesungguhnya hanya 18.055 orang. Artinya, bank yang sekarang dikomandoi Agus Martowardojo ini mengalami kelebihan 8.554 karyawan. Seperti diketahui, IMPA adalah kebijakan restrukturisasi perbankan yang disusun pemerintah Indonesia bersama International Monetary Fund (IMF).

Bahkan, menurut kajian Agunan P. Samosir, peneliti pada Departemen Keuangan RI (2003), sebenarnya jumlah ideal karyawan Bank Mandiri hanya 4.463 orang. Dengan jumlah karyawan yang “super gede” ini, setidaknya Bank Mandiri mengalami inefisiensi biaya karyawan sebesar 168%.

Maka, tak heran, ketika Robby Djohan ditunjuk menjadi direktur utama dari bank baru ini, yang terlintas di benak bankir senior itu adalah melakukan restrukturisasi dan efisiensi biaya secara besar-besaran. Salah satu caranya dengan mengurangi jumlah karyawan Bank Mandiri secara signifikan. Untuk memuluskan rencananya itu, pada Februari 1999, Robby pun menggelar PPDS.

Hasilnya, program tersebut sukses menjaring 15.453 orang. Namun, Bank Mandiri hanya mem-PHK 10.695 orang. Besarnya minat karyawan memang terkait dengan besarnya uang pesangon atau golden handshake yang ditawarkan. Diperkirakan, dana yang disiapkan Bank Mandiri untuk biaya PPDS ini mencapai Rp8 triliun. Ini berarti, jika dirata-ratakan, setiap karyawan yang terkena PHK akan memperoleh hampir Rp750 juta. Boleh jadi, total biaya PPDS Bank Mandiri tersebut masih menjadi rekor terbesar dalam sejarah PHK di Tanah Air, hingga detik ini. Sementara itu, jumlah karyawan Bank Mandiri pun langsung menciut tajam, tinggal 15.914 orang, atau turun 40% dari semula.

Pasca-PPDS tersebut, efisiensi biaya yang diharapkan Robby pun mulai menemukan titik terang. Buktinya, biaya operasional Bank Mandiri menurun drastis. Jika pada 1999 biaya operasionalnya Rp12,3 triliun, tahun berikutnya turun menjadi Rp8,2 triliun. Dan, pada 2001 hanya tinggal Rp4,5 triliun. Akibatnya, kinerja keuangan Bank Mandiri pun ikut merangkak naik. Tahun 2000, meski masih mengalami kerugian, bank BUMN ini mampu mengurangi kerugiannya hingga hampir 100%, menjadi “hanya” Rp67,8 triliun. Bahkan, pada tahun berikutnya Bank Mandiri telah mampu memetik laba Rp1,1 triliun.

PT Aneka Tambang Tbk.
Aneka Tambang (Antam) dikenal sebagai salah satu BUMN tambang yang paling menguntungkan. Tahun lalu, Antam membukukan pendapatan sebesar Rp2,731 triliun, atau naik tajam 177% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, perusahaan yang memproduksi emas, perak, nikel, bauksit, dan pasir besi ini mampu memetik laba bersih Rp1,559 triliun.

Pada tahun 2000, manajemen Antam berupaya melakukan efisiensi biaya, sekaligus meningkatkan produktivitas karyawan. Untuk itu, Antam menjalankan restrukturisasi sumber daya manusia dengan menggelar program pensiun dini sukarela (PPDS). Program yang dijalankan pada tahun 1999 tersebut diikuti oleh 813 karyawan. Program ini, yang dijalankan bersamaan dengan program pensiun normal, mampu mengurangi jumlah karyawan Antam sebesar 19%, yakni dari yang semula 4.708 orang (1999) menjadi 3.796 orang (2000).

Biaya PPDS Antam sebesar Rp43 miliar tersebut mampu menghemat pengeluaran biaya tenaga kerja perusahaan tambang ini senilai Rp15 miliar untuk tahun 2000. Sedangkan pada 2001, penghematan yang dihasilkan mencapai Rp25 miliar. Artinya, dalam tempo kurang dari tiga tahun, perusahaan yang dinakhodai Dedi Aditya Sumanagara ini telah mampu menutupi pengeluaran biaya akibat PPDS-nya tersebut.

Sementara itu, jika dilihat dari produktivitas per karyawan, Antam juga terhitung sukses meningkatkannya menjadi dua dali lipat. Jika dibandingkan tahun 1999, terjadi peningkatan laba bersih per karyawan dari Rp50 juta menjadi Rp101 juta. Adapun cash flow dari aktivitas operasi per karyawan juga mengalami kenaikan. Jika semula hanya Rp47 juta, tahun berikutnya meningkat menjadi Rp218 juta.

Di samping itu, pengurangan jumlah pegawai melalui PPDS tersebut ternyata tak berpengaruh pada volume produksi Antam. Malahan, produksi Antam mengalami peningkatan. Misalnya, produksi feronikel. Tahun 2000, produk ini per karyawan mencapai 2,66 ton nikel, atau naik 36% dari 1,96 ton nikel pada tahun sebelumnya. Begitu juga dengan produksi emas per karyawan yang naik 68%, yakni dari semula hanya 0,63 kilogram per karyawan, menjadi 1,06 kilogram pada tahun 2000.

(Rabu, 28 Maret 2007 14:09 WIB - wartaekonomi.com/ PRAYOGO P. HARTO)

Tidak ada komentar: