20 Maret 2008

Berebut Minta Di-PHK

Sejumlah perusahaan menggelar program pensiun dini. Ribuan karyawan siap tereliminasi. Bukannya cemas, mereka malah antusias. Sebab, pesangonnya sungguh menggiurkan.

PHK adalah momok paling menakutkan bagi seorang karyawan. Namun, lain ladang, lain belalang. Lain dulu, lain sekarang. Lihat saja Dedi, 50. Ia malah minta di-PHK. Teknisi jaringan di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (Telkom) kantor cabang Jakarta Barat itu bukan baru sekali ini saja meminta diberhentikan. “Tahun 2004 saya pernah mengajukan pengunduran diri, tapi ditolak,” tutur ayah tiga anak ini.

Mengapa Dedi begitu ingin di-PHK? Padahal, lima tahun lagi ia akan pensiun secara normal. “Uang pesangon PHK jauh lebih besar daripada pensiun normal,” ujar Dedi, membuka rahasia. Dalam perhitungan Dedi, ia setidaknya bisa mengantongi Rp1 miliar. Sementara itu, jika pensiun normal, menurut pria yang tinggal di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, ini, paling banyak ia hanya akan menerima setengahnya.

Kok bisa begitu berbeda? Ini karena PHK yang ia minta memang bukan PHK biasa. PHK ini adalah bagian dari Program Pensiun Dini Sukarela (PPDS) yang sedang ditawarkan oleh Telkom kepada para karyawannya sejak Januari lalu. Oleh karena terhitung PHK istimewa, uang perpisahannya juga spesial. Atau, istilah kerennya, “golden handshake”.

Telkom memang mengalokasikan dana Rp1,7 triliun untuk golden handshake PPDS-nya. Melalui program tersebut, perusahaan telekomunikasi nasional ini berharap dapat mengurangi 2.000 dari total 27.000 karyawannya. Artinya, rata-rata setiap karyawan Telkom yang ikut PPDS akan memperoleh Rp850 juta. Jumlah ini setara dengan 10 kali gaji dirut Telkom yang Rp108 juta per bulan. Maka, tak heran, sejak Telkom membuka program ini, sambutan karyawannya luar biasa. Dedi bahkan sudah berancang-ancang menggunakan sebagian uang pesangonnya untuk modal dagang. Sisanya, “Akan saya depositokan,” ujar pria yang sudah berkarier di Telkom lebih dari 20 tahun itu.

Musim Semi Pensiun Dini

Sebetulnya bukan sekali ini saja Telkom menggelar “hajatan” PPDS. Namun, tiga tahun terakhir, Telkom memilih stop dulu. Jika tahun ini Telkom kembali membuka program tersebut, menurut sang dirut, Rinaldi Firmansyah, hal itu karena momennya tepat. “Kondisi keuangan Telkom sedang membaik,” ungkapnya. Memang, sampai triwulan III tahun 2006 saja Telkom sudah membukukan laba bersih konsolidasi Rp9,2 triliun. Jadi, biaya PPDS hanya 9% dari laba bersihnya. Ini tentu tak banyak mempengaruhi likuiditas BUMN telekomunikasi ini.

PPDS tak hanya monopoli Telkom. Sejak 31 Januari lalu, PT Bank Permata Tbk. (PermataBank) juga menggelar program sejenis. PermataBank menyebut PPDS-nya dengan Voluntary Employment Separation Program (VESP). Sumber Warta Ekonomi menyebutkan VESP PermataBank ini akan memangkas 1.200–1.500 dari total 6.700 karyawannya saat ini. Benarkah? Direktur SDM PermataBank, Mahdi Syahbuddin, belum bisa memastikan besarnya jumlah karyawan yang akan dipensiun melalui VESP. "Namanya juga program sukarela, semuanya terserah karyawan," kata Mahdi, beralasan.

Untuk menarik minat karyawannya ikut VESP, manajemen bank yang sahamnya dikuasai PT Astra International Tbk. dan Standard Chartered Bank itu menyiapkan kompensasi menggiurkan. Formulasinya adalah 2N+1 atau dua kali masa kerja, ditambah satu, dikalikan gaji terakhir si karyawan. Artinya, jika masa kerja si karyawan 10 tahun dan gaji terakhirnya Rp20 juta, ia akan memperoleh: [(2 x 10) + 1] x Rp20 juta = Rp420 juta.

Padahal, jika mengacu pada Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, karyawan dengan masa kerja 10 tahun paling banyak hanya memperoleh 15 kali gaji terakhir. Dengan kata lain, jika si karyawan pensiun dengan gaji terakhir Rp20 juta, ia cuma memperoleh pesangon Rp300 juta-an. “Bagi kami, karyawan adalah aset. Jadi, wajar kalau mereka mendapatkan ganti rugi yang layak," papar Mahdi tentang kebijakan uang pesangon VESP yang menggiurkan tersebut.

Tak cuma pesangon, PermataBank juga siap memberikan pelatihan bagi karyawan yang berpartisipasi dalam VESP. Tujuannya, memberikan bekal bagi si karyawan untuk segera memperoleh pekerjaan baru atau berwirausaha, setelah tak lagi berkarier di PermataBank. Maka, tak heran kalau banyak karyawan PermataBank yang tergiur ikut. Bahkan, VESP terpaksa ditutup lebih cepat dari rencana semula, yaitu 31 Maret. Ini karena jumlah peminatnya sudah melebihi target.

Bernadette R. Themas, managing director PT Kelly Services Indonesia, melihat tahun ini akan jadi “musim semi”-nya PPDS. “Akan makin menjamur perusahaan yang mengikuti jejak Telkom dan PermataBank,” ramal konsultan SDM dari sejumlah perusahaan multinasional itu. Agaknya prediksi Bernadette tepat. Memang baru dua perusahaan papan atas itu saja yang berani berterus terang tentang rencana program pensiun dininya. Namun, penelusuran Warta Ekonomi menunjukkan sejumlah perusahaan juga tengah menggodok program sejenis. Misalnya, PT Garuda Indonesia, PT Merpati Nusantara Airlines, PT Bank Negara Indonesia Tbk., PT Angkasa Pura I, dan PT Kereta Api Indonesia.

BNI, misalnya, menurut direktur utamanya, Sigit Pramono, akan kembali membuka PPDS. “Target karyawan yang akan ikut maupun alokasi dananya tak akan berbeda dengan tahun lalu,” kata Sigit, seperti dikutip Infobank. Jika mengacu pada tahun lalu, berarti akan ada sekitar 500 karyawan yang ikut serta. Sementara itu, dana yang disiapkan bank berlambang perahu layar ini sekitar Rp150 miliar.

Merpati juga mempersiapkan program sejenis. Menurut Fardinan Kenedy, GM corporate secretary dan humas Merpati, pihaknya sedang bersiap memensiun dini sedikitnya 500 karyawan dari total yang 3.100. Pemerintah pun, ungkap sekretaris Menteri Negara BUMN, Said Didu, telah memberikan lampu hijau untuk rencana PPDS Merpati. Adapun dana yang disiapkan Merpati sebesar Rp120 miliar.

Seakan tak mau kalah dengan sang adik, Garuda pun merancang program serupa. Garuda tengah serius mempersiapkan PPDS untuk mengurangi minimal 15% dari total 6.000-an karyawannya.

Efisiensi dan Produktivitas

Menurut Arvan Padriansyah, managing director Institute for Leadership & Life Management, ada tiga alasan perusahaan melakukan pengurangan karyawan, yaitu efisiensi, peningkatan produktivitas, dan perubahan strategi bisnis. Apa yang dikemukakan Arvan memang tak salah. Lihat saja PermataBank. Idealnya, jumlah karyawan bank hasil merger lima bank swasta ini hanya 4.000–4.500, bukan seperti sekarang yang 6.700. Inefisiensi PermataBank juga bisa dilihat dari perbandingan antara biaya operasional dan pendapatan operasional (BO/PO). Rasio BO/PO PermataBank per Agustus 2006 adalah 92,5%. Artinya, untuk menghasilkan pendapatan operasional 100%, PermataBank butuh biaya operasional 92,5%. Ini jauh di atas rata-rata BO/PO perbankan nasional yang 87,8%. Apalagi jika dibandingkan dengan rata-rata BO/PO perbankan Asia yang hanya sekitar 65%.

Seperti diketahui, elemen terbesar dalam biaya operasional bank adalah pos biaya kredit macet dan biaya tenaga kerja. Bagi bank yang memiliki kualitas kredit baik, untuk mengurangi biaya operasional tak ada pilihan lain kecuali menekan biaya tenaga kerja. Maka, tak heran jika PermataBank berupaya memperbaiki BO/PO-nya dengan jalan mengurangi jumlah karyawan.

Selain itu, peningkatan produktivitas juga menjadi alasan PermataBank menggelar paket PPDS. Ini seperti penjelasan Krishnan S. Raman, direktur PermataBank, dalam paparan publik di Bursa Efek Jakarta, awal Februari lalu. Menurut Krishnan, PermataBank telah melakukan kajian mendalam—meliputi aspek operasional, produk dan jasa, jaringan cabang, teknologi, dan produktivitas—dalam rangka memantapkan strategi bisnis masa depannya. Hasilnya, “Kami menilai perbaikan produktivitas adalah prioritas utama,” kata Krishnan. Salah satu caranya, ya itu tadi, dengan mengurangi jumlah karyawan.

Efisiensi dan meningkatkan produktivitas juga menjadi alasan Garuda dan Merpati. Alex Maneklaran, direktur keuangan Garuda, mengungkapkan, jika mengacu pada industri penerbangan sejenis dan utilitas pesawat, seharusnya karyawan Garuda hanya 3.000–4.000 orang. Dengan jumlah karyawan saat ini yang 6.000-an, kata alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang, itu, “Kami harus menanggung biaya tenaga kerja 2,6 kali lebih banyak dari yang seharusnya.” Dengan jumlah karyawan yang demikian gemuk, wajar jika maskapai terbesar nasional ini jadi sulit “terbang”.

Apa yang dialami Garuda juga terjadi di Merpati. “Jadi, pemberhentian sebagian karyawan Merpati merupakan cara paling efektif untuk menyeimbangkan rasio antara jumlah karyawan dan armada pesawat,” jelas Said Didu. Tujuannya, lagi-lagi, agar produktivitas perusahaan bisa meningkat.

Sementara itu, pengurangan karyawan karena perubahan strategi bisnis dilakukan oleh BNI dan Telkom. Menurut Sigit, yang juga ketua Perhimpunan Bank Umum Swasta Nasional (Perbanas), ke depan, strategi bisnis BNI akan lebih fokus pada sektor ritel dan UKM. “Akibatnya, kebutuhan tenaga di divisi korporasi menjadi berlebih,” ujar pria berkacamata minus yang gemar fotografi ini.

Alasan senada dikemukakan Rinaldi Firmansyah. Menurut adik dirut PT Bursa Efek Jakarta, Erry Firmansyah, ini, pengurangan karyawan Telkom dibutuhkan untuk mengantisipasi persaingan di industri telekomunikasi yang akan makin ketat pada 3–5 tahun ke depan.

Selain itu, sentralisasi sistem yang mengedepankan penggunaan teknologi informasi (TI) ikut membuat kebutuhan akan tenaga kerja manusia menjadi banyak berkurang. Pendayagunaan TI di bisnis memang tengah berkembang pesat. Misalnya, di industri perbankan. Munculnya Anjungan Tunai Mandiri (ATM), phone banking, atau internet banking, membuat nasabah bisa bertransaksi kapan saja, di mana saja, dan dari mana saja. Dampaknya, peran teller bank jadi jauh berkurang. Kalau sudah begini, tentu karyawan yang tak dibutuhkan harus keluar.

Namun, tentu saja perusahaan juga tak bisa main PHK seenaknya. Sebab, bisa-bisa perusahaan diperkarakan. Apalagi, belakangan ini Serikat Pekerja makin galak mengkritisi setiap kebijakan perusahaan yang dinilai merugikan karyawan. Memang, di satu sisi, kebutuhan perusahaan untuk mengurangi jumlah karyawan tak bisa ditunda-tunda lagi. Namun, di sisi lain, karyawan tentu tak sudi diperlakukan seperti tebu: habis manis, sepah dibuang. Jadi, satu-satunya jalan keluar yang paling kompromistis adalah PPDS dengan golden handshake. Ini agar di sini senang, di sana senang.

(Rabu, 28 Maret 2007 14:07 WIB - wartaekonomi.com/ PRAYOGO P. HARTO, EVI RATNASARI, YUDIT MARENDRA, DAN GENUK CHRISTIASTUTI)

Tidak ada komentar: