17 Desember 2007

WARTAWAN TIDAK BOLEH BUTA WARNA?

(Dikutip dari tulisan Satrio Arismunandar, 27 Maret 2007. )

Belum lama ini saya baca iklan penerimaan wartawan baru Harian Kompas. Salah satu syarat di sebutkan disitu: "Tidak buta warna." Saya jadi bertanya-tanya, apa sih makna tak boleh buta warna di situ?

Kalau untuk jadi dokter, ahli farmasi, dsb, saya bisa paham. Ahli kimia atau farmasi yang tak bisa membedakan warna bisa membahayakan keselamatan orang, karena keliru membedakan zat kimia atau campuran obat. Untuk desainer grafis, soal buta warna jelas ada pengaruhnya. Tapi reporter?

Kenapa saya bertanya ini? Karena faktanya: saya adalah mantan wartawan Harian Kompas yang menderita buta warna. Meskipun bukan buta warna total (saya masih bisa membedakan warna lampu lalu lintas). Toh selama saya kerja di Harian Kompas (1988-1995), tidak pernah ada masalah dengan kebutawarnaan tersebut. Saya mungkin malah termasuk salah satu wartawan yang paling produktif di masa itu (bisa dicek dari ketebalan ordner arsip tulisan-tulisan saya).

Mungkin kriteria Kompas itu agak relevan untuk wartawan seni, yang tugasnya mengulas karya seni lukis, atau wartawan mode, yang mengulas warna busana. Namun sayang sekali, jika Kompas harus menolak calon wartawan yang potensial jagoan di bidang sosial-ekonomi atau politik, hanya karena menderita buta warna (yang bukan buta warna total pula). ***

Jakarta, Maret 2007

Tidak ada komentar: