24 April 2008

Balada Sigit

Seorang teman kirim lewat email cerita ini. Katanya, dia nemu cerita ini di desktopnya, tidak tahu siapa yang bikin. Karena geli, dia kirim ke saya. Nah, karena saya juga ikut geli, saya simpan saja di sini. Siapa tahu, Anda juga bisa geli membacanya. Selamat membaca.


Sigit, adalah potret karyawan yang gigih. Sejak diterima bekerja menjadi staf bagian administrasi di perusahaan perbankan swasta nasional terkemuka , hingga menjadi seorang general manager HRD di perusahaan yang sama.

Rajin, ulet, loyal, produktif, pintar menjaga hubungan, serta mempertahankan reputasi, adalah kunci sukses pria berkacamata yang berat badannya selalu stabil itu. Tak aneh bila masa kerjanya selama 25 tahun di perusahaan dilaluinya dengan mulus. Mencapai posisi puncak sebagai orang nomor satu di departemennya. Walau lokasi kantornya tidak menyatu
dengan head office yang jaraknya sekitar 20 km.

Apa yang ia cari sekarang? Jabatan sudah. Materi? Rumah besar di sebuah komplek rel-estat di kawasan Depok, menjadi istana yang nyaman. Mobil sedan keluaran tahun muda melengkapi isi rumah. Keluarga dengan istri yang cantik serta tiga anak yang beranjak dewasa menambah lengkapnya mimpi-mimpi Sigit.

Deposito? Paling-paling 'cuma' Rp 30 jutaan nongkrong di bank. Usaha sampingan ia tak minat.
Selain membuat dirinya capai, akhir pekan hanyalah diisi dengan acara santai bersama keluarga. Baginya, usaha sampingan adalah sikap pengecut, pengkhianatan kepada loyalitas.

Lalu apalagi yang dicari Sigit? prestasi dan posisi telah lama ia dapat. Di kantornya ia mendapatkan ruang kerja yang nyaman, dengan view yang bagus di jendela ruang kerjanya manakala senja datang. Ruang kerjanya yang selalu sejuk, dengan fasilitas sambungan
telepon yang terbaru, audio nan canggih, teve layar datar, akses internet tanpa batas.
Posisi? Sepertinya semuanya sudah terpenuhi.

Ada sekretaris pribadi nan cantik yang bekerja secara profesional. Para staf yang jumlahnya sekitar 20 orang, menaruh hormat kepada Sigit. Tiga office boy (OB) yang bekerja dengan loyalitas yang tinggi, siap melayani segala keperluan kerja Sigit. Singkatnya Sigit adalah 'raja kecil' di kantornya. Hal yang dilakoninya sekitar 11 tahun sejak dirinya menjabat sebagai general manager HRD di perusahaan itu.

Entah kenapa, akhir-akhir ini Sigit merasa bosan dengan posisi nyaman yang telah ia jabat satu dekade lebih itu. Kok hanya begitu-begitu saja, pikir Sigit. Tiada lagi warna-warni kehidupan di kantornya. Sigit serba salah. Ingin resign, dia harus memulai dari awal lagi di perusahaan yang lain lagi. Ingin mecoba peluang baru (usaha sampingan), seperti yang dilakukan rekan seangkatan atau para karyawannya yang telah sukses di luar sana, juga sangat mustahil. "Bukankah aku sendiri pernah mengatakan, bahwa peluang adalah sebuah pengkhianatan pada loyalitas?" katanya dalam hati.

Untuk mencoba peruntungan jabatan yang lebih baik, kadangkala Sigit mendisposisikan namanya agar bisa ikut dalam pertemuan atau rapat-rapat top eksekutif di head office. Maksudnya, agar bisa masuk dalam komunitas tersebut yang beranggotakan : dewan komisaris, CEO, presiden direktur, presiden komisaris atau level di atasnya general manager. Siapa tahu
bisa kecipratan peruntungan, pikir Sigit. Jadi general manager kan nggak harus sampai pensiun? Why Not?!

Ternyata pucuk di cinta ulam pun tiba. Awal 2008, Sigit ditunjuk sebagai anggota tim perumus HRD (SDM) perusahaan. Mengingat tantangan pasar bebas sudah di depan mata. SDM perusahaan perlu dibenahi dan disegarkan agar bisa bersaing. Sigit pun senang bukan kepalang. Mimpi-mimpinya bakal lebih indah lagi. Tim konseptor HRD terdiri dari kalangan top eksekutif. Karena menyangkut SDM yang menjadi aset utama perusahaan, maka tak tanggung-tanggung kalangan pimpinan pun turun tangan. Seperti : CEO, Presiden Komisaris, dewan komisaris, dan Presiden Direktur. Karena ekspert di bidangnya, Sigit dianggap sebagai narasumber. Singkatnya, seorang general manager di tengah top eksekutif.Tidak semua karyawan bisa mengalaminya. Bahkan seorang direktur sekalipun entah kenapa tak dilibatkan dalam tim konseptor HRD itu.

Awal bekerja, dilalui Sigit dengan penuh semangat. Bagaimana tidak, hampir setiap hari dirinya rapat atau diskusi dengan para pimpinan di head office. Tiada hari tanpa diskusi. Masing -masing melengkapi dengan laptop sebagai perangkat kerja. Apalagi dirinya kerapkali diminta sebagai narasumber bidang ke-HRD-an oleh CEO bila menghadiri rapat-rapat. Ibarat anatomi tubuh manusia, Sigit telah sampai ke jantungnya. Walau sering pulang larut malam, tak apa.
Toh Sigit tetap merasa senang karena baru kali ini punya pengalaman yang menurutnya luar biasa selama dirinya berkarier.

Ketika memasuki bulan ke empat, Sigit perlahan-lahan mulai bosan. Dirinya mulai rindu dengan posisi sebelumnya, yang ia delegasikan kepada asisten general manager sebagai pelaksana harian. Sigit rindu dengan ruang kerjanya, teve layar datarnya, audio canggihnya, view jendela ruang kerjanya, para stafnya yang selalu hormat padanya, tiga OB kantornya yang selalu setia melayani segala keperluan kerjanya. Bahkan ketiga OB itu hapal betul makanan kesukaan Sigit.
Singkatnya, Sigit rindu menjadi 'raja kecil' lagi di tengah komunitasnya. Bukan komunitas top eksekutif, dimana Sigit hanyalah narasumber yang 'berpangkat' general manager HRD.
Tapi Sigit sudah terlanjur tercebur dalam tantangan itu. Dirinya diperlukan menjadi narasumber yang penting selama dibutuhkan oleh kalangan pimpinan. Selama pembuatan konsep HRD itu berjalan. Entah sampai kapan, kabarnya penggodokan ke-SDM-an itu bisa berlangsung hingga akhir tahun 2008

Saat itu pukul 21.00 WIB, Sigit masih berkutat dengan lap topnya di sebuah ruang rapat eksekutif. Selain Sigit terdapat juga CEO, Preskom, dan sejumlah anggota dewan komisaris. Sementara Presdir berada di ruang pribadinya yang masih satu lantai dengan ruang rapat
eksekutif itu. CEO dan sejumlah anggota dewan komisaris tengah bersantai sambil menonton
acara-acara teve. Sementara office boy (OB) di ruang eksekutif itu telah lama pulang pada pukul 19.00. Sigit sendiri belum berani untuk pulang lebih dulu karena selain menyiapkan resume dari hasil diskusi, menurutnya tak pantaslah untuk pulang lebih dulu di depan para
pimpinan.

Tiba-tiba CEO angkat bicara :
"Git, kayaknya mie goreng enak nih?"

Sigit tersenyum, merespon ajakan CEO. Lalu Preskom juga menimpali :
"Iya nih Git, nasi goreng pete enak juga nih,?"

Sigit juga tersenyum masih sibuk dengan laptop nya. Kedua anggota dewan komisaris yang masih berada di ruangan juga menoleh ke arah Sigit, ikutan nimbrung.

"Betul Git, bakmie gajah mada oke juga tuh?"

Kali ini Sigit tidak tersenyum. Dia hanya menebak, kemana arah ajakan makan malam dari para pimpinan ini. Mentraktir atau menyuruh?

Tiba-tiba Sigit berwajah tegang. Dirinya tengah bimbang. Ini ajakan atau perintah. Bila ajakan, nanti dikira ge-er. Tapi bila ternyata perintah, sulit untuk menolak, mengingat mereka adalah para pimpinannya yang harus dihormati. Bukankah loyalitas adalah kunci suksesnya dalam berkarier ? Tiba-tiba saja Sigit berkeringat dingin sambil menatap ke arah layar laptopnya. Sementara para eksekutif masih bersantai sambil menikmati acara teve.

"Seharusnya, OB tidak pulang duluan," gerutu Sigit dalam hati, menyumpahi dua OB di ruangan
eksekutif yang sudah keburu pulang.

"Gimana Git, jadi nggak beli mie gorengnya", tanya CEO sambil menengok Sigit yang berwajah tegang itu. Sigit masih berpikir keras di depan layar laptopnya.

"Nggak usah dicatat di laptop Git, " celetuk anggota dewan komisaris.

"Pakai aja kertas kayak si Bejo (OB) ," saran anggota dewan komisaris yang lain.

Sigit makin tegang. Tak disangka dirinya merasa menjadi 'bulan-bulanan' di ruang rapat eksekutif itu. Apa yang ia impikan selama ini, sontak luruh dalam hitungan menit. Ambisinya kini hanyalah onggokan puing yang tersisa. Dalam kebingungan, Sigit mencari kertas dan pulpen
untuk mencatat apa-apa saja yang menjadi permintaan para eksekutif itu. Kali ini yang dicatat bukan hasil rapat atau diskusi, namun hanyalah nama menu masakan pesanan para pimpinan tadi. Bukankah aku biasanya dilayani oleh ob-ku sendiri di gedung tempat kerjaku? pikir Sigit.

Dengan tangan gemetar Sigit mencatat menu apa saja yang menjadi permintaan para bosnya itu. Usai mencatat, Sigit bergegas meninggalkan ruangan yang baginya tak lagi ramah. Ketika melewati pintu ruang rapat, mendadak bapak presdir keluar dari ruang pribadinya.

"Lho,lho Git, mau kemana?"
"Ya, Pak sebentar Pak. Diskusinya nanti saja Pak. Saya ada perlu keluar sebentar," kata Sigit sambil tersenyum untuk menutupi ketegangan dalam dirinya.
"Oya, sudah, sekalian saya titip Sam Soe sebungkus, ya", kata bapak Presdir dengan enteng, sambil menyorongkan uang lima puluh ribuan ke arah Sigit.

Sigit pun pingsan di lorong lantai eksekutif gedung head office yang ia impikan selama ini.