Oleh Akhmad Kusaeni
Jika sekarang ini disebut era informasi, maka lembaga dan perusahaan yang bergerak di bidang komunikasi bagaikan hidup di lumbung padi. Posisi industri media massa di Indonesia saat ini dan yang akan datang merupakan pasar kerja yang bisa menyerap lulusan dari fakultas, institut atau sekolah tinggi pemasok wartawan dan staf bisnis professional yang dibutuhkan industri pers.
Sekarang ini terdapat 566 perusahaan pers media cetak yang menerbitkan koran, majalah dan tabloid. Selain itu terdapat 1.200 radio stasion, 10 stasiun televisi anggota ATVSI ditambah lima televisi daerah. Pokoknya, pasar kerja di bidang komunikasi dan jurnalistik masih terbuka lebar.
Yang jadi masalah adalah sengaja atau tidak pemerintah dan DPR tidak membuat kebijakan tentang siapa yang bertanggungjawab untuk memasok wartawan dan staf bisnis professional bagi kebutuhan industri pers. Undang-Undang Pers No.40/1999 telah memerdekakan pers dari interpensi pemerintah, perizinan, sensor dan ancaman pembredelan. Dampaknya pers media cetak meledak, jumlahnya meningkat dari 289 penerbitan pers pada 1997 menjadi 1.687 pada 1999. Sebagian tidak mampu terbit. Sebagian besar terbit, lalu beberapa waktu kemudian mati.
Menurut Leo Batubara, Ketua Pelaksana Harian Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat, kini tersisa 566. Dari jumlah itu hanya sekitar 30 persen berkatagori professional, sehat dari segi bisnis, beruntung dan berkembang.
Apa penyebab dari 566 perusahaan pers yang beruntung dan berkembang hanya 30 persen? Sebab utama adalah industri pers masih kekurangan SDM professional. Mengapa? Karena ada yang salah dengan sistim di Indonesia. Di negara-negara demokrasi seperti Amerika Serikat, pemasok wartawan professional adalah The Schools of Journalism, sekolah-sekolah tinggi dan institut jurnalistik. Di Indonesia, pemasok terbesar wartawan professional bukanlah Fakultas Komunikasi atau Publisistik. Ironisnya, Institut Pertanian Bogor (IPB) ternyata penyumbang terbesar, sehingga singkatan IPB diplesetkan menjadi Institut Publisistik Bogor.
Masalah pendidikan wartawan memang sudah menjadi wacana dan polemik di Amerika Serikat sejak zaman Pulitzer. Polemik waktu itu dirumuskan dalam pertanyaan, wartawan itu dilahirkan atau dibuat, wartawan itu berdasarkan bakat atau berdasarkan pendidikan. Persoalan serupa timbul di negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Dulu, yang jadi wartawan terkemuka di Indonesia umumnya mereka yang memang punya bakat, misalnya BM Diah, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, Mahbub Junaedi. Mereka adalah otodidak, belajar dari pergulatan hidup dan buku-buku yang dibacanya sendiri bukan di bangku kuliah.
Ketika penerbitan pers berkembang dan koran makin banyak, tidak cukup tersedia wartawan yang punya bakat sehingga diperlukan pendidikan khusus untuk wartawan. Pada zaman Pulitzer, meskipun polemik tidak memberi kata putus atas jawaban apakah wartawan itu dilahirkan atau dibuat ( a journalist is to be born or to be made), Pulitzer sendiri memutuskan untuk mendirikan sekolah jurnalistik. Sebab, yang benar adalah sekalipun ada bakat, bakat itu akan berkembang lebih optimal jika diperkaya dan diperdalam oleh pendidikan.
Harus bersaing dengan non-jurnalistik
Maka lahirlah sekolah-sekolah jurnalistik bagai jamur di musim hujan. Hampir setiap Universitas, kini membuka jurusan komunikasi dan jurnalistik. Sehingga kini timbul masalah lain karena para lulusannya harus bersaing dengan lulusan universitas non-jurnalistik yang juga berminat menjadi wartawan. Mereka sarjana dari fakultas teknik, hukum, sosiologi, sastra, biologi dan lain-lain.
Jika lulusan fakultas-fakultas lain menjadi wartawan, dimana tempat bagi mereka yang berasal dari jurusan komunikasi dan perguruan-perguruan tinggi jurnalistik? Penerbit-penerbit kini lebih senang merekrut calon wartawan dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya jurnalistik, karena alasan dibutuhkan wartawan yang spesialis bidang hukum, politik, pertanian dan sebagainya. Sedangkan cara menulis berita, teknik wawancara, dan kode etik bisa dilakukan melalui in house training cukup dua-tiga bulan di penerbitan masing-masing.
Inilah tantangan sekaligus ancaman buat sekolah-sekolah jurnalistik. Supaya sekolah-sekolah jurnalistik ini tetap survive dan lulusannya punya kompetensi di pasar kerja, selain mengembangkan kurikulum yang siap pakai juga diperlukan upaya untuk mendesak agar pemerintah dan DPR merevisi UU Pers yang berlaku. Jika kewartawan itu sebuah profesi maka wartawan mestinya diperlakukan seperti halnya dokter, hakim atau advokat pengacara. Hanya lulusan fakultas kedokteran yang bisa praktek jadi dokter dan sarjana hukum yang bisa jadi pengacara. Sebaiknya, yang bisa menjadi wartawan adalah mereka yang sarjana jurnalistik atau komunikasi lulusan dari The Schools of Journalism.
Sumber: http://akusaeni.blogspot.com/2008/01/salah-kaprah-pendidikan-wartawan.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
wah menarik sekali ya baca blog Mbak/Mas. jujur aja gw udah lama juga suka baca majalahnya Gramedia. anyway kemarin gw juga sempet ngelamar kerja di The Jakarta Post (masih Gramedia kan?) nah gw kaget banget ternyata mereka yang tiap harinya kerjaannya ngomongin soal HAM dan mau2nya memperkerjakan lulusan fakultas hukum ngira kalo mereka bisa melanggar HAM saat proses rekruitmen dan menyangka bahwa NGA ADA ORANG YANG AKAN TAHU! gw sejak kecil (waktu masih SMP) pengen banget jadi wartawan, kagum aja kayaknya mereka pinter. tapi giliran gw daftar ternyata mereka pinternya biasa aja, ya? HAM dilanggar nga nyadar, ngomongin soal HAM tiap hari tapi ada pelanggaran HAM di depan mata nga peduli. piye toh?
akhirnya gw cuman bisa kecewa dan sekarang pengen jadi yang lain aja. udah gitu ada orang minta jadi 3 juta (ya tahu dirilah, baru juga daftar, pengalaman freelance dari tahun 1999, lulusan S2 dari luar negeri) masih minta diturunin... sediiihhhhh... bener kata loe...
Posting Komentar