20 Maret 2008

Pasca Pensiun Dini: Saat “Gelombang” dalam Genggaman

Sejumlah eksekutif sukses mengelola bisnis sendiri setelah ikut pensiun dini. Mereka menikmati betul fleksibilitas mengatur waktu.

Belakangan ini Melyani sangat sibuk. Niat ibu tiga anak ini mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) memaksanya bekerja ekstra keras. Sambil menunggu izin dari Bank Indonesia, wanita berparas cantik ini terus menghitung kebutuhan SDM-nya. Ia butuh seorang direktur, beberapa manajer, dan staf administrasi. “Sebenarnya, saya juga ingin menampung rekan-rekan yang terkena program pensiun dini sukarela (PPDS) dari beberapa bank. Tapi, nantilah jika sudah siap,” ungkap wanita yang menghabiskan sebagian besar kariernya di bisnis perbankan ini.

Meski tak ikut PPDS, Melyani contoh eksekutif bank yang memutuskan pensiun lebih cepat. Saat berhenti dari Bank Bali tahun 1999, wanita berkulit putih ini adalah kepala cabang Bank Bali, Bintaro, Tangerang. Kantor cabang yang ia pimpin pernah meraih peringkat ke-3 dalam perolehan penjualan valas Bank Bali se-Jabodetabek. Maka, tak heran jika para direksi pun sempat “menahan” kepergian Melyani. Namun, niatnya merintis bisnis sendiri sudah bulat. “Saya melihat ada peluang besar jika membuka usaha valas sendiri,” ungkap wanita yang akhirnya mendirikan PT Molindo Viega Egitama, perusahaan money changer yang kini berjalan sembilan tahun, ini.

Lain Melyani, lain pula Nina, sebut saja begitu. Terpincut program “golden handshake” yang ditawarkan PT Garuda Indonesia, ibu dua anak ini pun pensiun lebih cepat. Hasilnya, segera setelah uang mengucur ke koceknya, sebuah rumah seharga Rp300 juta ia beli. Kontan. Sayang, tak lama kemudian, sang suami yang bekerja di sebuah bank swasta ikut terkena PHK. Banknya dilikuidasi. Keduanya lalu membuka toko obat dan perkebunan pohon nilam. Namun, bisnis mereka kandas. Untunglah kini Nina telah kembali bekerja sebagai eksekutif di BUMN dalam bidang percetakan.

Kisah tadi menggambarkan betapa pensiun dini memang punya daya pikat: peluang untuk meraih segepok uang, sementara di tempat lain pekerjaan baru menanti. Bagi yang berjiwa bisnis, pesangon PPDS adalah modal yang terlalu besar untuk diabaikan. Selain itu, masih ada sederat alasan lainnya.

Riyanto Gozali, misalnya, mundur dari PT Astra Graphia Tbk., ketika merasa kinerjanya telah mencapai puncak. Padahal, kala itu bisa saja ia bertahan hingga pensiun. Namun, ia toh memilih keluar dan bergabung sebagai managing director di PT Prosys Bangun Persada, sekaligus ikut memiliki saham di perusahaan itu.

Ayu Bisono, mantan country manager software PT IBM Indonesia, pun memperpendek kerja profesionalnya justru ketika kariernya tengah mencorong—meski kesehatannya juga rawan akibat penyakit Lupus. Semula, Ayu diberi kesempatan memilih rehat panjang (2–3 tahun) dan boleh kembali ngantor tanpa kehilangan status dan karier. Namun, Desember 2005, setelah berkarier selama 14 tahun, Ayu memilih keluar. Ia lalu menggeluti bisnis yang lama ia rintis bersama sepupu dan sahabatnya. “Dulu saya cuma setor uang, tak pernah ikut menjalankan. Kini, saya terjun langsung karena punya waktu lebih banyak lagi,” kata direktur CV Bakoelan ini.

Lebih Fleksibel

Setelah belasan tahun menjadi orang gajian, merintis bisnis sendiri tentu tidak mudah. Ini diakui Riyanto dan Ayu. Riyanto mesti menahan diri untuk tak membabi buta menerapkan manajemen ala Astra di bisnis barunya. Sementara itu, Ayu harus berlelah-lelah soal dirinya saat ikut pameran. “Sampai capek saya menerangkan kalau sudah mundur dari IBM dan kini mengelola usaha sendiri,” kata wanita yang berbisnis handicraft berlabel “Bakoelan” ini.

Berbekal pengalaman semasa di IBM, Ayu mengaku tak sulit mengelola bisnisnya. Bahkan, pengalamannya di bisnis teknologi informasi (TI) membuatnya punya kelebihan dibanding UKM lainnya. Misalnya, sejak awal ia telah memanfaatkan kemajuan TI dalam memasarkan produknya. Kalau toh ada yang harus diadaptasinya, itu adalah strategi berkomunikasi. Ia mesti membiasakan diri berkomunikasi dengan para perajin yang level pendidikannya jauh berbeda dengan koleganya semasa di IBM. Jejaring bisnisnya juga jauh berbeda dengan semasa ia berkecimpung di industri TI.

Akan halnya Riyanto, ia harus menghadapi konflik saat ingin mengubah manajemen ke arah yang lebih baik. Pilihannya, ia kembali mundur atau bertahan, tetapi melakukan sejumlah adjustment. Misalnya, di Astra, para eksekutif level menengah ke atas terbiasa melakukan rapat untuk business forecast secara mingguan. Jadi, di awal bisnisnya, Riyanto mesti mengajari banyak manajernya untuk melakukan hal sejenis. “Kalau saya paksakan, mereka pasti stres. Jadi, saya ajak mereka belajar bersama-sama membuat forecast,” kenangnya.

Meskipun demikian, toh Riyanto dan Ayu mampu bertahan. Apa rahasianya? “Sekarang lebih rileks karena saya bisa menikmati hidup dengan ‘gelombang’ yang disesuaikan dengan kebutuhan sendiri,” kata Riyanto. Ayu senada. Ia merasa lebih fleksibel mengatur waktu karena pekerjaannya dilakukan di rumahnya sendiri. Ia juga bebas menyesuaikan waktu kerja dengan perannya sebagai ibu dari anak-anaknya. Begitulah, pensiun lebih cepat bukanlah kiamat.

(Rabu, 28 Maret 2007 14:12 WIB - wartaekonomi.com/ GENUK CHRISTIASTUTI)

Tidak ada komentar: