17 Desember 2007

Kita Semua Wartawan

(Dikutip dari Kompas, Senin, 15 Mei 2006)

Bom yang mengguncang London, Inggris, 7 Juli 2005, tidak hanya mengguncang dunia karena persoalan kemanusiaan dengan tewasnya lebih dari 50 warga. Akan tetapi, bagi pengamat media massa, bom London juga dianggap "tonggak" sejarah lahirnya pers baru, yakni jurnalisme warga atau citizen journalism.

Dalam citizen journalism, bukan wartawan/reporter profesional yang membuat berita, tetapi warga biasa.

Adalah Tim Porter, seorang warga yang menuangkan unek-uneknya di situs pribadi miliknya, First Draft. Saat bom meledak, istrinya berada di dekat lokasi kejadian. Porter baru mengetahui serangan teroris itu saat ditelepon mertuanya. Setelah menjemput istrinya, Porter lalu berselancar di dunia maya (internet) mencari informasi lebih lanjut.

Mengapa tidak mencari informasi di radio atau televisi? Mengherankan, kedua jenis media massa elektronik itu masih sunyi, bungkam seribu bahasa, seakan-akan tidak ada kejadian dahsyat. Situs dot.com, yang biasa menyuplai berita flash, juga sama saja. Apalagi mencari informasi di tumpukan koran yang terbit hari itu, sama juga bohong. Porter dengan cepat menemukan informasi paling gres dan mutakhir tentang ledakan bom London dari sebuah situs pribadi.

Jeff Jarvis dan Steve Yelvington, dua warga yang berada paling dekat dengan pusat ledakan, yang mem-posting-kan rekaman video kepanikan orang di dalam stasiun kereta api bawah tanah ke sebuah situs pribadi. Gambar diambil Adam Stacey, penumpang lainnya, dengan menggunakan telepon genggam yang dilengkapi dengan kamera video miliknya.

Beberapa menit kemudian, gambar yang sangat "berbicara banyak" itu sudah dapat diklik dan diambil (download) saluran televisi BBC untuk segera disiarkan. Dalam First Draft, Porter menulis: "Terorisme membuat Stacey menjadi korban, teknologi membuatnya menjadi reporter! "

Dari kejadian itu, Jarvis yang mem-posting-kan gambar karya Stacey menyadari saat peristiwa penting terjadi, saksi mata yang berbekal alat komunikasi sekaligus perekam gambar bisa langsung menyiarkan peristiwa itu dalam beberapa menit setelah kejadian. "Berita yang dibuat wartawan tidaklah seperti itu. Tetapi kini, cara itu (warga menyiarkan berita) sudah menjadi kenyataan," katanya.

Lalu, di mana peran wartawan dot.com, radio, televisi, atau wartawan harian yang katanya profesional itu? Cukup menampar wajah para jurnalis sebab kecepatan menyiarkan peristiwa tidak lagi monopoli wartawan profesional, tetapi diambil alih warga biasa. Warga yang menjadi wartawan!

Peristiwa bom London bukanlah yang pertama di mana warga biasa atau saksi mata menjadi mata kamera pertama sebelum sebuah peristiwa diliput wartawan sungguhan.

Tahun 1991, saat George Holliday, warga perumahan Lake View Terrace tengah mencoba handycam barunya, matanya tertumbuk pada satu adegan. Empat polisi kulit putih Los Angeles tertangkap kamera menyiksa seorang pengendara sepeda motor kulit hitam. Polisi menganggap korban, yang kemudian diketahui bernama Rodney G King itu, memacu kendaraannya di luar ketentuan.

Bukannya diproses atau diingatkan, polantas itu malah menyiksa King sampai babak belur dan pingsan. Holliday merekam peristiwa berdurasi 81 detik itu dengan geram. Tidak sampai hitungan jam, Holliday mengirim "gambar hangat" itu ke sejumlah saluran televisi nasional. Televisi menyiarkannya berulang-ulang dan warga Amerika pun murka.

Majalah Time menulis peristiwa itu dengan judul America’s Ugliest Home Video, pelesetan dari America’s Funniest Home Video, salah satu program televisi yang merekam kejadian-kejadian lucu yang saat itu sedang digemari. Kerusuhan berbau SARA pun pecah, merenggut korban puluhan nyawa, justru ketika pengadilan membebaskan keempat polisi yang menganiaya King tadi.

Di Indonesia, terjangan tsunami Aceh direkam oleh seorang penduduk menggunakan kamera genggam. Stasiun televisi swasta, Metro TV, "menjual" peristiwa aktual dan penting itu dengan menayangkannya berulang-ulang. Saat pesawat Lion Air tergelincir di Bandara Juanda, Surabaya, 4 Maret 2006, Kompas memuat foto utama yang dibuat seorang penumpangnya, Sidik Nurbudi. Ia memotret penumpang lainnya yang berhamburan panik ke luar pesawat. Bandara yang dijaga ketat aparat keamanan mustahil dapat diakses warga sipil, termasuk wartawan.

Sejauh mana kiprah warga yang kebetulan menjadi saksi mata mengancam eksistensi wartawan dengan foto atau gambar bergerak yang disiarkan lewat situs-situs pribadi? Akankah fenomena ini mengganggu kredibilitas wartawan profesional? Bagaimana media massa mengantisipasi serbuan para blogger yang kenyataannya lebih dahulu menyiarkan berita dibandingkan dengan media massa konvensional?

Itulah pertanyaan yang tidak hanya menjadi pemikiran para pakar komunikasi, tetapi juga orang-orang media massa. Dan Gillmor yang menulis buku We the Media: Grassroots Journalism by the People for the People (2006) juga mengingatkan para pemilik media massa akan kehadiran teknologi internet yang memungkinkan orang membuat situs pribadi atau mailing list untuk menyiarkan berita cepat.

Abad 21 ini, katanya, akan menjadi tantangan berat bagi media massa konvensional atas lahirnya jurnalisme baru yang sangat berbeda dengan jurnalisme terdahulu. Dalam citizen journalism, siapa pun dapat membuat, menyebarkan, bahkan menjadi narasumber, sekaligus mengonsumsi berita dalam format tulisan, foto, suara, maupun gambar bergerak.

Syarat demokrasi
Gillmor, mantan kolumnis teknologi di San Jose Mercury News, mempromosikan jurnalisme warga ini dalam blog pribadinya, Bayosphere, sampai dia menulis bukunya itu.

Shayne Bowman dan Chris Willis dalam laporannya We Media: How Audiences are Shaping the Future of News and Information mengatakan, partisipasi warga dalam menulis dan menyiarkan informasi independen, akurat, tersebar luas, dan relevan adalah syarat-syarat bagi demokrasi. Citizen journalism adalah media untuk memberdayakan kelompok kecil warga yang terpinggirkan dari kelompok masyarakat lainnya.

Warga yang sekaligus reporter, misalnya, akan efektif menyiarkan berita yang tidak tergarap media massa konvensional, seperti radio/televisi lokal, tentang isu yang "tidak seksi", seperti rendahnya pendapatan wanita pekerja, kelompok minoritas, bahkan kelompok anak muda. Karena tidak memiliki akses terhadap media inilah, warga lebih bersandar pada informasi yang diperlukan kelompoknya.

Namun, pakar komunikasi Universitas Indonesia, Dedy Nur Hidayat, Sabtu (22/4), menyebutkan, blog atau mailing list hanya efektif di lingkungan terbatas. Masalah kredibilitas dari para blogger juga patut dipertanyakan sehingga untuk informasi penting yang dapat dipertanggungjawabkan orang tetap mengandalkan media massa konvensional.

Namun, jangan lupa, tanpa pelatihan jurnalistik pun orang yang berdiri di pinggir jalan dengan handycam, telepon berkamera, atau kamera digital di tangan dapat merekam dan menyiarkan peristiwa yang dialami atau dilihatnya lewat blog. Dalam kasus bom London, terbukti reporter media massa profesional kalah cepat dibandingkan dengan warga biasa. (PEPIH NUGRAHA)

Tidak ada komentar: