30 Desember 2007

Jakob Oetama: Perusahaan Ini Diberkati Tuhan

(Untuk memberikan contoh kepemimpinan bagi dunia usaha dan bagi bangsa, Majalah SWA, Synovate Research Reinvented, dan Dunamis memberikan penghargaan bagi Chief Executive Officer (CEO) terbaik tahun 2003, Senin (26/1/ 2004). Penghargaan diberikan kepada 10 CEO dari berbagai perusahaan berbeda yang telah mampu menunjukkan kinerja dan kepemimpinan terbaik bagi perusahaan masing-masing. Dari kesepuluh CEO, Presiden Direktur Kelompok Kompas Gramedia (KKG) Jakob Oetama terpilih sebagai CEO terbaik. Rupanya SWA mewawancarainya dan memuat di majalahnya. Karena terus terang saja, saya termasuk 'pengagum' JO --begitu bos KKG itu biasa disebut -- maka saya kutipkan di sini. Mudah2an memberi banyak manfaat untuk Anda. )

Rabu, 21 Januari 2004

Oleh : Henni T. Soelaeman

Sosoknya dikenal santun, bersahaja, dan pemalu. Ia mengangankan kemakmuran bagi Indonesia mini yang bernama Kelompok Kompas Gramedia. Bagaimana ia memimpin lebih dari 10 ribu karyawannya?

Pada penghujung Januari 2001, matahari baru sepenggalah, seorang karyawan Kelompok Kompas Gramedia (KKG) bergegas memasuki lift. Ketika angka enam menyala dan pintu lift terbuka, perasaan sukacita masih menyergapnya.

"Gile, gue mau ngomong apa, ya," batinnya seraya terus melangkah menyusuri koridor sebelum akhirnya masuk satu ruangan. Ia masih tak percaya saat sekretaris Jakob Oetama menelefonnya. "Dipanggil Bapak." Selama lebih dari lima tahun bekerja sebagai karyawan KKG, baru pertama kali ini ia menjejakkan kaki di ruangan itu dan bertemu dengan Jakob Oetama, berdua saja di ruang kerja Presiden Direktur dan Chief Executive Officer KKG.

"Terima kasih atas bantuan yang Bapak berikan." Kalimat itu langsung meluncur dari mulut si karyawan itu begitu berhadapan dengan Jakob. Pada hari sebelumnya, atasannya memberikan titipan bantuan dari Jakob atas musibah yang menimpa keluarganya. "Saya ini seorang ayah yang memiliki banyak anak. Kamu layaknya seorang anak yang kalau punya masalah atau persoalan datang ke bapaknya." Kalimat yang disampaikan Jakob itu sampai saat ini masih tersimpan di memorinya.

Sepenggal kenangan juga disimpan August Parengkuan, wartawan senior Kompas dan Presiden Direktur PT Duta Visual Nusantara Tivi (TV7). Ketika berada di Australia untuk tugas jurnalistik, Jakob Oetama menelefon istrinya.

"Ia menanyakan kabar keluarga, termasuk anak-anak, selama saya pergi. Bagaimana saya tidak terharu," kenang August. Menurut dia, bukan hanya ia saja yang mendapatkan perhatian khusus. Karyawan lain pun memperoleh perlakuan yang sama dari Jakob. Bos KKG itu sering jalan-jalan mendatangi unit lain.

Sapaan, semisal selamat pagi, apa kabar, meluncur dari bibir Jakob saat berpapasan dengan karyawan KKG, entah itu office boy, staf, sampai manajemen puncak. Terkadang Jakob sekadar tersenyum atau menepuk bahu atau punggung karyawan yang ditemuinya. Tengah malam menjelang dini hari, meski tidak serutin dulu, Jakob menyambangi percetakan. "Bayangkan, CEO yang memimpin 10 ribu karyawan bersikap seperti itu," ujar August.

August juga merekam kenangan lain. Saat Jakob masih menjadi komandan Kompas, sering tiba-tiba saja ia muncul di ruang redaksi. "Sedang mengerjakan apa? Ada kesulitan atau tidak? Sudah makan?" Begitu J.O. -- panggilan akrab Jakob -- menyapa anak buahnya yang berkutat dengan deadline. Pada hari tertentu, ruang redaksi Kompas ?pecah? oleh jeritan kaget seorang rekan karena mendapatkan kartu ucapan selamat ulang tahun di mejanya dari J.O. "Sekarang jarang, ya, karyawannya sudah ribuan," aku Jakob.

Jakob dikenal luas sebagai orang bersahaja. "J.O. ditawari fasilitas mobil Mercedes Benz, namun ia menolaknya," cerita August. August, yang menambahkan, sebenarnya J.O juga pemalu. Ia sering terlihat berdiri sendirian di pojok saat menghadiri pesta. Ia juga memilih datang sendiri, tanpa sang istri. Selain pelahap buku dan jogging setiap pagi, tak banyak karyawan yang tahu kehidupan pribadi Jakob. Memanusiakan manusia, begitulah filosofi J.O.

"Saya sosok yang I do care," ungkap J.O. Ia tak pernah memandang level karyawan. Siapa pun disapanya. Siapa pun dia dijenguknya kalau mendapatkan musibah, semisal keluarganya sakit atau meninggal. Saat sopir kantor di kampung sakit, J.O., seperti diceritakan August, menengok ke rumahnya. "Ibaratnya kami bekerja di sini diuwongke," kata August. Tapi, beberapa tahun terakhir ini, karena faktor usia yang sudah merambat tua, J.O. mengaku tak selalu menyambangi langsung ke rumah karyawan yang tertimpa musibah. "Sudah tak sekuat dulu dan karyawannya makin banyak," tuturnya.

Perhatian dan kepedulian Jakob setali tiga uang dengan perilakunya yang santun, bahkan kerap dinilai oleh karyawannya kelewat santun. Sebagai orang Jawa, Jakob dipandang sangat njawani. Di lingkungan KKG, Jakob dikenal sebagai pribadi yang menjaga perilaku.

"Ia takut menginjak kaki orang lain, takut menyinggung orang lain," ungkap seorang karyawan. Bahkan, menurut Vaksiandra, Redaktur Pelaksana majalah Hai, "Kultur yang dibangun di KKG juga kultur Jawa, sangat kulonuwun, ewuh pakewuh," katanya. Di matanya, pribadi Jakob yang terlalu njawani dengan sikap rendah hati membuat sosoknya sebagai pemimpin tidak tampak jelas.

"Kalau ingin melihat sosok sebenarnya J.O., lihat saja bagaimana bahasa Kompas. J.O. itu tidak meledak-ledak dalam menyampaikan kritik, bahasanya halus padahal nyelekit bagi yang memahami makna yang tersirat di balik kalimat itu," ujar August.

Perilakunya yang santun dan ewuh pakewuh tak jarang justru menjadi bumerang bagi perusahaan. Saat Jakarta-Jakarta, Tiara, dan Raket harus ditutup, Jakob tak mengambil langkah pemutusan hubungan kerja (PHK).

Karyawannya disalurkan ke unit bisnis lain atau ke media lain di bawah payung KKG. Padahal, SDM di unit tersebut sejatinya sudah pas. "Akhirnya, ya dijejal-jejali dan buntutnya menjadi tidak produktif," tutur karyawan yang tak mau diungkap jati dirinya itu. Dalam perjalanannya, PHK akhirnya diberlakukan bagi karyawan Raket. Itu pun berkat desakan karyawan. Imbalan pesangon yang sangat besar -- untuk ukuran media baru dan tengah collaps -- lantas diberikan Jakob.

Kepedulian dan perhatian J.O. kepada karyawan yang terpancar dari prinsip I do care tersebut diterapkan sebagai falsafah manajemen di lingkungan perusahaan. Dalam memberdayakan karyawannya, J.O menerapkan falsafah We do care. Manajemen, menurut dia, wajib seoptimal mungkin menerapkan falsafah We do care sebagai wujud kewajiban perusahaan atas hak karyawan.

Sebagai wujud falsafah ini, ia mengaku selalu berupaya peduli atas segala kebutuhan karyawannya. "Kita harus tahu apa yang diinginkan oleh karyawan. Dengan kepedulian, berarti kita menghargai keberadaan mereka. Jangan hanya memperlakukan mereka sebagai mesin penghasil uang," katanya.

Tak heran, Jakob begitu memperhatikan kesejahteraan karyawan. "Imbalan yang pas sesuai dengan beban kerjanya akan membuat karyawan lebih termotivasi bekerja dengan lebih baik," jelasnya. Meski begitu, ia menganggap sistem penggajian di KKG belum sempurna. Menciptakan perusahaan yang adil, makmur, dan merata bagi seluruh karyawan --"Itu cita-cita J.O.," ungkap August.

Menurut dia, J.O. sangat peduli atas masalah hak karyawan, seperti gaji dan tunjangan supaya karyawan KKG hidup lebih layak. Saking pedulinya, khususnya di level bawah atau staf, J.O. lebih dulu membuatkan perumahan bagi karyawan level bawah. Sementara itu, karyawan di level manajemen menengah atas belakangan. "Ha..ha..kita pernah iri atas kebijakan itu. Kok, kita dapat rumahnya belakangan?" cerita August.

Bagi Jakob, menyejahterakan karyawan itu kewajiban perusahaan. "Mereka aset, ya harus mendapatkan hak-haknya dengan baik," katanya. Menurut dia, dengan tingkat kesejahteraan yang baik, karyawan pun akan termotivasi memberikan yang terbaik bagi perusahaan. Mereka juga menjadi loyal. Secara jujur, ia bangga bahwa turn over karyawan di perusahaannya relatif kecil. "Di bawah 5%," tambahnya. Kata seorang karyawan yang tak mau diungkap jati dirinya, "Jakob tahu sekali bagaimana membuat karyawan betah bekerja di sini."

Ibarat pisau bermata dua, sikap We do care perusahaan bukannya tak menerbitkan riak. Ia tidak menampik bahwa upaya selalu memenuhi kebutuhan karyawannya agar sejahtera menciptakan pegawai yang cenderung terlena dengan segala kemapanan yang diperoleh karena bekerja di KKG dan tidak didapatkan di tempat lain. Buntutnya berkembang istilah rajin malas sama saja alias RMS. Pasalnya, sistem penggajian dan pemberian fasilitas KKG sangat jelas. Parameternya ialah lama bekerja, bukan pada performa karyawan.

Prestasi karyawan lebih untuk mendongkrak posisi. Misalnya, tahun ke berapa mendapatkan fasilitas pinjaman rumah, kendaraan, atau yang lain, jelas tertuang. Artinya, rajin atau malas, fasilitas dan tunjangan tetap diberikan. "Namun kami saat ini sudah menerapkan pemberdayaan SDM melalui sistem penilaian karya," kata Jakob. Dengan sistem ini, diharapkan karyawan lebih termotivasi menunjukkan kinerjanya. "Supaya juga tidak ada istilah RMS itu," ungkap J.O. Penilaian karya ini dievaluasi setiap enam bulan dan dipantau terus-menerus oleh pihak SDM.

Ruang seluas 30-an meter persegi di lantai 6 Gedung KKG, Jalan Palmerah Selatan, berhawa sedikit panas, sepertinya pendingin ruangan tidak berfungsi dengan baik. CEO KKG, Jakob Oetama, menerima tim SWA. "Saya hanya punya waktu sampai pukul 11.15 ya, karena ada janji bertemu orang," kata J.O.

Di dinding ruang bercat putih itu, waktu menunjukkan pukul 10 lewat 5 menit. Jakob terlihat santai dengan kemeja biru muda dipadu celana biru tua lengkap dengan dasi bermotif garis bintik-bintik dan tanda pengenal melekat di dada kirinya. Ballpoint Montblanc terselip di saku kemejanya.

Kami dari SWA duduk di sofa berwarna krem. Lemari berisi buku koleksi Jakob berderet rapi sepanjang lebih dari lima meter. "Bagaimana perasaan Bapak terpilih menjadi The Best CEO?" SWA memulai perbincangan. Jakob tak langsung menjawab. Sejurus ia diam lantas menyungging senyum. "Itulah, saya pakewuh," katanya.

Ia mengaku surprise sekaligus heran karena terpilih sebagai The Best CEO 2003. "Semestinya orang lain saja yang lebih muda usia yang meraih ini. Saya sudah tua lho, 72 tahun," tambahnya. Wajah sepuh-nya memang tergurat jelas pada garis mukanya. Rambutnya yang dibiarkan agak gondrong menyembulkan gumpalan uban.

"Kalau boleh saya menilai diri saya sendiri, saya itu orangnya ngemong. Mungkin karyawan suka kepada saya karena sikap ngemong ibarat bapak kepada anaknya," papar J.O. mengomentari bahwa terpilihnya ia sebagai The Best CEO karena penilaian pegawainya juga. "Sebenarnya, saya tidak sehebat seperti yang dibicarakan karyawan saya. Sebetulnya saya biasa-biasa saja," katanya.

Selama memimpin KKG, ia menegaskan falsafah leadership yang dianutnya ialah falsafah ngemong. Arti ngemong baginya itu menggerakkan, mengajak, memotivasi, menyemangati, menjelaskan, dan bagaimana melakukan komunikasi. Di matanya, kunci keberhasilannya ialah berkomunikasi dengan seluruh karyawan dari semua level. "Komunikasi itu sangat penting," katanya.

Bentuk komunikasi sederhana yang dianutnya ialah sekadar menyapa karyawan: apa kabar? selamat pagi! Komunikasi tersebut dijabarkan juga lewat forum karyawan di setiap unit usaha. Secara berkala, ia mengadakan pertemuan dengan direktur seluruh unit bisnis. Pertemuan resmi ia dengan seluruh karyawan KKG dilakukan setiap acara syukuran tahunan yang jatuh pada Januari.

Menurut dia, acara tersebut sangat ditunggu-tunggu seluruh karyawan KKG. "Karena pada acara itu Bapak mengumumkan kenaikan gaji. Tahun ini, berapa persen?" timpal SWA. "Kok tahu?? tanyanya, keningnya mengerenyit. Tanpa menunggu jawaban SWA, ia menambahkan, "Ya, itu sebenarnya yang ditunggu-tunggu karyawan," katanya menyungging senyum.

Untuk mengomunikasikan visi, misi, dan garis besar kebijakan perusahaan kepada seluruh karyawan, J.O. menjelaskan bahwa KKG memiliki pedoman baku perusahaan, yang seluruh karyawan wajib mematuhinya. Ini termasuk melalui sharing knowledge dan experience dengan pegawai yang dilakukan lewat pertemuan rutin, baik langsung di depan karyawan, lewat forum karyawan, atau acara lain.

Guna mempercepat pencapaian visi dan misi, J.O, menekankan kerja sama tim. Tim kerja yang solid dan baik memudahkan dan mempercepat pencapaian visi dan misi yang ingin dicapai perusahaan. Ia melihat dirinya sebagai sosok team builder. Baginya, sosok pemimpin itu harus mampu menjadi team builder.

Sebagai pemimpin, J.O. mengakui dirinya bukanlah orang yang menguasai banyak hal. "Saya harus tahu diri bahwa saya tidak menguasai semua hal atau banyak hal," ucapnya. Ia lebih senang membangun tim yang terdiri atas beberapa orang yang memiliki kelebihan masing-masing dengan pembagian kerja dan tanggung jawab kerja yang jelas. "Seluruh anggota tim bertanggung jawab baik atas kesuksesan maupun kegagalan," jelasnya.

Adanya tim kerja membuat dirinya bisa lebih memobilisasi karyawannya dengan segala kelebihan di bidangnya. Ia sadar bahwa perusahaan ini memiliki keragaman keahlian. Perusahaan ini memerlukan keahlian di berbagai bidang agar bisa tetap jalan. Bermacam keahlian itu dijadikan satu dalam forum atau tim, baik di tingkat corporate management maupun di setiap unit usaha.

Dengan beragam SDM yang memiliki beragam keahlian, latar belakang, dan budaya, J.O. memilih melakukan pendekatan kultural. Melalui pendekatan ini, ia berusaha memahami dan mengerti bagaimana sifat, karakter, dan perilaku karyawannya yang datang dari latar belakang yang berbeda-beda. Meskipun berbeda, J.O. menginginkan ada kultur yang berlaku umum bagi seluruh karyawan di dalam ruang lingkup KKG.

Salah satu kultur di KKG ialah budaya kerja tim yang harus terus-menerus dibina dan dibangun. Lewat tim, berarti ada komitmen bersama yang patut disepakati bersama." Dengan adanya tim kerja, tujuan akan lebih cepat tercapai sehingga waktu dapat dimanfaatkan secara optimal dan efisien," tegasnya.

Sebagai pucuk kepemimpinan yang menaungi kemajemukan, ia berupaya seadil mungkin memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh karyawan untuk maju dalam konteks demi kemajuan perusahaan. Ia mengibaratkan KKG sebagai Indonesia mini.

"Beragam suku, budaya, agama, etnis, ada di sini. Ini menjadi sumber kekuatan perusahaan," katanya. Ia ingin menciptakan Indonesia mini yang makmur, kaya, dan adil di dalam lingkup perusahaan. "Sejak mendirikan perusahaan ini, saya sudah mencanangkan akan membawa perusahaan ini sebagai Indonesia mini," jelasnya.

Sebagai komandan, J.O. berupaya menyelaraskan penerapan sistem manajemen bisnis yang baku dengan suasana kekeluargaan. "Sejak awal, saya ingin perusahaan ini sebagai keluarga kedua bagi karyawan karena mau tidak mau sebagian besar waktu karyawan itu dihabiskan di kantor," tuturnya.

Menurut dia, kelugasan sikap, ketelitian, kedetilan, dan ketepatan waktu, serta perhitungan eksak sangat diperlukan dalam bisnis. Toh, bisnis yang bernuansa kekeluargaan juga bukanlah hal yang jelek. Dalam pandangannya, suasana kekeluargaan dan keharmonisan penting bagi kemajuan bisnis.

"Kita harus bisa menyeimbangkan antara kepentingan manajemen bisnis dengan asas kekeluargaan," tegasnya. Caranya? "Bersama almarhum P.K. Ojong, sejak awal berusaha betul menerapkan dan menjalankan Good Corporate Governance (GCG)," katanya.

GCG, menurut dia, diperlukan untuk menyeimbangkan antara kepentingan bisnis yang sakelijk dengan bentuk manajemen kekeluargaan. Jurus yang dilakukannya ialah membuat sistem kontrol yang jelas, baku, dan hitam putih. Rambunya jelas dan transparan. Sebagai pemimpin tertinggi, ia selalu menjaga agar tidak ada kebocoran dalam hal keuangan perusahaan.

"Ini saya perhatikan betul mengingat pundi-pundi keuangan itu demi kemakmuran bersama," ujar Jakob yang memercayakan pengelolaan keuangan kepada pihak yang profesional dan ahli. Dikatakan August, dalam menjalankan bisnis, J.O sangat konservatif. "J.O. sangat berhati-hati mengeluarkan setiap sen uang perusahaan," paparnya.

Sebagai pelaku bisnis, ia berpikir bahwa dirinya juga memiliki tanggung jawab sosial dan berkontribusi penting pada kemajuan sosial bangsa. Ia setuju bahwa pelaku bisnis wajib diberi tanggung jawab sosial. Ia melihat pada iklim ekonomi pasar yang berlaku saat ini, pelaku bisnis harus diperlakukan secara proporsional karena kehadirannya diperlukan untuk menggerakkan roda ekonomi sektor riil. Dalam membangun SDM, hal mendasar ialah pemilihan karakter, yang diutamakan sejak awal perekrutan karyawan.

Fleksibel, luwes, berpikiran terbuka, dinamis, berani menerima kritik, asertif, jujur, peduli orang lain, bisa saling memberi dan menerima serta teratur --itulah kriteria SDM yang menjadi parameter KKG. "Karakter karyawan yang tidak malas, tepat waktu, jujur, tidak manipulatif itulah karakter yang saya sukai," ujar Jakob.

Untuk menciptakan SDM yang berintegritas, kompeten, dan accountable, J.O. berusaha menjalankan nilai-nilai yang disepakati bersama sehingga dirinya dapat menjadi sosok yang patut disegani dan dihormati oleh karyawannya. Sebagai pemimpin, ia mengaku berusaha untuk selalu sejujur dan selurus mungkin dalam menjalankan bisnisnya. Baginya, hal ini patut dijalankan agar menjadi contoh yang baik bagi anak buahnya.

"Masa kita bicara A tetapi sikap kita B? Wah, nggak boleh begitu jadi pemimpin," ujarnya. Memberikan contoh yang akhirnya menjadi panutan, begitulah yang dilakukan Jakob. "Saya selalu berusaha memberikan contoh, dalam hal ketepatan waktu, misalnya," katanya.

Yanti, sekretarisnya, memuji J.O. sebagai sosok yang memiliki disiplin waktu tinggi. Ia pernah menanyakan pada Big Boss-nya mengapa selalu tepat waktu? "Nanti jadwal orang juga bisa berantakan hanya gara-gara menunggu saya," ujarnya mengutip jawaban Jakob. Bahkan, J.O. mengatakan ketepatan waktunya itu sebagai salah satu wujud penghargaan dirinya terhadap hasil kerja keras sekretarisnya yang sudah mengatur jadwal sedemikian rupa.

Tak ada gading yang tak retak, sebagai pemimpin, Jakob mengaku memiliki kekurangan. Ia menyadari kadang dirinya dilihat sebagai sosok yang sangat penuh pertimbangan dalam mengambil keputusan sehingga terlihat lambat dalam mengambil keputusan di mata anak buah. August menjelaskan, kelemahan J.O. lebih pada cara dan bagaimana J.O. mengambil keputusan.
"Bagi orang yang berkarakter agresif, J.O. dianggap lamban. Semua hal dipikirkan masak-masak. J.O. itu paling tidak bisa diburu-buru dan didesak-desak dalam mengambil keputusan. J.O. sangat tidak menyukai pendesakan. J.O. akan melihat dari segala sisi ketika akan mengambil keputusan. J.O akan menanyakan berbagai macam pendapat dari banyak pihak," papar August.

August mencontohkan ketika J.O. mengambil langkah investasi di bisnis televisi. Sebelum lahir TV7, J.O. melemparkan ide ini kepada top management. Ia sharing argumen dan knowledge tentang rencana merambah bisnis tv. Tidak hanya dengan top management, J.O. jalan-jalan keliling perusahaannya dan menanyakan pendapat karyawan yang ditemuinya tentang idenya tersebut. "Jadi, realisasi ide itu ialah buah pikiran bersama. Nggak heran kalau ia lama mengambil keputusan," terang August.

J.O. sangat mengakui keterbatasan dirinya. Meski ujungnya ia yang tetap memegang dan mengetuk palu dalam memutuskan sesuatu. "Saya bukanlah orang yang bisa semua hal. Saya butuh orang untuk mendampingi saya menjalankan bisnis ini, termasuk konsultan, sebelum saya mengambil keputusan bisnis," tegas Jakob.

Sebagai pelaku bisnis, ia memercayakan dan mendelegasikan tugas kepada para profesionalnya. J.O terbuka terhadap saran dan pendapat para profesionalnya. Itu tak hanya di ruang rapat. Misalnya ada rencana bisnis tertentu, kepada karyawan yang ditemuinya ketika ia naik lift atau berpapasan dengannya tanpa memandang levelnya, J.O. selalu berusaha mengumpulkan pendapat.

"Inilah mengapa J.O dikenal dengan gaya management by walking arround. Ia tidak bersikap mentang-mentang sebagai presdir," jelas August.Tak hanya terbuka pada kritik. Jakob dikenal fleksibel dalam mengantisipasi perkembangan zaman, termasuk bisnis. "Strategi bisnisnya jauh ke depan," kata Vaksiandra. Dia punya pengalaman ketika Kompas membuat sisipan Muda yang menggandeng Hai dan Kawanku. Jakob menilai sisipan itu secara bisnis ke depannya akan menguntungkan karena punya daya jual tinggi.

Diakui Jakob, sistem di KKG akan terus-menerus dibangun dan disesuaikan dengan perkembangan zaman yang mengacu pada visi dan misi perusahaan. "Kalau bersikap kaku, waduh, bagaimana perusahaan ini berkembang. Generasi saya dengan generasi sekarang itu sangat jauh berbeda. Anak muda lebih dinamis, agresif, terbuka, dan asertif," katanya.

Anak muda pula memang yang dipilih Jakob menggantikan posisinya sebagai Pemred Kompas. Suryopratomo, kelahiran 1961, didapuknya menjadi orang nomor satu di jajaran redaksi Kompas. "Para redaktur senior sudah mendekati masa pensiun dan mereka juga telah mendapatkan pekerjaan lain yang tidak kalah beratnya dari tugas pemred," ungkap Jakob ketika ditanya mengapa bukan August Parengkuan atau Ninok Leksono yang tampil.

Alih generasi mulai dilakukan. Siapa calon penggantinya? Boleh jadi saat ini ia tengah mengelus-elus jagonya. Dan, bisa saja pilihan orang yang menggantikannya akan banyak mengejutkan. Seperti ketika ia memilih Suryapratomo. "Saya sangat berhati-hati dalam memilih pengganti saya. Yang jelas nota bene berasal dari dalam KKG sendiri," ucapnya.

Itu bukan berarti ia tak membuka diri bagi profesional di luar KKG. Untuk posisi tertentu di level supervisor dan manajer, KKG membuka diri untuk mencari pemimpin yang berasal dari profesional karier dari luar, bukan dari dalam. Langkah ini ditempuh untuk menjawab tuntutan dunia bisnis yang bergerak cepat dan dinamis.

Hal ini dilakukan agar KKG lebih dinamis, agresif, dan inovatif. Secara jujur ia mengakui bahwa para profesional dari luar KKG lebih asertif, dinamis, percaya diri, dan aktif mencari terobosan dalam pengembangan bisnis. Kelebihan itu dipadukan dengan kemampuan SDM KKG dari dalam yang lebih paham dan mengerti bagaimana dan siapa itu KKG. Ia telah memutuskan mem-blending-kan SDM profesional dari luar dan dalam.

Namun, untuk level direksi, ia masih menyiapkan dari orang dalam.Dalam mempersiapkan penggantinya, ia menganut paham lokomotif yang tetap menggandeng gerbongnya. Ia masih bisa menggandeng calon penggantinya sebelum ia benar-benar turun atau pensiun agar bisa mengawasi jalannya perusahaan dan bagaimana calon penggantinya itu memimpin.
"Pelan-pelan saya akan melepas gerbong itu," ujarnya.

Ia menegaskan dan menyarankan, ada cara yang mudah jika ingin menjadi pemimpin yang sukses di KKG. "Caranya gampang. Jangan lihat ke atas tetapi lihatlah ke bawah, samping kiri dan kanan supaya peduli pada apa yang terjadi di sekitar kita," ungkapnya. Ia mengaku tidak pernah membayangkan bahwa Kompas dan KKG akan menjadi besar seperti sekarang ini.

Bagi Jakob, keberhasilannya sebagai pemimpin sejatinya harus dilihat dari bagaimana kondisi perusahaan (KKG) setelah ia undur diri dari manajemen. Apakah KKG tetap jalan atau tidak? Jika KKG tetap berjalan dan berkembang, ia menganggap dirinya telah berhasil memimpin. Jika tidak, berarti ia telah gagal memimpin. Ia merasa sukses kalau berhasil mengantarkan penggantinya bisa tetap mempertahankan bisnis ini berjalan terus.

"Jika hancur, ia sering kali akan merasa berdosa karena menyangkut hidup karyawannya," ujar August mengutip perkataan Jakob Oetama yang kerap dikatakan kepadanya.

Di mata August, bisa saja seorang CEO diganti atau tergantikan. Tetapi, sosok pemimpin yang sangat kebapakan seperti Jakob Oetama jarang sekali ditemui. Jika terjadi alih generasi dari kepemimpinan J.O. kepada penerusnya, August berpendapat bahwa sesungguhnya KKG kehilangan sosok bapak selayaknya anak yang kehilangan ayahnya.

"Siapa pun penggantinya, sosok ayah yang ada di J.O. tidak dapat tergantikan. Kelebihan dan kelemahan J.O. bisa diterima dengan baik karena J.O. itu seorang ayah," kata August. Tanpa bermaksud mendahului Sang Khalik, August mengungkapkan saat ini karyawan sangat khawatir akan kondisi kesehatan J.O. mengingat usianya yang semakin tua.

Jakob Oetama lahir di Borobudur, 27 September 1931. Selepas menamatkan SMA Seminari di Yogyakarta, anak pensiunan guru di Sleman ini mengikuti jejak sang ayah, menjadi guru. Ia pernah mengajar di SMP Mardiyuwana, Cipanas, Jawa Barat, dan SMP Van Lith Jakarta.

Di sela mengajar, ia menyisakan waktu menjadi redaktur mingguan Penabur. Selain mengantungi ijazah B1 Ilmu Sejarah, Jakob tercatat sebagai alumni Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta (1959) dan Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1961).
"Saya mencintai profesi guru," kata Jakob saat akan diabadikan kamera di depan meja kerjanya. "Mengapa kemudian memilih menjadi wartawan?" tanya SWA. "Saya tidak akan seperti ini kalau tetap menjadi guru," ungkap Jakob.

Bukan dalam konteks materi. Kompas tak hanya surat kabar yang saat ini bertiras lebih dari 500 ribu eksemplar. Ia menawarkan sejumlah soal dan menggelindingkan opini publik. Kontribusi pemikiran J.O. di Kompas masih dominan. Ia masih menjadi think thank Kompas. Pengaruh kuat Jakob terlihat dari pameo: Jakob Oetama adalah Kompas dan Kompas adalah Jakob Oetama.

"Pengidentikan itu wajar. Saya salah satu perintis kelahiran Kompas dan masih berkontribusi besar pada kemajuan Kompas dan KKG," kata Jakob.

Jakob sendiri lebih senang menyebut diri wartawan ketimbang pelaku bisnis. "Jabatan sebagai CEO sebagai co-incident," katanya. Ketika pertama kali usaha ini dirintis, J.O. lebih disiapkan sebagai pemimpin redaksi sementara P.K Ojong sebagai pemimpin perusahaan. Wafatnya P.K. Ojong pada 1980-an membuat ia harus segera mengambil alih tampuk kepemimpinan perusahaan.

Sebagai pengusaha, Jakob sukses mengerek KKG menjadi kerajaan bisnis pers terbesar di Indonesia. Memang tidak semua media di bawah KKG menghasilkan pundi-pundi uang berlimpah. Tulang punggung KKG di luar penerbitan buku ialah Kompas. Meski ia menolak disebut kapitalis, bisnisnya terus merambah berbagai lini. Penerbitan pers, jaringan toko buku Gramedia, hotel (Grahawita Santika), penyiaran radio (Radio Sonora), kertas tisu (PT Graha Kerindo). Total ada 42 anak perusahaan yang bernaung di bawah payung KKG. Total omset KKG pada 2001 saja diperkirakan mencapai lebih dari Rp 1,05 triliun.

Keberhasilan KKG diakuinya juga berkat andil dan kerja keras seluruh karyawan. "Tuhan juga memberkati perusahaan ini," tegasnya. Sekarang ini, yang selalu menghantuinya justru bagaimana bisnis ini tetap berjalan setelah ia tidak ada. "Pertanyaan apakah bisnis ini tetap ada atau tidak setelah saya tidak ada, itu yang selalu ada di benak saya," katanya. Ia mengakui hal ini menjadi concern-nya mengingat usianya yang sudah tidak muda lagi. Ia merasa sudah saatnya turun tahta. "Anak saya tidak ada yang tertarik terhadap bisnis media. Satu anak saya terjun mengurusi hotel," kata Jakob yang memiliki lima anak.

Jakob menanggalkan kartu pengenal di dadanya sesuai dengan permintaan fotografer. "Saya sering dibilang teman lupa asal," ujar Jakob sembari membagikan kartu namanya kepada tim SWA. Pukul 11.05, Yanti, sekretaris Jakob, melongok ke ruang kerja Jakob. "Bapak ada janji lain, harus pergi," katanya.

Kami beriringan menyusuri koridor dan memasuki lift. Jakob tersenyum kepada satpam yang memencetkan tombol lift. Di dalam lift, ia membuka notes kecil dari saku celananya. "Jam 12 siang di Grand Hyatt." Pintu lift terbuka di angka 3, seorang wanita muda masuk. "Siang Pak," sapanya. "Mau ke mana?? Jakob mendekati wanita muda yang rupanya wartawan Kompas. "Ke gereja? Ada acara apa?" tanya Jakob. Lift terbuka, wanita itu bergegas keluar, "Duluan, ya Pak." Jakob melangkah pelan, agak tertatih ke luar lift. "Dia ahli Amerika Latin," katanya. Kami menyesuaikan langkah kami supaya tetap seiring.

Di lobi, Jakob bersua dengan Julius Pour dan mantan Wakil Pemimpin Umum Kompas, A. Roesilah Kasiyanto. Jakob menjabat erat Roesilah dan saling bertukar berita. Tak lama itu. Di depan lobi, mobil pribadinya, BMW seri 5 warna hitam, telah menunggu yang akan membawanya ke Grand Hyatt bertemu Adam Schwartz, penulis buku Nation in Waiting.

Reportase: Tutut Handayani Riset: Vika Octavia
Sumber: http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=254

KKG Pasca-Jakob

(Tulisan berikut dikutip dari majalah SWA. Ada baiknya kita baca untuk mengetahui langkah-langkah CEO Kelompok Kompas-Gramedia yang baru.)

Kamis, 01 Maret 2007

Oleh : Firdanianty

Sejak tahun lalu, pucuk pemimpin Kelompok Kompas-Gramedia berganti. Bagaimana CEO baru mengubah kultur lama?

Menjelang tutup tahun 2006, Agung Adiprasetiyo bertambah sibuk. Ia bukan hanya bekerja lebih panjang dari hari-hari biasanya, tetapi juga harus mengetahui persis kondisi ke-66 perseroan terbatas (PT) di bawah Kelompok Kompas-Gramedia (KKG). Dalam sehari, paling sedikit rapat dengan 4-5 unit usaha digelarnya.

“Satu PT ada yang berisi satu suku usaha, ada pula yang berisi beberapa suku usaha,” katanya menjelaskan. Tak mengherankan bila pria yang telah berkarier 25 tahun di kelompok bisnis ini semakin sibuk. Sejak September 2006 Agung didaulat menjadi CEO menggantikan Jakob Oetama, yang bersama P.K. Ojong mendirikan kerajaan bisnis ini.

Barangkali, tak banyak orang tahu tentang pergantian kepemimpinan ini. Maklum, nama Jakob identik dengan KKG -- terutama Kompas. Harian umum yang dibidaninya bersama PK Ojong 42 tahun lalu itu seperti anaknya sendiri. Akan tetapi, Jakob -- yang di lingkungannya akrab disapa JO -- menyadari usianya tak semuda dulu lagi. Ia memang masih bersemangat. Namun, usianya yang telah melewati 70 tahun itu membuatnya harus memikirkan kelangsungan bisnis KKG.

Karena itu, alih kepemimpinan menjadi prioritas utamanya selama beberapa tahun terakhir ini. Menurut Agung, langkah mencari CEO baru itu dilakoni Jacob sejak lima tahun lalu. “Pak Jakob ingin mundur sejak lima tahun lalu. Namun perubahan itu harus berlangsung lancar, tanpa rock the boat. Mungkin itu salah satu cara Pak Jakob.”Agung mengaku sangat mengagumi sosok Jakob.

“Di satu sisi, Pak Jakob membawa saya sebagai profesional. Namun di sisi lain, ia seperti ayah dan terkadang seperti guru. Itu mungkin yang membuat saya dan kawan seangkatan mengaguminya sebagai founder,” ujarnya memuji Jakob. Karena itu, ketika terpilih sebagai CEO KKG menggantikan Jakob, ia tidak membayangkan akan melakukan transformasi.

“Saya bayangkan kultur di sini seperti agama, sama halnya dengan Pak Jakob membawa visi kemanusiaannya. Visi yang dibawa Pak Jakob adalah menghargai manusia seutuhnya. Sehingga ketika sudah terbentuk seperti itu, sudah mendarah daging. Tentu saja, tidak mudah jika harus turn around atau switch arah.”Apakah itu berarti bahwa nilai-nilai yang diturunkan Jakob akan tetap dipertahankan? “Intinya, ya. Bagaimana kami membawa nilai-nilai itu ke dalam situasi hari ini, namun tidak persis seluruh filosofi seperti itu,” kata Agung seraya memberi contoh, “Meski namanya kemanusiaan, bukan berarti oang bisa seenaknya sendiri ketika masuk ke lembaga ini.”Lantaran itu, Agung merasa bukan pekerjaan mudah mengubah KKG dengan kondisi yang sudah terbentuk seperti sekarang.

“Yang saya lakukan adalah mengidentifikasi kembali, lalu memberi dimensi kekinian. Itu saja yang saya bayangkan,” tuturnya realistis. Sejauh ini, masalah SDM menjadi perhatian utamanya. “Mengubah teknik marketing atau produksi mungkin bagian terkecil. Tetapi, bagian terbesarnya adalah membawa SDM ini kepada situasi persaingan baru yang benar-benar berbeda dari 15 tahun lalu,” ia menandaskan.

Agung benar. Ambil contoh Kompas, yang selama ini dianggap sebagai koran terbesar di Tanah Air. Sekarang, kondisinya berbeda. Kompas bukan lagi satu-satunya harian pilihan pembaca. Ada puluhan bahkan ratusan koran yang ada di hadapan pembaca. Tak cuma itu. Di luar media cetak, masyarakat masih disodori berbagai informasi dari media elektronik seperti televisi dan radio. Dengan kata lain, informasi bisa diperoleh dari mana saja. Pesaing begitu banyak dan ganas pula.

“Para pesaing tidak memberi ruang sedikit pun kepada yang lain untuk hidup,” ujar Agung memberi komentar. Bahkan, ilmu yang datang dari militer pun terkadang diterapkan dan hanya mengenal prinsip: saya yang akan hidup, atau kamu yang mati. Kondisi seperti itu, diharapkan Agung, dapat membuka mata karyawan KKG yang kini berjumlah 11.300 orang untuk tidak merasa nyaman.

“Ini membawa kesadaran kepada banyak kawan di KKG bahwa survival adalah bagian penting dari kapal besar ini. Ketika banyak sekali orang terbuai dengan kebesaran KKG, justru inilah PR (pekerjaan rumah) besar yang saya bawa ke depan,” ujar Agung menegaskan. Diakuinya, sejauh ini Jakob tidak benar-benar meninggalkan KKG.

“Pak Jakob masih memimpin. Senior prime minister-lah posisinya sekarang,” tutur Agung diiringi tawa. Tentu, tak mudah bagi Agung mengubah persepsi karyawan. Terlebih, bayang-bayang Jakob masih mengiringinya. Selama ini, “Di KKG mataharinya adalah Jakob Oetama. Saya sendiri tidak membayangkan menggantikannya. Ia dikenal sebagai tokoh dan orang yang baik, juga pemilik perusahaan. Saya tidak memiliki itu semua, dan tidak berkehendak menggantikan ‘matahari’,” ujarnya merendah. Akan tetapi, menurut Agung, Jakob pernah berkata, “Gung, kamu dikatakan berhasil jika perusahaan ini tidak mati saat saya wafat. Jadi, yang ada di benak saya kalau KKG ingin langgeng adalah, tidak mungkin lagi mengandalkan sosok seseorang. Sudah waktunya diganti dengan institusi.”

Dengan kata lain, Agung menerjemahkan kata-kata Jakob dengan membuat sistem yang baik dan solid. “Saya bisa saja besok tidak ada. Namun, saya tidak terlalu pusing membayangkan akan duduk di sini selamanya. Ke depan KKG harus tetap ada,” ujar Agung.

Dicontohkannya, “Dulu setiap ada persoalan di internal KKG, Jakob akan berpidato (turun tangan). Setelah itu, masalah langsung beres. Besok-besok siapa yang harus pidato? Saya bayangkan, yang menjadi mataharinya adalah sistem di perusahaan.”

Salah seorang karyawan, Theodorus Nung Antasana, mengakui bahwa tantangan yang dihadapi dunia bisnis kini lebih berat. Karena itu, GM Pemasaran PT Gramedia Pustaka Utama ini memaklumi kenapa karyawan dituntut harus bekerja keras dan berkinerja baik. “Dulu orang masuk KKG langsung merasa aman. Sekarang tidak bisa lagi,” ujar Nung yang dijumpai SWA pertengahan Desember tahun lalu usai acara peluncuran buku Pengantin Gypsi dan Penipu Cinta di Toko Buku Kinokuniya, Sogo, Plaza Senayan.

Kendati demikian, ia optimistis memandang masa depan KKG. Di tempat terpisah, seorang wartawan dari salah satu majalah di bawah KKG yang tak berkenan disebutkan namanya membenarkan, perubahan terlihat sejak Agung naik ke pucuk pemimpin.

“Seusai rapat kerja dengan Agung Januari lalu, jajaran Redaktur Pelaksana dan Pemimpin Redaksi terlihat serius dan lebih gigih bekerja,” tuturnya. Mulanya, sang wartawan agak bingung melihat perubahan itu. Setelah ditelusuri, barulah ia tahu apa yang membuat bos-bosnya menjadi lebih rajin.

“Ternyata, orang-orang di ring 1 dan ring 2 (istilahnya untuk Pemimpin Redaksi dan Redaktur Pelaksana – Red.) itu akan dinilai juga. Ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Hasil penilaian itu bisa membuat mereka naik pangkat atau malah sebaliknya, digantikan bawahannya jika tidak perform,” tuturnya lugas.Wartawan ini mengakui, sebelum Agung jadi CEO, sistem penilaian kerja sudah ada. Namun, menurutnya, sekadar formalitas alias tidak ketat.

“Dulu di bawah Pak Jakob yang penting kami bekerja dengan baik, dijamin tidak akan di-PHK-kan. Sekarang ukurannya tidak lagi seperti itu,” katanya. Ia juga diberitahu atasannya agar bekerja lebih gigih agar medianya tidak ditutup lantaran merugi. “Saat ini unit usaha yang tidak berkinerja baik akan ditutup,” katanya lagi tandas. Ia sendiri secara pribadi setuju dengan sistem dan budaya kerja yang ditawarkan Agung. “Bagi saya, asal job description-nya yang jelas serta sistem penilaiannya adil dan transparan, tidak menjadi masalah,” tuturnya.

“Bila ingin berpacu dengan pesaing, karyawan KKG memang harus bekerja keras.” Sehubungan dengan itu, Agung memaparkan strategi dan taktiknya dalam melaksanakan visi KKG.

“Pertama, yang saya lakukan adalah melakukan road show,” ujarnya. Dalam hal ini, ia berupaya menyadarkan karyawan bahwa industri media telah mengalami pergeseran luar biasa.

“Menurut AC Nielsen, media elektronik penetrasinya sampai 90%. Sementara media cetak justru turun dari 60% ke 40%. Dari situ saja terlihat bahwa kita hanya sekadar bangga dengan romantisme media cetak. Sekarang televisi telah mengambil porsi yang sangat besar,” ujarnya. Di luar itu, masih ada mobile phone dan Internet. Ketika semuanya digabungkan, itu akan mengubah gaya hidup konsumen dalam mendapatkan informasi.

Langkah kedua Agung adalah mendorong peningkatan produktivitas dan performa karyawan. Kalau digambarkan, misalnya, manusia terdiri atas sumbu X yang berisi watak, dan sumbu Y yang mencerminkan produktivitas. Maka, selama ini para pendiri lebih menekankan pentingnya memiliki watak baik. Namun, ketika hanya itu yang dikedepankan, masalah performa jadi kurang diperhatikan. Sekadar contoh, selama ini karyawan -- di luar redaksi -- yang bekerja dari pukul 08.00-17.00 sudah dianggap baik.

Menurut Agung, itu belum cukup. Seluruh karyawan juga dituntut memberikan yang terbaik bagi perusahaan. Lagi-lagi, disadarinya, ini tidak mudah. “Mungkin masih ada yang tidak percaya, lalu protes. Tapi biar saja, itu bagian dari cara kami berkomunikasi,” tutur Agung mengakui bahwa itu adalah langkah yang harus ditempuh dan dibangun di KKG.

Pria yang bercita-cita menulis dan mengajar ketika pensiun nanti ini mengungkapkan, KKG membagi usahanya ke dalam dua kelompok besar: knowledge-based industry dan nonknowledge - based industry. Selanjutnya, knowledge-based industry dibagi dua: multimedia dan pencerahan.

Dalam kategori multimedia masuklah unit usaha radio, koran, televisi, majalah dan Internet service provider. Sementara di kategori pencerahan terdapat penerbitan buku, toko buku dan sekolah, termasuk Universitas Multimedia Nusantara yang baru dibesut KKG beberapa bulan lalu. Di samping itu, ada pula kursus komputer LPKP dan kursus bahasa Inggris ELTI.

Sementara untuk nonknowledge-based industry, ada unit perhotelan dan kertas tisu. Ke depan, bisnis inti KKG akan tetap berada di knowledge-based industry yang diperkaya dengan program-program digital publishing.

Sejauh ini, menurut Agung, industri media ditakar oleh bujet iklan nasional yang besarnya hanya Rp 24 triliun. Nilai itu masih terbagi-bagi ke media cetak, TV, radio, dan lain-lain. “Makin lama industri media cetak menjadi industri kelas menengah karena perkembangannya tidak lebih cepat dari industri lain. Saya bayangkan, ke depan yang berkembang cepat adalah industri telekomunikasi dan infrastruktur serta lembaga-lembaga keuangan karena limitnya langit,” ujar pemburu tempat makan baru ini.

“Jadi, kalau saya mau mendorong pertumbuhan perusahaan, tidak mungkin mengandalkan industri media lagi. Kami harus mengarah ke industri yang batasannya langit, seperti penerbitan buku,” tutur pria yang juga mengajar periklanan di Universitas Trisakti ini. “Prinsipnya, selama masih ada orang yang ingin pintar, bisnis penerbitan tidak akan mati,” ujar lulusan S-1 Manajemen IKIP Sanata Dharma Yogyakarta dan Magister Manajemen LPPM itu. Dalam rapat yang diselenggarakan akhir tahun lalu, Agung menggambarkan, masing-masing strategic business unit (SBU) mempresentasikan kinerjanya selama setahun dan prediksinya ke depan.

Hal yang sama juga dilakukannya pada grup koran daerah yang membawahkan 11 unit. Semua pemrednya dipanggil ke kantor pusat KKG untuk melaporkan kondisinya. Saat rapat, Agung mengaku lebih banyak mendengarkan. Laporan keuangan yang dipaparkan masing-masing unit adalah salah satu contoh pertanggungjawaban yang disimak Agung. “Masing-masing suku usaha meski tidak punya holding, koordinasi finansialnya di bawah satu atap KKG,” ujar kelahiran Semarang, 18 Oktober 1958 ini.

Namun, Agung tidak hanya sekadar mendengarkan. Dia juga bertanggung jawab memberikan arahan besar kepada seluruh karyawan KKG bagaimana menghadapi tantangan hingga 2010 berikut target-targetnya. Mengingat satu SBU bisa terdiri dari belasan bahkan puluhan unit usaha, target itu akan dibagi-bagi lagi ke masing-masing unit usaha.

“Masing-masing SBU membagi sendiri untuk tiap unitnya. Misalnya, hotel. Target SBU hotel akan diperinci, berapa target di Bali dan berapa di Cirebon,” kata Agung memberi contoh. KKG juga terus menguatkan dan mencari pilar lain untuk meraih untung dalam berbagai bisnis.
“Bisnis hotel masih bagus. Kami masih di kelas bintang 4 dengan Santika Group,” katanya. Saat ini Hotel Santika berekspansi ke Bogor (menempel Botani Square, yang terletak di bekas Kampus Institut Pertanian Bogor Jl. Pajajaran), serta di Medan.

Selain Santika, KKG pun memiliki butik hotel Kayana di Bali. Sementara itu, di segmen menengah akan dikembangkan Hotel Amaris. Sayang, Agung belum dapat memastikan hotel tersebut akan dibangun di mana. Setelah ditelisik, tidak semua hotel di bawah jaringan Santika, Kayana maupun Amaris dikelola KKG. “Hanya 3-4 hotel yang manajemennya dipegang KKG dari total 15 hotel yang kami miliki,” ungkapnya. Selama ini, ia membenarkan, yang memberi kontribusi pendapatan terbesar KKG adalah bisnis multimedia dan pencerahan, yakni sekitar 85%. Sisanya disumbang bisnis perhotelan, 15%.

“Pertumbuhan kami sejauh ini masih mengikuti inflasi ditambah 1%-2% saja. Karena mengikuti industri iklan nasional, kalau nasib ekonomi turun, kami ikut turun. Sebaliknya, kalau ekonomi naik, ya ikut naik,” kata Agung yang mengaku tidak pernah menghitung aset KKG. Lantas, berapa pendapatan dari bisnis media KKG? Agung menggelengkan kepala lantaran tidak ingat angkanya. Namun, ia memberikan gambaran sebagai berikut.

“Dari Rp 24 triliun bujet iklan nasional bruto, saya menduga nettonya setelah dipotong diskon iklan untuk agensi, bonus-bonus dan sebagainya sekitar 60% atau Rp 14,4 triliun. Dari jumlah itu, media cetak baik koran dan majalah mendapat share 31% atau sekitar Rp 4,46 triliun. Pembagiannya, 26% surat kabar nasional dan 5% majalah nasional. Nah, pangsa pasar kami sekitar 24% (gabungan koran dan majalah KKG – Red.). Maka, perolehan pendapatan KKG dari bisnis media cetak sekitar Rp 1,07 triliun,” ujarnya. Itu baru dari bisnis media saja, belum termasuk hotel dan tisu (ada beberapa merek, antara lain Tessa, Multi, Dinasty, Bobo dan Nova).

Bagaimana dengan Trans 7? Sebagaimana diketahui, sebagian kepemilikan stasiun TV yang dulu bernama TV 7 ini telah berpindah ke Trans Corporation milik pengusaha Chairul Tanjung – empunya Trans TV. Mengenai Trans 7, Agung menolak mengatakan bahwa stasiun televisi itu mengalami pendarahan keuangan yang hebat sehingga terpaksa dijual ke pihak lain. “Kalau dibilang berdarah-darah, tak cuma stasiun TV,” ujarnya.

“Semua industri baru yang hidupnya kurang dari empat tahun memang merugi. Semua investasi kami di Trans 7 selama ini masih masuk dalam asumsi-asumsi kami. Jadi, ini bukan semata-mata persoalan keuangan, namun ke depan kami merasa perlu berlari lebih cepat,” tuturnya menjelaskan.

“Berdasarkan beberapa asumsi yang kami punya, saya rasa Trans 7 justru di atas asumsi kami,” lanjutnya. Kenapa pilihannya jatuh ke tangan Trans TV? “Mungkin karena kecocokan,” jawabnya. Hingga 2008, fokus pekerjaan Agung di KKG masih pada pembenahan sistem dan SDM, antara lain meliputi rekrutmen, evaluasi jabatan, job grading dan penilaian kinerja.
Harapannya, di 2008 sebagian besar karyawan sudah lebih siap mental menyongsong tantangan baru yang makin besar. “Ini semua persoalan-persoalan besar yang harus bisa digambarkan dengan sederhana, sehingga bisa dianggap sebagai tantangan pribadi.”

Dalam hal benah-benah, Agung tidak main-main. Selain menggunakan konsultan WatsonWyatt untuk melakukan job grading, KKG juga mengundang lembaga yang dianggap berhasil melakukan alih generasi dan kepemimpinan.

Tujuannya, tak lain untuk berbagi pengalaman. Contohnya, PT HM Sampoerna yang berhasil melakukan alih kepemilikan dengan mulus-mulus saja. KKG juga mengundang PT Unilever Indonesia dan PT Astra International untuk berbagi hal yang sama.

“Selain dengan konsultan, kami adakan banyak forum dengan harapan proses perubahan ini terus bergulir dan kami bisa belajar dari pengalaman orang lain.” Perubahan yang digaungkan Agung, dinilai Direktur Pengelola Red Pyramid Steve Sudjatmiko, sudah benar. “

Agung menunjukkan sesuatu yang penting dengan menggambarkan ancaman yang akan datang di industrinya. Ia bisa memberi gambaran ke karyawan bahwa kalau ancaman itu menghadang KKG, ribuan orang akan kehilangan pekerjaan. Jadi, sebelum PHK terjadi, kita harus berubah dulu. Memang sakit, tapi dibandingkan PHK, rasa sakitnya lebih ringan,” kata Steve memberi ilustrasi. Steve yang juga konsultan spesialis change management ini menekankan pentingnya kesepakatan antara karyawan dan perusahaan tentang target yang akan dikejar.

“Mereka harus sepakat bahwa penilaiannya akan seperti itu dan yang harus dikejar adalah target ini. Selain itu, orang-orang yang terlibat harus sepakat bahwa ini adalah tujuan bersama,” ujarnya.

Yang juga penting, ia menambahkan, manajemen harus memberi masukan kompetensi apa yang harus diubah dan berapa lama karyawan diberi waktu untuk berubah. Jika ada yang terbukti melanggar kesepakatan itu, hukumannya pun harus fair. Agung juga harus bisa memetakan keunggulan dan kelemahan setiap unit bisnis.

“Perubahan harus bisa menjaga kompetensi yang ada. Jangan sampai, kompetensi yang sudah bagus dikorbankan,” kata Steve menegaskan. Maka, manajemen harus melihat kompetensi karyawan saat ini dan apa yang membuat mereka bisa menghasilkan karya begitu hebat. “Dari situ, harus dilihat juga apakah perubahan ini akan mengganggu kompetensi mereka atau tidak,” tuturnya mewanti-wanti.

Seandainya Agung ingin melakukan perubahan budaya, menurut Steve, ia harus menyadari bahwa norma-norma, tingkah laku dan keyakinan baru akan berubah setelah 4-11 tahun. “Itu pun jika kondisinya urgen,” katanya tandas.

Jika tidak urgen alias baik-baik saja, akan membutuhkan waktu lebih lama. Berkaitan dengan nilai-nilai positif di KKG, Agung berujar, yang akan dipertahankan, pertama adalah watak baik. “Setiap karyawan baru akan dilihat, apakah cocok bergabung dengan filosofi kami ataukah tidak,” ujarnya.

Nilai kedua adalah menjaga harmoni. “Setiap orang tidak dibiarkan terbang sendiri. Kepada karyawan baru saya katakan, ‘Yang penting bagaimana kita bisa diterima di lingkungan baru. Simpan saja dulu kemampuan yang hebat-hebat, jangan langsung ditunjukkan di hari pertama.’ Biasanya kalau itu terjadi di hari pertama, orang itu akan mental. Karena itu, yang perlu dijaga adalah harmoni’,” ujar mantan Direktur Pengelola TV 7 ini.

Memang, Agung menyadari, nilai-nilai tersebut akan membuat proses pengambilan keputusan menjadi lebih lama karena tim harus kumpul dulu. “Ini salah satu kelemahannya. Tapi di sisi lain, saya tinggal mendorong sehingga tim bisa bekerja dan keputusannya diambil cepat. Kalau perlu, melakukan rapat pada pukul 7-8 malam yang selama ini dianggap aneh.” Agung memperkirakan, akan ada karyawan yang tersinggung dengan budaya baru ini.

“Saya rasa itu dinamika biasa. Kalau sebagai pemimpin kita ingin populer, ingin baik terus, mungkin jadinya tidak mengambil keputusan apa-apa, tidak mengubah apa-apa. Sekali-kali memberi kejutan yang konsisten,” ujar pria yang selalu tersenyum ramah itu.

Meski demikian, Agung menekankan, saat ini KKG akan konsolidasi dulu. Selama ini, ia menilai, KKG berangkat dengan model bisnis tanpa segmentasi. “Kalau butuh percetakan, kami bikin. Butuh hotel, kami bikin. Tapi, tidak terpikir segmentasinya. Moto Kompas yang dulu: ‘Harian untuk Umum’, itu cerminan semua bisnis yang kami buat serba umum,” ujarnya.

Namun, ketika kini menghadapi perubahan selera konsumen, KKG harus mulai memikirkan segmen yang dituju agar lebih spesifik. Hal ini sejalan dengan yang dipikirkan Steve. Ia pun berpendapat, setelah Jakob tidak ada, semuanya mungkin akan berubah. Apalagi, media-media besar dari luar negeri seperti Fortune, Forbes dan Strait Times dalam waktu dekat ditengarai juga akan masuk ke Indonesia.

“Menurut saya, di kemudian hari Kompas harus lebih spesifik. Akan menjadi harian ekonomi-politik atau khusus budaya dan internasional saja,” katanya menyarankan. Akan tetapi, Steve memprediksi, perubahan seperti itu baru akan terjadi kira-kira 15 tahun lagi.Ke depan, bisa dipastikan warna Agung akan memengaruhi KKG. Kendati demikian, Steve menilai, Agung tetaplah hasil didikan Jakob selama puluhan tahun.

“Jadi, perubahannya tidak akan terlalu banyak. Karakter KKG masih akan tetap mengayomi,” katanya yakin. Sebelum menjadi CEO, Agung sempat bertanya-tanya, apakah dirinya sanggup menjalani tugas ini? Kini pertanyaan itu terjawab. Ternyata, sejauh ini semuanya baik-baik saja dan terkendali meski sempat terjadi gejolak internal di Kompas. “Begitu pula respons rekan-rekan ketika kami road show, baik-baik saja,” ujarnya.

Agung sadar apa yang dijalaninya saat ini hanya sebagai jaket. “Saya bekerja atas mandat pemilik. Saya sadar, yang namanya pemilik bisa tiba-tiba meminta saya melepaskan jaket. Ketika itu terjadi, saya tidak boleh merasa berat. Sebagai profesional, setinggi apa pun pangkatnya, saya tetap bukan pemilik,” tuturnya.

Reporter: Eddy Dwinanto Iskandar (swa)
Sumber: URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/praktik/details.php?cid=1&id=5588

PELECEHAN SEKSUAL PRIA TERHADAP WANITA VERSI MAJALAH TIARA

(Tulisan yang sayang dilewatkan. Saya simpan sebagai kenang2an indah)

From: John MacDougall


To: apakabar@clark.net
From: "SYSTEM 0PERATOR"
Subject: IN: BW: Bak Buah Simalakama...
Date: Sat, 16 Dec 95 15:16:58 WIB
Organization: Kalyanamitra


BEJANA WANITA
Diterbitkan dalam rangka
Dialog Tentang Pelecehan Seksual - 21 Desember 1995
---------------------------------------------------


Bak Buah Simalakama...



Berikut petikan pembahasan dan penelitan seputar pelecehan seksual.

***


Tiga puluh mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta protes. Surat itu dikirimkan ke kepala klinik yang bekerja sama dengan perguruan tinggi tersebut. Kisah ini terbongkar setelah seorang mahasiswi, sambil menangis, menceritakan pengalamannya memeriksakan diri ke dokter, kepada seorang temannya. Ia bilang, tangan dokter itu memeriksa "wilayah-wilayah" yang tak seharusnya diperiksa. "Tapi, saya tak bisa berbuat apa-apa saat itu," keluhnya.

Kisah inilah yang kemudian membuka mulut mahasiswi lainnya. Mereka menggugat keberadaan dokter tersebut. Syukurlah protes itu sukses. Dokter cabul itu segera di-PHK.

Ternyata seorang profesional melakukan pelecehan seksual tidaklah aneh. Setidaknya begitu menurut hasil survei yang dilakukan majalah perilaku Tiara tentang Pelecehan Seksual di Lingkungan Ekesekutif. Survei yang diketuai psikolog klinis Dr. Sukiat dilakukan pada 127
eksekutif pria dan 66 eksekutif wanita -- berusia antara 25-65 tahun. Survei dilakukan selama dua bulan, di Jakarta. Mereka adalah para pengambil keputusan, manajer, kepala bagian, dan para profesional yang bekerja di perusahaan.

"Motivasi para eksekutif melakukan pelecehan seksual bukan pertanda hasrat seksual. Mereka melakukan itu sekadar untuk bercanda, menambah keakraban, menghilangkan ketegangan, dan rasa jenuh." Menurut hasil survei pelecehan seksual lebih sering dilakukan atasan kepada bawahan ketimbang sebaliknya. "Bisa jadi para eksekutif kita memang sangat menghargai atasannya," ungkap Sukiat.

Pelaku pelecehan seksual bisa jadi tak sadar pada apa yang dilakukannya. Mereka bisa saja menganggap bahwa siulan, pujian, pandangan gemas dan olok-olok berbau mesum merupakan hal lumrah. Maka dengan ringan, apalagi pada bawahan, seorang eksekutif melontarkan pujian tentang bibir bawahannya yang sensual. Sementara yang dipuji merasa "teganggu" dengan pujian itu. Ini terjadi, kata Sukiat, karena pelaku biasa bercanda dan iseng. "Canda dan iseng yang mungkin saja membudaya dalam masyarakatnya, " kata psikolog klinis yang kerap
menerima pengaduan pelecehan seksual dari kliennya ini.

Maka Sukiat mengingatkan agar hati-hati dalam bercanda. Canda bisa jadi malapetaka jika yang diajak bercanda tak mau menerima bahwa itu canda. Apalagi masyarakat sekarang kian deras menerima informasi. Informasi tentang apa pelecehan seksual dan bentuk-bentuk pelecehan
seksual bisa membuat orang kian kritis pada perlakuan atas dirinya.

Akibatnya sangat mungkin seorang wanita yang mendengar siulan ke arahnya tak lagi bersikap pura-pura tak mendengar seperti dulu. Bisa saja wanita itu melabrak bahwa menuntut penyiul yang mengganggunya.

Hanya saja lain masalah jika seorang bawahan menerima tindakan pelecehan seksual dari atasannya. Non, sebut saja begitu, mengaku suka menerima pelecehan seksual dari atasannya. Atasannya kerap merangkul bahunya. "Dia melakukan itu di depan orang lain. Meskipun dia bilang saya dianggap anaknya, tapi saya tak percaya. Menurut teman lain dia memang mata keranjang," kata wanita yang baru bekerja di sebuah penerbitan di Jakarta ini.

Toh, Non mengaku keder bagaimana harus bertindak. Ia pernah mencoba menurunkan lengan atasannya dari pundaknya. Tapi jemarinya justru diremas-remas oleh atasannya. "Untung ia jarang datang ke kantor. Karenanya saya tak begitu tertekan," akunya.

Perasaan tertekan ini, menurut Sukiat, bisa mengganggu kehidupan emosi dan prestasi kerja si korban. Bawahan yang menerima pelecehan seksual dari atasannya, sambung Sukiat, akan menghadapi buah simalakama. "Jika tak menerima perlakuan atasan mereka bisa kehilangan kesempatan promosi, kenaikan gaji, bahkan kehilangan kerja. Sedangkan jika menerima, keseimbangan jiwanya bisa terganggu."

Untuk menyelesaikannya Sukiat menyarankan agar korban bicara dengan si peleceh. Saran Sukiat, bicaralah sambil tersenyum sopan dan dengan kata yang menyentuh kalbu. "Hanya itu yang bisa saya sarankan dan selalu saya sarankan pada klien-klien saya," ungkapnya.

PELECEHAN SEKSUAL PRIA TERHADAP WANITA VERSI MAJALAH TIARA
----------------------------------------------------------------------

BEBERAPA TINDAKAN 0 1 2 3 4 5

1. Siulan nakal 23,4 34,9 16,1 10,4 9,9 5,2

2. Pernyataan yang mendesak 58,9 16,3 13,2 8,4 2,1 1,1
untuk kencan

3. Memandang dari ujung rambut 13,5 25,9 19,7 17,6 14,0 8,3
hingga kaki

4. Nyolek, nemplok, mencubit bagian 35,8 24,9 20,4 13,5 4,1 1,6
tubuh tertentu

5. Menyandarkan kepala ke bahu 64,4 15,2 14,1 3,1 3,1 0

6. Usaha/melakukan pemerkosaan 99,5 0 0 0,5 0 0

7. Dan lain-lain 86,5 6,7 2,2 2,2 2,2 0

Keterangan:
0 = tidak/belum pernah
1 = hanya beberapa kali saja
2 = agak jarang
3 = agak sering juga
4 = cukup sering
5 = sangat sering

TIARA: Majalah Psikologi Populer

(Komentar pembaca TIARA yang masih bisa saya temukan)

Perkenalan saya dengan majalah ini, ketika mengunjungi adik di Surabaya. Kebetulan saat itu dia sedang ambil kuliah di Fakultas Psikologi, di suatu Perguruan Tinggi Negri di Surabaya. Memang sejak awal dia menunjukkan minat yang besar dalam bidang sosial dan public relation, jadi 'klop' sudah, apa yang diinginkan dan jalur yang diambil.

Di kost-kostannya, saya melihat banyak menumpuk majalah ini, dari terbitan lama sampai yang agak baru. Iseng-iseng saya melihat-lihat dan membaca isinya. Sepintas lalu majalah ini, cukup baik penampilannya. Maksud saya disain covernya menarik dan sampul yang digunakan tebal dan warna yang ditampilkan terang dan jelas, sehingga tidak mudah sobek dan terlepas dari isi majalah.

Dari segi materi isi yang ditampilkan, keseluruhan mengenai dunia sosial dan psikologi. Barangkali anda sudah tahu, Psikologi merupakan cabang ilmu sosial yang memperajari interaksi antara satu individu dengan individu lainnya, maupun antara individu dengan lingkungan sosialnya. Kecenderungannya bisa positif maupun negatif, intinya mengupas perilaku sehari-hari. Banyak tips yang menarik disini, seputar pergaulan. Misalnya bagiamana menghadapi rekan kerja yang merepotkan, bos yang otoriter, ada juga rubrik konsultasi psikologi, setahu saya Psikolog Tika Bisono, pernah memberikan satu ulasan khusus disini.

Menurut saya majalah ini merupakan majalah psikologi populer. Dalam arti mudah dipahami oleh masyarakat luas, tidak disertai dengan argumentasi yang rumit dan kadang susah dicerna dari tokoh-tokoh perilaku sosial baik dari dalam maupun luar negri. Barangkali anda ingin tahu lebih lanjut, majalah ini cocok untuk wanita, tapi saya juga senang membacanya. Dari situ anda bisa meningkatkan komunikasi interpersonal anda dengan sesama maupun lingkungan sosial anda. Nah selamat membaca !



Produk ini disarankan untuk konsumen lain? ya
Nilai yang diberikan (Nilai Overall)

28 Desember 2007

Kopian Undangan TIARA tahun 1998

(Sebuah posting lama yang pernah dikirim redaksi TIARA untuk milis apakabar, pada tahun 1998, berisi undangan)

Subject: Undangan Internet Gathering
Date: Mon, 23 Feb 1998 11:51:10 -0700
From: tiara@vision.net.id (Majalah TIARA)
To: apakabar@clark.net



Majalah TIARA dan VISIONNET mengundang Anda pengguna internet untuk hadir
dalam INTERNET GATHERING: INTERNET BEGINNER yang akan dilaksanakan pada:

Waktu : Kamis, 26 Februari 1998, pukul 18.00
Tempat : Chicago for Ribs, Kemang Raya 45A, Jakarta Selatan
Pembicara : ONNO W PURBO


Undangan gratis dapat diperoleh di Majalah TIARA (Retno, telp.5330150,
5330170), dan VISIONNET (Yollis/Puri, telp.5227717).


Kami tunggu kehadiran Anda.

Benarkah Terjadi Perkosaan Massal?

(Berita basi yang mungkin baik untuk dijadikan pelajaran berharga. )

JAKARTA (2 Agustus 1998) -- Pemberitaan media massa nasional dan internasional mengenai perkosaan massal telah menyulut sejumlah aksi demonstrasi di Jakarta, Singapura dan Hongkong, namun belakangan ini ada dugaan bahwa informasi itu merupakan propaganda politik untuk menjatuhkan nama Indonesia.

Selain curiga atas adanya ketidakbenaran informasi yang dilansir media massa, beberapa pihak menduga informasi itu bohong dan sengaja disebarkan untuk menjatuhkan dan menjelekkan pemerintah dan masyarakat Indonesia di mata dunia. Bahkan menurut beberapa kalangan, informasi tersebut merupakan bagian dari ''upaya sistematis'' untuk menambah buruk citra Indonesia di luar negeri.

Perkosaan massal -- seperti dilaporkan Tim Relawan -- terjadi saat kerusuhan 13-15 Mei lalu. Tim itu menampung pengaduan, lalu melaporkannya ke Komnas HAM. Namun tim itu tidak pernah melaporkan kasus-kasusnya kepada polisi untuk pengusutan lebih lanjut. Tim Relawan mempublikasikan korban perkosaan dan pelecehan seksual yang melapor hingga 3 Juli 1998 sebanyak 168 orang -- 152 di Jakarta dan sekitarnya dan 16 di di Solo, Medan, Palembang, dan Surabaya. Umumnya, mereka yang melapor adalah wanita keturunan Cina.

Menurut juru bicara Tim Relawan, Ita Fatia Nadia, modus operandi perkosaan merupakan peristiwa yang tak bisa dipisahkan dari kerusuhan Mei itu. Tanpa melakukan cek dan recek apalagi penelitian, pers menulis berita itu. Akibat laporan yang dimuat di berbagai media cetak dan elektronik nasional dan internasional, citra bangsa Indonesia yang tengah terpuruk akibat resesi ekonomi, semakin buruk. Apa pun alasannya, informasi kasus perkosaaan mendesak untuk dituntaskan. Pemerintah telah mengutuk terjadinya kerusuhan. Dan sesuai dengan tuntutan masyarakat, telah pula dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) diketuai Wakil Ketua Komnas HAM, Marzuki Darusman.

Selain itu, pemerintah juga membentuk komite khusus bagi perlindungan wanita dari segala tindak kekerasan. Komite ini independen dan setingkat dengan Komnas HAM. Setelah tuntutan untuk membentuk tim khusus diwujudkan pemerintah, isu perkosaan massal di masyarakat relatif menurun. Pemberitaan di media massa cetak dan elektronik juga cenderung reda.

Sebelumnya, pers tampak bersemangat mengulas masalah itu. Setelah lewat media cetak, penyebaran isu tersebut dilakukan secara terbuka disertai penghujatan kepada Islam melalui internet. Tak heran jika Komite Indonesia untuk Solidaritas Islam (KISDI) Jumat (31/7) mengadukan majalah Jakarta-Jakarta kepada Menpen, karena di Rubrik Metro-Sex edisi 609 Juli 1998, ada tulisan berjudul Vivian yang secara lugas menuduh umat Islam sebagai dalang perkosaaan. Pengamat sosia, Eddy Noor, berpendapat laporan telah terjadi perkosaan massal sulit dipercaya serta tidak logis. Laporan itu, menurut dia, diungkapkan secara sepihak oleh aktivis-aktivis LSM tanpa disertai keberanian untuk menunjukkan korban dan mengadukannya kepada polisi.

Ia menambahkan laporan itu merupakan ''upaya sistematis'' untuk menjelekkan pemerintah dan masyarakat Indonesia sebagai tindakan balas dendam atas kerugian akibat kerusuhan Mei lalu. ''Buktinya laporan itu sebatas laporan dengan mengandalkan pers agar tersebar sehingga citra pemerintah dan bangsa ini menjadi buruk,'' katanya.

Mungkin saja ada satu atau dua kasus perkosaan, lalu masalah itu dibesar-besarkan oleh para aktivis LSM, karena memang kesempatan itu terbuka, sebab perkosaan sulit dibuktikan. Pemerintah, kata Eddy Noor, diharapkan tidak terjebak dengan propaganda itu dan pers tak begitu saja terseret informasi tanpa bukti.

Sayangnya, pers telah terlibat jauh karena mereka menulis apa saja yang dikatakan para aktivis LSM tentang perkosaan. Ia mendesak pemerintah meminta bukti kepada LSM dan Tim Relawan dari laporan-laporan orang yang mengaku menjadi korban perkosaan, agar kasusnya bisa ditangani. Ketidaklogisan dari laporan itu, menurut dia, terletak pada informasi bahwa perkosaan terjadi di jalanan, di kendaraan, di taksi, atau di ruko.

Padahal saat terjadi kerusuhan, suasana panik manusia berhamburan sehingga sulit bagi orang untuk melakukan perzinahan. Secara psikologis, katanya, suasana saat itu kurang mendukung untuk terjadinya pemerkosaan. Eddy menilai upaya sistematis untuk memburukkan citra Indonesia itu tak ubahnya dengan fitnah dan kejahatan kepada negara. Pemerintah harus menuntut bukti dan bila bukti itu tak ada, maka si penyebar isu harus dipidana. Anggota Komisi II DPR Lukman Harun juga mendesak pemerintah meminta bukti dari pihak yang telah mempublikasikan isu perkosaan massal.

''Selama ini yang ada hanya desakan agar pemerintah menyelesaikan kasus itu, sedangkan buktinya mana? Tampaknya kasus itu hanya dipolitisir oleh pihak tertentu agar Indonesia sebagai bangsa barbar,'' katanya. Lukman mendesak pemerintah agar tidak begitu saja menerima laporan tertulis tentang kasus itu, karena ada kemungkinan hal tersebut hanya untuk menjebak dan mempermalukan pemerintah. Sampai awal Agustus ini, belum ada laporan kasus perkosaan kepada polisi, sehingga penyelesaiannya secara hukum terhambat.

''Ini jelas propaganda politik untuk menjatuhkan pemerintah dan masyarakat,'' kata Lukman Harun. Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri juga meragukan data itu. Tim Relawan menurutnya memang terus bekerja, tetapi korbannya tidak dilaporkan kepada polisi. Dalam pandangan Megawati, kepolisian mendapatkan informasi melalui pihak kedua, Tim Relawan. ''Teman saya seorang polisi telah mengecek ke alamat korban dan menemukan orang yang dilaporkan telah diperkosa, ternyata tenang-tenang saja.''

Kenyataan itu menurut Megawati menimbulkan keraguan. ''Ah, masa iya telah diperkosa. Kok dia tenang-tenang saja,'' kata Mega pada dialog nasional ''Hati Nurani Korban Perkosaan'' beberapa hari lalu. Memang ada kesulitan dalam mengusut kasus perkosaan, apalagi yang sifatnya massal, karena budaya masyarakat yang belum terbuka dan jaminan kepastian hukum terhadap korban perkosaan. Semua pihak sedang menanti kejelasan mengenai isu perkosaan massal itu. Jika kasus itu benar terjadi, semua pihak menuntut agar hal tersebut ditangani secara hukum. Tetapi jika isu itu tak terbukti, para oknum yang telah bertindak buruk kepada bangsa dan negaralah yang harus ditindak tegas.  Sri Muryono/Antara

MAJALAH JAKARTA-JAKARTA COPOT TIGA TULISANNYA

(Berita basi yang mungkin akan membuat kita terpingkal2 saat membacanya sekarang. Dikutip dari SiaR, 7 Agustus 1998)

JAKARTA (SiaR, 7/8/98), Majalah Jakarta-Jakarta mencopot 3 tulisan dalam 3 rubrik Yang pertama adalah tulisan pada rubrik "Wawancara Eksklusif" dengan Romo Sandyawan. Yang kedua adalah tulisan Karlina Leksono pada rubrik "Sorotan Krisis" dan ketiga, tulisan FX Gunawan pada rubrik "Sex Corner". Pencopotan tulisan tersebut menurut sumber SiaR di lingkungan Gramedia adalah atas perintah pimpinan KKG, Jacob Oetama, karena ketakutan dengan ancaman kelompok Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI).

Dengan pencabutan tiga tulisan tersebut, akhirnya JJ Edisi No 610 Agustus 1998 mengalami keterlambatan terbit. Dalam rubrik wawancara ekslusif, Romo Sandyawan sepanjang 7 halaman itu menceritakan pelaku kerusuhan Mei lalu adalah jaringan kejahatan terorganisir berpola dan
sistematis. Sementara FX Gunawan mengecam guyonan Debby Sahertian mengenai celana dalamnya yang bertuliskan "pribumi". Debby dalam cerita itu, yang mengutip guyonan Debby di sebuah acara TV swasta, menuturkan bahwa ia terjebak dalam kerusuhan dan akan diperkosa. Namun ia selamat lantaran cepat-cepat menaikkan roknya dan memperlihatkan celana dalamnya yang ada tulisannya "Milik Pribumi Asli".

Belum diketahui berapa jumlah kerugian yang harus ditanggung pihak bisnis Kelompok Gramedia Majalah akibat dihancurkannya puluhan ribu eksemplar majalah JJ yang telah siap edar tersebut. Di Media Scan 1997, Majalah Jakarta-Jakarta tercatat memiliki tiras 57 ribu. "Tentu saja ini jumlah fiktif yang sebenarnya sekarang cuma sekitar 7 ribu saja," ujar sumber Siar.

Majalah mingguan JJ sendiri sejak Maret 1998 lalu terpaksa jadi majalah bulanan. Konon strategi ini, berserta sejumlah kiat lain sepreti meliburkan wartawannya selama 2 minggu dalam 1 bulan kerja, terpaksa digunakan untuk memperlambat proses kematian majalah yang telah berulang kali ganti konsep sejak diambil alih Gramedia pada 1986 ini.

Saat ini Kelompok Kompas Gramedia (KKG) tengah menghadapi teror kelompok KISDI berkaitan dengan tulisan JJ Edisi 609 mengenai pengakuan seorang korban perkosaan bernama Vivian yang dianggap KISDI menyudutkan umat Islam. Pihak JJ sudah berusaha menjelaskan perihal tulisan tersebut. Namun KISDI tidak mau menerima argumen tersebut. Bahkan menurut surat terakhir KISDI, kasus ini akan dilanjutkan sampai ke pengadilan.

Kasus yang dialami KKG versus KISDI ini barangkali adalah kasus ke dua. Sebelumnya KISDI pada 1997 mengugat Kompas lantaran tulisan dan tajuknya tentang pembantaian massal di Aljazair yang juga dianggap KISDI menjatuhkan citra umat Islam. Dalam kasus tersebut, menurut sebuah sumber di lingkungan KKG, Kompas terpaksa mengeluarkan uang "penentram hati" sebesar Rp 300 juta. Banyak kalangan pers, termasuk sejumlah karyawan KKG, menyesalkan cara penyelesaian ala Jacob Oetama yang memilih berdamai di bawah tekanan. "Cara-cara ini tak akan mendewasan pers kita. Selain itu membuat pers kian jadi sapi perah semua pihak," ujar seorang wartawan muda di lingkungan KKG dengan nada jengkel. ***

20 Desember 2007

Wartawan Harian Warta Kota Gugat Pimpinan Kompas

(Berita basi, tapi menarik juga disimak sebagai 'pelajaran berharga' bagi kita. Ditayangkan di Tempointeraktif, Kamis, 23 Desember 2004 14:28 WIB)

TEMPO Interaktif, Jakarta: Karena dituduh menerima amplop, seorang wartawan foto Harian Warta Kota Robinsar Viator Demitrius menggugat Direktur Utama PT Kompas Media Nusantara Jacob Utama. Robinsar yang merasa dicemarkan nama baiknya dengan tuduhan tanpa bukti tersebut juga menggugat Direktur PT Metrogema Media Nusantara, penerbit Harian Warta Kota, Suryopratomo dan Pemimpin Redaksi Harian Warta Kota, Dedy Pristiwanto.

Dedy digugat Robinsar karena tuduhan menerima suap saat peliputan pembukaan Pekan Raya Jakarta. Dedy juga memberhentikan sementara yang mengarah pada pemecatan, kepada Robinsar. "Jacob Utama turut digugat karena Warta Kota adalah bagian dari grup PT Kompas. Ia sebagai pemilik Warta Kota juga tidak menanggapi somasi yang dikirimkan klien kami padahal posisi klien kami dalam keadaan menuju PHK," ujar kuasa hukum Robinsar dari LBH Pers, Misbahuddin Gasma kepada Tempo di Jakarta, Kamis (23/12).

Gugatan tersebut sudah diserahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hari ini, dengan nomor 410/PDT/2004/PNJKT.Robinsar menggugat para tergugat sebesar Rp 1,2 miliar. Kerugian tersebut yaitu Rp 705.693.120 untuk kerugian materil dan Rp 500 juta untuk kerugian immateril.

Para tergugat juga dituntut memasang iklan permintaan maaf di seluruh media kelompok Kompas Gramedia. Untuk harian, dipasang selama enam hari berturut-turut dan untuk mingguan selama enam kali penerbitan berturut-turut dan untuk media elektronik sebanyak enam hari berturut-turut dengan durasi enam menit. Isi permintaan maafnya: "Saya, Jacob Utama, selaku Presiden Kelompok Kompas Gramedia, dengan ini meminta maaf ke Robinsar V. Demitrius M. wartawan foto Harian Warta Kota. Saya mengaku bersalah karena telah membiarkan anak buah saya melakukan pencemaran nama baik. Saya juga berjanji tidak akan membiarkan anak buah saya berbuat hal serupa ke seluruh karyawan KKG. Jika ketentuan ini saya langgar saya menyatakan siap masuk penjara".

Jika para tergugat lalai memenuhi isi putusan perkara ini, mereka juga dihukum membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 3.144.800 setiap harinya.

Ami Afriatni

19 Desember 2007

Perhatikan Kesejahteraan Karyawan !"

(Catatan KJ: Mungkin baik juga disimak tulisan berikut.)

Pengusaha umumnya menilai bahwa karyawan adalah bawahannya yang harus selalu tunduk pada aturan main perusahaan. Banyak pengusaha yang memandang karyawannya bukan sebgai mitra kerja dan asset yang berharga. Bahkan mereka tidak mau memberikan kesempatan karyawannya untuk maju, baik dari segi pengetahuan, networking, maupun finansial.

Tidak sedikit pengusaha yang hanya memikirkan keuntungan bisnisnya semata, sementara hak-hak karyawannya disepelekan bahkan diinjak-injak. Pengusaha bisa untung miliaran sementara karyawannya untuk makan saja kurang. Adilkah perlakuan seperti ini ?

Inilah fenomena yang kadang nampak dalam dunia usaha kita. Silahkan tengok ke pabrik-pabrik, atau ke perusahaan-perusahaan kecil dan menengah lainnya. Jangan bicara perusahaan multinasional PMA, perusahaan tambang minyak/gas, ataupun BUMN, karena mereka akan lain ceritanya.

Ketika hak-hak karyawan disepelekan bahkan dirampas, dampak yang mungkin timbul adalah :
Semangat karyawan menurun, kinerja menurun, produktivitas rendah, output produksi rendah, bila terus-terusan sangat mungkin perusahaan akan terus merugi.

Timbul kecemburuan sosial, disatu sisi pemilik berganti ganti mobil mewah dan terus memperkaya diri, di sisi lain karyawannya selalu kekurangan untuk menutupi biaya hidup sehari-harinya. Dampaknya mereka jadi rendah diri, apatis dan kehilangan kreativitas serta semangat untuk maju.

Mereka akan berfikir untuk mencari tempat lain yang lebih baik, bisa berupa pekerjaan ataupun wirausaha. Ancaman resign besar-besaran karyawan mungkin sudah didepan mata.

Rasa memiliki karyawan terhadap perusahaan menjadi hilang. Mereka tidak lagi komitmen terhadap visi dan misi perusahaan kedepan. Yang ada mereka menjadi tidak peduli lagi apakah perusahaan itu mau maju atau bangkrut.

Memicu karyawan yang lemah iman dan tidak jujur untuk korupsi, mark-up, bahkan mencuri asset2 perusahaan.

Karyawan menjadi resah, saling tidak percaya, timbul fitnah, situasi menjadi tidak harmonis, karena saling curiga. Ujung-ujungnya mereka berdemo dengan tuntutan yang kadang menjadi tidak masuk akal.

Jadi wahai para pengusaha, berlakulah adil dan bijaksana terhadap karyawan Anda. Janganlah berfikir karena anda yang punya modal, terus karyawan anda menjadi asset tidak berharga. Perhatikanlah hak-hak dan kesejahterannnya. Karena mereka pun memiliki hak yang sama untuk memperoleh hak hidup yang layak dan sejahtera. Jadilah pengusaha yang menebar berkah dan manfaat buat orang lain, jangan hanya berfikir untung dan untung saja buat diri sendiri, karena hidup ini cukup singkat, sebentar koq. Buat apa sih memikirkan 7 turunan anda kedepan ? buat apa sih menumpuk harta dan kekayaan ? karena semua tidak akan tahu kapan kita akan pulang menghadap-Nya. Mendingan sama-sama maju dan sejahtera dengan karyawan Anda ! OK ?

(Dikutip dari http://dkoor.wordpress.com/2007/11/22/perhatikan-kesejahteraan-karyawan/)

17 Desember 2007

Kita Semua Wartawan

(Dikutip dari Kompas, Senin, 15 Mei 2006)

Bom yang mengguncang London, Inggris, 7 Juli 2005, tidak hanya mengguncang dunia karena persoalan kemanusiaan dengan tewasnya lebih dari 50 warga. Akan tetapi, bagi pengamat media massa, bom London juga dianggap "tonggak" sejarah lahirnya pers baru, yakni jurnalisme warga atau citizen journalism.

Dalam citizen journalism, bukan wartawan/reporter profesional yang membuat berita, tetapi warga biasa.

Adalah Tim Porter, seorang warga yang menuangkan unek-uneknya di situs pribadi miliknya, First Draft. Saat bom meledak, istrinya berada di dekat lokasi kejadian. Porter baru mengetahui serangan teroris itu saat ditelepon mertuanya. Setelah menjemput istrinya, Porter lalu berselancar di dunia maya (internet) mencari informasi lebih lanjut.

Mengapa tidak mencari informasi di radio atau televisi? Mengherankan, kedua jenis media massa elektronik itu masih sunyi, bungkam seribu bahasa, seakan-akan tidak ada kejadian dahsyat. Situs dot.com, yang biasa menyuplai berita flash, juga sama saja. Apalagi mencari informasi di tumpukan koran yang terbit hari itu, sama juga bohong. Porter dengan cepat menemukan informasi paling gres dan mutakhir tentang ledakan bom London dari sebuah situs pribadi.

Jeff Jarvis dan Steve Yelvington, dua warga yang berada paling dekat dengan pusat ledakan, yang mem-posting-kan rekaman video kepanikan orang di dalam stasiun kereta api bawah tanah ke sebuah situs pribadi. Gambar diambil Adam Stacey, penumpang lainnya, dengan menggunakan telepon genggam yang dilengkapi dengan kamera video miliknya.

Beberapa menit kemudian, gambar yang sangat "berbicara banyak" itu sudah dapat diklik dan diambil (download) saluran televisi BBC untuk segera disiarkan. Dalam First Draft, Porter menulis: "Terorisme membuat Stacey menjadi korban, teknologi membuatnya menjadi reporter! "

Dari kejadian itu, Jarvis yang mem-posting-kan gambar karya Stacey menyadari saat peristiwa penting terjadi, saksi mata yang berbekal alat komunikasi sekaligus perekam gambar bisa langsung menyiarkan peristiwa itu dalam beberapa menit setelah kejadian. "Berita yang dibuat wartawan tidaklah seperti itu. Tetapi kini, cara itu (warga menyiarkan berita) sudah menjadi kenyataan," katanya.

Lalu, di mana peran wartawan dot.com, radio, televisi, atau wartawan harian yang katanya profesional itu? Cukup menampar wajah para jurnalis sebab kecepatan menyiarkan peristiwa tidak lagi monopoli wartawan profesional, tetapi diambil alih warga biasa. Warga yang menjadi wartawan!

Peristiwa bom London bukanlah yang pertama di mana warga biasa atau saksi mata menjadi mata kamera pertama sebelum sebuah peristiwa diliput wartawan sungguhan.

Tahun 1991, saat George Holliday, warga perumahan Lake View Terrace tengah mencoba handycam barunya, matanya tertumbuk pada satu adegan. Empat polisi kulit putih Los Angeles tertangkap kamera menyiksa seorang pengendara sepeda motor kulit hitam. Polisi menganggap korban, yang kemudian diketahui bernama Rodney G King itu, memacu kendaraannya di luar ketentuan.

Bukannya diproses atau diingatkan, polantas itu malah menyiksa King sampai babak belur dan pingsan. Holliday merekam peristiwa berdurasi 81 detik itu dengan geram. Tidak sampai hitungan jam, Holliday mengirim "gambar hangat" itu ke sejumlah saluran televisi nasional. Televisi menyiarkannya berulang-ulang dan warga Amerika pun murka.

Majalah Time menulis peristiwa itu dengan judul America’s Ugliest Home Video, pelesetan dari America’s Funniest Home Video, salah satu program televisi yang merekam kejadian-kejadian lucu yang saat itu sedang digemari. Kerusuhan berbau SARA pun pecah, merenggut korban puluhan nyawa, justru ketika pengadilan membebaskan keempat polisi yang menganiaya King tadi.

Di Indonesia, terjangan tsunami Aceh direkam oleh seorang penduduk menggunakan kamera genggam. Stasiun televisi swasta, Metro TV, "menjual" peristiwa aktual dan penting itu dengan menayangkannya berulang-ulang. Saat pesawat Lion Air tergelincir di Bandara Juanda, Surabaya, 4 Maret 2006, Kompas memuat foto utama yang dibuat seorang penumpangnya, Sidik Nurbudi. Ia memotret penumpang lainnya yang berhamburan panik ke luar pesawat. Bandara yang dijaga ketat aparat keamanan mustahil dapat diakses warga sipil, termasuk wartawan.

Sejauh mana kiprah warga yang kebetulan menjadi saksi mata mengancam eksistensi wartawan dengan foto atau gambar bergerak yang disiarkan lewat situs-situs pribadi? Akankah fenomena ini mengganggu kredibilitas wartawan profesional? Bagaimana media massa mengantisipasi serbuan para blogger yang kenyataannya lebih dahulu menyiarkan berita dibandingkan dengan media massa konvensional?

Itulah pertanyaan yang tidak hanya menjadi pemikiran para pakar komunikasi, tetapi juga orang-orang media massa. Dan Gillmor yang menulis buku We the Media: Grassroots Journalism by the People for the People (2006) juga mengingatkan para pemilik media massa akan kehadiran teknologi internet yang memungkinkan orang membuat situs pribadi atau mailing list untuk menyiarkan berita cepat.

Abad 21 ini, katanya, akan menjadi tantangan berat bagi media massa konvensional atas lahirnya jurnalisme baru yang sangat berbeda dengan jurnalisme terdahulu. Dalam citizen journalism, siapa pun dapat membuat, menyebarkan, bahkan menjadi narasumber, sekaligus mengonsumsi berita dalam format tulisan, foto, suara, maupun gambar bergerak.

Syarat demokrasi
Gillmor, mantan kolumnis teknologi di San Jose Mercury News, mempromosikan jurnalisme warga ini dalam blog pribadinya, Bayosphere, sampai dia menulis bukunya itu.

Shayne Bowman dan Chris Willis dalam laporannya We Media: How Audiences are Shaping the Future of News and Information mengatakan, partisipasi warga dalam menulis dan menyiarkan informasi independen, akurat, tersebar luas, dan relevan adalah syarat-syarat bagi demokrasi. Citizen journalism adalah media untuk memberdayakan kelompok kecil warga yang terpinggirkan dari kelompok masyarakat lainnya.

Warga yang sekaligus reporter, misalnya, akan efektif menyiarkan berita yang tidak tergarap media massa konvensional, seperti radio/televisi lokal, tentang isu yang "tidak seksi", seperti rendahnya pendapatan wanita pekerja, kelompok minoritas, bahkan kelompok anak muda. Karena tidak memiliki akses terhadap media inilah, warga lebih bersandar pada informasi yang diperlukan kelompoknya.

Namun, pakar komunikasi Universitas Indonesia, Dedy Nur Hidayat, Sabtu (22/4), menyebutkan, blog atau mailing list hanya efektif di lingkungan terbatas. Masalah kredibilitas dari para blogger juga patut dipertanyakan sehingga untuk informasi penting yang dapat dipertanggungjawabkan orang tetap mengandalkan media massa konvensional.

Namun, jangan lupa, tanpa pelatihan jurnalistik pun orang yang berdiri di pinggir jalan dengan handycam, telepon berkamera, atau kamera digital di tangan dapat merekam dan menyiarkan peristiwa yang dialami atau dilihatnya lewat blog. Dalam kasus bom London, terbukti reporter media massa profesional kalah cepat dibandingkan dengan warga biasa. (PEPIH NUGRAHA)

WARTAWAN TIDAK BOLEH BUTA WARNA?

(Dikutip dari tulisan Satrio Arismunandar, 27 Maret 2007. )

Belum lama ini saya baca iklan penerimaan wartawan baru Harian Kompas. Salah satu syarat di sebutkan disitu: "Tidak buta warna." Saya jadi bertanya-tanya, apa sih makna tak boleh buta warna di situ?

Kalau untuk jadi dokter, ahli farmasi, dsb, saya bisa paham. Ahli kimia atau farmasi yang tak bisa membedakan warna bisa membahayakan keselamatan orang, karena keliru membedakan zat kimia atau campuran obat. Untuk desainer grafis, soal buta warna jelas ada pengaruhnya. Tapi reporter?

Kenapa saya bertanya ini? Karena faktanya: saya adalah mantan wartawan Harian Kompas yang menderita buta warna. Meskipun bukan buta warna total (saya masih bisa membedakan warna lampu lalu lintas). Toh selama saya kerja di Harian Kompas (1988-1995), tidak pernah ada masalah dengan kebutawarnaan tersebut. Saya mungkin malah termasuk salah satu wartawan yang paling produktif di masa itu (bisa dicek dari ketebalan ordner arsip tulisan-tulisan saya).

Mungkin kriteria Kompas itu agak relevan untuk wartawan seni, yang tugasnya mengulas karya seni lukis, atau wartawan mode, yang mengulas warna busana. Namun sayang sekali, jika Kompas harus menolak calon wartawan yang potensial jagoan di bidang sosial-ekonomi atau politik, hanya karena menderita buta warna (yang bukan buta warna total pula). ***

Jakarta, Maret 2007

Bagaimana Cara Rekrut Wartawan

(Dikutip dari tulisan Andreas Harsono, tanggal 5 Agustus 2005)

Selama tiga atau empat tahun ini, saya sering bicara dengan redaktur media, yang mengeluh karena wartawan mereka banyak yang tak bisa menulis. Jakob Oetama, orang nomor satu Kelompok Kompas Gramedia, bilang bahwa wartawan Kompas banyak yang belum bisa menulis. Goenawan Mohamad dari Grafiti Pers, yang menguasai kelompok Tempo dan Jawa Pos, mengatakan ia tak pernah punya "lebih dari 10 orang penulis" di majalah Tempo.

Bagaimana sih mencari dan merekrut wartawan baru yang kelak terbukti bisa bikin reportase dan penulisan bagus?

Saya kebetulan bertemu Wendel "Sonny" Rawls Jr., mantan wartawan dan redaktur The Philadelphia Inquirer, The New York Times serta The Atlanta Journal, tentang bagaimana cara mencari reporter. Sonny terkenal bertangan dingin dalam mencari dan mendidik wartawan muda.

Kami bertemu di Hotel Renaissanche Chancery Court di London, mengobrol panjang-lebar, lalu saya minta izin mengutip omongannya Rabu lalu.

Sonny misalnya, merekrut James Newton sebagai reporter The Atlanta Constitution. Sekarang Newton redaktur The Los Angeles Times. James Newton diperkirakan bakal jadi "James Reston" --kolumnis legendaris di Washington DC pada zaman Perang Dunia II.

Sonny juga menulis buku Cold Storage (1980) tentang orang gila dan rumah sakit jiwa. Ia mengerti psikologi. Ia juga mengerti banyak soal kriminalitas. Sonny menulis naskah film seri Law & Order.

Sonny juga partner Bill Kovach di The New York Times dan The Atlanta Constitution. Kalau Kovach adalah panglima, maka Sonny adalah orang yang mengurus keperluan rumah tangga dan operasi suratkabar.

Bagaimana cara merekrut wartawan?

Menurut Sonny, ia biasa minta wartawan yang melamar ke tempatnya untuk mengirim 10 contoh laporan. Ia minta news stories, bukan feature, baik dengan struktur piramida terbalik atau piramida (Sonny paling suka dengan struktur piramida).

"Saya baca lead dulu dan tiga alinea pertama. Apakah beres atau tidak? Kalau beres, mudah dicerna, jelas, jernih, saya akan baca the end of the stories."

Ini penting untuk mengetahui apakah si pelamar bisa menghubungkan lead dengan ending laporannya. Sonny bisa menilai kemampuan logika si pelamar dari hubungan awal-akhir ini.

"I want to know whether they have really have strong understanding," katanya.

Bila tidak sambung, bila tak jernih, ia memutuskan menolak si pelamar. Bila sambung, maka Sonny akan membaca semua naskah, dari alinea awal hingga akhir, semua 10 laporan itu. Bila laporannya baik atau menjanjikan, maka Sonny akan mewawancarai si pelamar.

Sonny menyebut nama-nama wartawan yang pernah diwawancarainya, bagaimana mereka membangun karir, mula-mula di tempat Sonny namun pindah ke media lain. Ia juga tahu bagaimana orang macam James Newton tak menarik buat redaktur lain --bahkan mulanya ditolak The Los Angeles Times-- tapi tidak bagi Sonny.

"James is not a selling person. Dia tidak bisa menawarkan dirinya dengan baik," kata Sonny.

Charles Lewis, mantan wartawan CBS dan pendiri Center for Public Integrity di Washington DC, mengatakan, "Sonny Rawls is a legend."

Sonny mampu memotivasi reporter. Sonny sendiri pernah mendapat Pulitzer Prize pada 1977. Ketika memegang ruang redaksi Atlanta, ia juga menugaskan wartawan-wartawan meliput macam-macam isu dimana empat di antaranya dapat Pulitzer.

Bila sudah baca, ia akan mewawancarai si pelamar. Mulai dari karir mereka serta kehidupan mereka.

"What kind of books they read?"

"What they do when they're not working
?"

Saya tanya kenapa kegemaran orang pun ditanyanya.

Apa makna seorang wartawan yang suka memancing misalnya?

Menurut Sonny, pemancing artinya orang yang "kontemplatif." Ia orang yang suka berpikir dengan dalam.

Tapi Sonny tak suka dengan wartawan yang merokok dengan pipa. "Too slow thinking," katanya, menirukan gaya orang mengisap pipa.

Contohnya?

Sonny menunjuk Max Frankel, mantan redaktur eksekutif The New York Times, yang mengepalai biro Washington harian The New York Times pada awal 1970-an. Frankel memang perokok pipa.

Frankel terkenal gara-gara ia kalah dalam liputan skandal Watergate dari harian The Washington Post dengan duet Bob Woodward dan Carl Bernstein. Presiden Richard Nixon akhirnya mundur gara-gara Watergate.

"Ben Bradlee tidak merokok pipa," kata Sonny, merujuk pada redaktur eksekutif The Washington Post. Bradlee memimpin Woodward dan Bernstein untuk mendalami Watergate.

"Frankel bekerja pelan sekali. Kami dihajar habis-habisan oleh Bradlee," kata Sonny.

Saya ingat bahwa di Jakarta maupun kota-kota lain, kebanyakan media besar melakukan seleksi wartawan lewat tes psikologi dan melibatkan orang-orang personalia (lebih dulu) sebelum segelintir yang lolos diwawancarai para redaktur. Menariknya, proses lamaran sering kali tanpa melibatkan tulisan si pelamar. Lebih sering malah tes psikologi.

Sonny tak peduli dengan tes psikologi. Ia bilang media bermutu macam The New York Times atau The New Yorker belum pernah pakai tes psikologi. Wartawan harus dites lewat tulisannya. Beberapa media lain, misalnya The Philadephia Inquirer, memakai tes psikologi. Sonny tak keberatan dengan tes ini namun ia juga tak peduli.

Menurut Sonny, mencari wartawan adalah seni. Ia harus dilakukan sendiri oleh redaktur-redaktur puncak media bersangkutan. Mereka harus tajam mencari wartawan muda yang berbakat. Tulisan adalah utama.

Ketika bekerja dengan Kovach, entah Kovach atau Sonny sendiri yang melakukan rekrutmen. Kalau ada lowongan, mereka tak memasang pengumuman, tapi melakukan talent scouting di media kecil.

Saya senang bicara dengan Sonny. Saya kira cara-cara ini bisa dipakai sebagai bahan perbandingan di Jakarta. Di kalangan media Jakarta, jarang sekali ada lowongan pekerjaan yang minta si pelamar mengirim contoh tulisan. Kebanyakan yang diminta Indek Prestasi 2.75 bahkan 3 (padahal semua universitas kita jelek) atau bisa bahasa Inggris (saya setuju).

Nurman Jalinus dari Bisnis Indonesia pernah bilang bahwa sekali kita salah rekrut, maka seumur hidup kita harus membayari gaji seseorang yang tak bisa menulis dan tak banyak berguna untuk ruang redaksi kita.

Bagaimana bisa mendapat wartawan yang bisa menulis ketika rekrutmennya tanpa tulisan?

Saya kira mungkin sudah saatnya cara rekrutmen diganti.

14 Desember 2007

Paranoid ala Gramedia Majalah

Petikan email Stanley kepada sahabatnya Andreas Harsono, khusus mengenai kebijakan Gramedia Majalah pasca-pembredelan Monitor.

Andreas, gue perlu cerita soal penyakit jiwa ini di kalangan Gramedia Majalah pasca pembredelan Monitor. Saat itu pimpinan Divisi Majalah membentuk "Tim Malaikat" yang isinya menyensor semua produk Gramedia majalah yang meliputi tabloid, majalah, hingga komik anak-anak macam Album Walt Disney yang sebenarnya notabene cuma melakukan pekerjaan adaptasi bahasa.

Saat itu Budiarto Danujaya (dengan semua paranoidnya) menyimpulkan bahwa Album AWD adalah media yang terlalu berbahaya dan banyak mengandung muatan SARA antara lain pelecehan keponakan Donald, Kwik-Kwek-Kwak saat bersafari ke gurun Arab atau terhadap warga kulit hitam Timbuktu. Bayangin betapa gilanya "kegilaan" itu, yang barangkali dalam pandangan pakar komunikasi bisa dianggap sebagai sebuah fenomena menarik. Namun, bagi gua ya tak lebih dari kegilaan yang diakibatkan dari ketakutan, posisi rawan kepemilikan saham KKG (yang diantaranya dimiliki kelompok Katolik), keberhasilan bisnis yang mengundang kecemburuan, monopoli penguasaan SIUPP dll.

Amplop-isme dan Moralitas Wartawan

(Sumber: http://isandri.blogspot.com/2007_08_26_archive.html)

Mengikuti rombongan wartawan yang tengah meliput sebuah acara secara beramai-ramai, biasanya kita akan melihat fenomena menarik yang khas Indonesia. Bila yang diliput adalah demonstrasi atau peristiwa politik yang terlihat adalah suasana pertemanan yang luar biasa kompaknya. Yang datang terlambat akan meminta informasi atau bahan dari yang datang duluan. Yang datang di lokasi lebih dulu umumnya juga dengan senang hati membagi informasi atau pers release yang didapatnya kepada sang kolega (dari media yang berbeda).

Namun, lain halnya bila yang diliput adalah sebuah konferensi pers atau undangan menghadiri product launching dari sebuah perusahaan yang memproduksi barang baru. Selesai mengikuti acara, biasanya para wartawan akan diminta panitia untuk mengisi absensi dengan cara membubuhkan tanda tangan. Acara ini kerap merupakan acara yang paling ditunggu-tunggu wartawan, sebab setelah mengisi absen pihak panitia akan membagikan cinderamata beserta "amplop" berisi uang "ala kadarnya". Harap maklum, yang namanya ala kadarnya di sini berbeda-beda besarnya. Bisa sekadar pengganti uang transpor yang besarnya sekitar Rp 75.000 bisa juga uang "lelah" untuk imbalan jasa pemuatan yang berkisar antara Rp 250 ribu - Rp 400 ribu.

Menghadiri undangan instansi pemerintah, BUMN atau militer, lain lagi. Biasanya acara bagi-bagi amplop telah dikoordinir wartawan kepercayaan instansi yang bersangkutan. Tidak pernah diketahui, berapa besar uang yang diterima para koordinator itu. Yang jelas, sang koordinator membagi amplop secara seragam pada teman-temannya. Kemungkinan kelebihan amplop disimpan sendiri oleh sang koordinator. Meliput acara hiburan, seni, dunia selebritis dan artis tak jauh berbeda. Masing-masing telah punya koordinator sendiri.

Wartawan di Indonesia menganggap pemberian amplop adalah hal yang wajar. Apalagi wartawan senior yang juga Ketua Dewan Kehormatan PWI, Rosihan Anwar, malah menganjurkan agar para wartawan tak menolak pemberian amplop. Pada jaman PWI di bawah kepemimpinan Sofyan Lubis, sang ketua juga menganjurkan hal serupa. "Sejauh hal itu tak ada paksaan dari si wartawan atau sumber berita," ujar Sofyan Lubis mencoba berkilah bahwa hal itu tidak bertentangan dengan kode etik dan moralitas seorang wartawan.

Sikap pragmatisme para tokoh PWI yang nota bene adalah pimpinan di sejumlah media bukan tanpa alasan. Umumnya mereka melihat gaji wartawan yang telalu rendah sebagai dasar legitimasi kebijakan yang mereka berikan. "Mau apa lagi, perusahaan belum mampu menggaji wartawannya secara layak. Jadi silakan cari tambahan di luar, asalkan halal," begitu ucap sejumlah pimpinan media.

Apakah memang demikian halnya? Ternyata sejumlah penerbitan besar terkemuka lebih memilih melarang wartawannya untuk menerima amplop, karena bisa mengganggu integritas wartawan sekaligus kredibilitas lembaga. Para wartawan yang baru masuk diajari teknik menolak amplop. Mulai dari sikap terima dulu untuk kemudian dikembalikan lewat sekretaris, hingga teknik menghindari absensi. Sejumlah pimpinan media malah menerapkan kebijakan keras berupa tindakan langsung mengeluarkan wartawannya yang ketahuan menerima amplop.

Namun, yang jadi pertanyaan apakah kebijakan keras itu disertai dengan sistem penggajian yang memadai bagi para wartawannya? Jawabannya : tidak. Contoh yang terkemuka adalah para wartawan di lingkungan Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang menerapkan ketentuan melarang amplop pada karyawannya ternyata tak digaji cukup layak. Gaji pokok seorang wartawan baru di Gramedia Majalah sekarang "cuma" sekitar Rp 400 ribu - Rp 650 ribu (tulisan ini dibuat pada 1 April 2000, red). Wartawan tabloid semacam Citra di lingkungan Gramedia Majalah bergaji paling rendah. Yang tertinggi adalah majalah Intisari dan Bobo yang dianggap telah mapan dan menguntungkan. Di kelompok penerbitan majalah, gaji wartawan Gramedia ini masih berada jauh di bawah rata-rata gaji karyawan Tempo, Forum, Gatra maupun Gamma.

Rendahnya (under-paid -red.) gaji wartawan memang sudah dalam taraf yang memprihatinkan. Hasil survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang dilakukan di Jakarta pada Mei-Juni 1999 lalu menyatakan dari 250 wartawan responden tercatat 5% bergaji di bawah Rp 250 ribu, 35% bergaji antara Rp 500-1 juta , 30% bergaji antara Rp 1-2 juta dan 8% bergaji di atas Rp 2 juta. Sayang, hasil survei AJI tak membedakan antara jabatan reporter dan redaktur.

Menurut hasil survei majalah Asiaweek Edisi 29 November 1996 yang memetakan gaji tertinggi kelompok profesional di kawasan Asia-Australia memperjelas rendahnya gaji wartawan. Menurut hasil survei gaji tertinggi reporter di Indonesia berada di urutan no 4 paling rendah setelah Cina, Vietnam dan India. Sedangkan gaji redaktur tertinggi di Indonesia menempati urutan ke 5 terendah setelah Cina, Vietnam, Filipina dan India. Negara di kawasan Asia-Australia yang paling mensejahterakan wartawannya tercatat adalah Jepang, disusul Australia, Hongkong, Korea Selatan dan Thailand.

Sejumlah media malah tak memberi gaji wartawannya. Kepada para wartawan yang baru direkurut, si pemilik media menyatakan bahwa pihaknya hanya bisa memberi kartu pers. Si wartawan dipersilakan untuk mencari uang dan kehidupan yang layak sendiri. Si wartawan diperlakukan seperti halnya anak ayam yang dilepas induknya untuk cari makan sendiri. Kondisi seperti ini paling banyak dipraktekkan para pemilik media di luar Jawa.

Kehidupan wartawan di Indonesia betul-betul tragis. Para wartawan media berpenampilan glossy ala Tiara dan Jakarta-Jakarta (keduanya telah ditutup oleh direksi Gramedia Majalah) setiap hari adalah meliput meliput orang kaya beserta gaya hidupnya yang serba "wah". Si wartawan hanya bisa gigit jari saat dipameri koleksi ratusan arloji narasumber yang mencapai nilai ratusan juta. Apa yang dilihat dan dijalani si wartawan bagai bumi dan langit. Ketika diajak makan siang narasumber si wartawan naik Baby Benz, namun ketika selesai wawancara ia harus naik bajaj untuk balik menuju ke kantor. Dasinya cuma dipakai saat pergi wawancara ke hotel, ketika kembali kekantor dasi yang sama yang cuma satu-satunya terpaksa harus dilepas karena takut kotor.

Gaji wartawan Indonesia memang memperihatinkan, kecuali media baru semacam Astaga!Com. Tak heran bila ada banyak wartawan yang kemudian terkondisikan untuk selalu "mencari" amplop guna menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Beberapa waktu lalu terbongkar ada seorang wartawan gadungan yang telah berhasil menipu sejumlah gubernur dan pejabat daerah. Termasuk Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso. Si wartawan dengan alasan akan melakukan kunjungan ke daerah guna membuat liputan lantas menyodorkan surat rekomendasi dari DPR pada sang pejabat yang ditemuinya. Si pajabat yang tampaknya berkepentingan agar ditulis beritanya dengan "baik-baik" lantas menyodorkan uang bernilai ratusan ribu.

Untuk menghindari kebutuhan menerima amplop, ada banyak wartawan mengambil pekerjaan sambilan. Kita juga bisa melihat ada sejumlah wartawan yang memposisikan diri sebagai jurubicara atau ghost-writer seorang pejabat. Ada juga yang jadi think-tanker seorang tokoh yang ingin muncul sebagai budayawan. Ada yang mencoba jadi penulis atau editor buku. Ada yang mencoba mengerjakan inhouse magazine. Ada yang mencoba merangkap jadi sales di bidang multi level marketing. Ada juga yang buka usaha baru dengan jadi penggalang tenaga pamswakarsa. Ada yang merangkap pekerjaan sebagai pemberi informasi pada aparat intelijen. Ada juga yang terang-terangan jadi mucikari untuk artis-artis figuran yang pernah diwawancarainya.

Fenomena amplopisme di kalangan wartawan kini telah berada dalam taraf yang betul-betul memprihatinkan. Terutama sejak masa krisis ekonomi yang dimulai pada Agustus 1997, kebanyakan para pemilik media memilih tak menaikkan gaji wartawannya tapi cuma mengkompensasinya dengan "tunjangan kemahalan".

Selain istilah amplop, di kalangan wartawan juga dikenal istilah "wartawan Bodrex", nama obat sakit kepala produksi PT Bayer Indonesia. Wartawan dari kalangan ini setiap tengah bulan selalu "sakit kepala" akibat harus memikirkan kebutuhan diri dan keluarga yang tak tercukupi. Para wartawan ini kemudian mencari-cari kesalahan orang yang bisa diperas dengan cara menuliskannya sebagai berita dan kemudian mendatangi si tokoh. Kepada sang tokoh si wartawan menyodorkan berita yang dibuatnya dan menawarkan apakah si tokoh berkeberatan dengan tulisan tersebut. Bila berkeberatan si tokoh bisa mengambil "konsep" berita tersebut asal membayar dengan jumlah tertentu sesuai kesepakatan.
Cara kerja lainnya adalah dengan mendatangi pengusaha dengan menunjukkan kartu pers dan menyatakan ingin wawancara. Para pengusaha yang umumnya telah hafal dengan langgam semacam ini biasanya akan langsung menyodorkan segepok uang sambil mempersilakan si wartawan untuk pergi.

Sejak 6 tahun terakhir sejumlah wartawan yang medianya menerapkan kebijakan melarang menerima amplop memilih jalan lain yang lebih canggih, halus dan tak mencolok mata. Mereka memberikan nomor rekening bank pada sang narasumber, hingga uang bisa langsung di transfer ke rekening bank wartawan bersangkutan. Demikian juga parsel yang di sejumlah media diputuskan untuk dibagi rata seluruh karyawan, oleh wartawan kalangan ini dianjurkan untuk langsung di antar ke rumah, bukan ke tempat kerja. Luar biasa.

Fenomena amplopisme hampir merata di kalangan wartawan. Termasuk di kalangan media terkemuka di Jakarta. Kalau pun ada media yang malu-malu menolak amplop, mereka tak malu menerima tiket pesawat, fasilitas penginapan di hotel, liburan di spa, jamuan makan, tiket nonton, bahkan voucher main golf. Artinya, yang kecil ditolak tapi yang lebih besar dan lebih nikmat diterima dengan tangan terbuka.

Di Indonesia , amplopisme tak bisa dilepaskan dari semata-mata masalah kemiskinan dan kepelitan pemilik media, tapi juga karena ketidakberdayaan wartawan dalam menuntut hak-haknya. Kebanyakan pemilik media hanya memproduksi sejumlah aturan, namun tak pernah memperhatikan sisi kesejahteraan karyawannya. Sejumlah media terkemuka yang dikenal sebagai pembela demokrasi, yang tiap hari melaporkan soal nasib buruh dan TKW, ternyata justru melarang "gerakan buruh" yang dilakukan wartawannya sendiri. Wartawan yang coba-coba terus melawan keputusan pelarangan "gerakan buruh", biasanya akan dikucilkan atau dimutasi.

Masalah amplop adalah masalah pelik yang juga terkait dengan fenomena para "penjahat" dan para "oknum" yang mempunyai jabatan dan usaha penting. Mereka ini punya kepentingan dengan adanya publikasi positif tentang dirinya. Untuk itu mereka melakukan gerakan amplopisme sebagai upaya sogokan. Yang terjadi kemudian adalah sebuah simbiosis mutualistis, di mana si wartawan dapat uang dan si tokoh dapat nama baik.

Sejumlah kalangan lebih melihat moralitas sebagai salah satu penyebab menjamurnya budaya amplop. Menurut mereka nilai-nilai moralitas bangsa ini memang tengah merosot drastis. Hal ini antara lain bisa dilihat bagaimana para wartawan yang menghadiri undangan seminar sehari biasanya datang menjelang waktu makan siang dan segera pergi setelah menikmati makan siang gratis. Artinya, peristiwa politik dan perjumpaan dengan narasumber, di mata kebanyakan wartawan, tak lebih adalah peristiwa ekonomi biasa, yaitu sekadar cari bahan dan formalitas wawancara serta bisa makan gratis.

Masalah moral dan amplop memang pelik dan khas Indonesia. Seorang mahasiswa doktoral di bidang komunikasi asal Australia pernah bertanya pada saya, "Saya tak habis mengerti kenapa bisa ada wartawan menerima uang dari orang yang diwawancarainya? Bukankah itu suap? Bukankah itu kejahatan?" Terus terang, saya tak mampu menjawabnya. Sebab masalah suap-menyuap dan kejahatan di bidang pers sepenuhnya bukan monopoli wartawan, para pemilik modal yang menguasai media juga melakukan hal serupa. Barangkali karena itulah kita perlu sama-sama perlu mengadili diri sendiri. ***

*) Stanley adalah seorang teman, juga seorang wartawan yang baik dan secara intens berkampanye menentang amplopisme dalam profesi ini.