Bagi yang ingin tahu susunan Manajemen Gramedia Majalah, ini dia:
• Group Director Widi Krastawan
• Group Vice Director Adrian S. Herlambang
• Group Director Staff Irwan Iskandar
Paul Tridarminto
Tommy Anwar
Boby Arinto
• Budgeting Manager B. Suryantono Isp
• IT Manager St. Agus Toto Winanta
• Pre Press Manager Eliabeth Manalu
• Otomotion Radio Manager Hartanto
• Otomotion Sales & Marketing Manager C. Susi Tri Putranti
Publishing I
• General Manager Publishing I: Elwin Siregar
• Deputy GM Publishing I
Children's Media Koes Sabandiyah
• Business Manager Tomi Ngalusi
• Bobo Editor in Chief Koes Sabandiah
• Mombi Editor in Chief Renny Yaniar Noveriyati
• Disney Editor in Chief Lucia Triundari
• XYkids Editor in Chief Sigit Triwahyu
• ORI Editor in Chief Yani Lestari
• SKB Manager V. Etty Rusiwiani
• Bobo Club Manager Freddy OA Ginting
• Women's Media Elwin Siregar
• Business Manager Ign. Gatot Widhiyanto
• Nova Editor in Chief Elwin Siregar
• Sedap & Saji Editor in Chief MF Semijati Purwadaria
• Nakita Editor in Chief Iis Riesnawiati Soelaeman
• Culinary Unit Manager MF Semijati Purwadaria
• Nova Club Manager Indriyana
•
Women's Media 2 Project Manager Reda L. Gaudiamo
• Business Manager -
• Kawanku Editor in Chief Candrasari Widanarko
• Chic Editor in Chief Candrasari Widanarko
• Prevention Project Team Leader Reda L. Gaudiamo
•
Digital Media Project Owner Elwin Siregar
• Business Manager M. Rizal Alamsjah
Publishing II
• General Manager Publishing II Agus Langgeng
• Deputy GM Publishing II
Automotive Media Agus Langgeng
• Business Manager Harry Kristianto
• Otomotif Editor in Chief Sini Riharto
• Motor Editor in Chief Agam Yudhamanuvri
• Motor Plus Editor in Chief Agus Langgeng
• Autobild Editor in Chief Hendra Noor Saleh
• Oto Plus Editor in Chief Agus Langgeng
• Oto TV Project Team Leader --
General Media EW. Djati Surendro
• Business Manager Hendra Mulia
• Intisari Editor in Chief E. Lilywati Widjaja
• Idea Editor in Chief B. Dharmawan H.
• Flona Editor in Chief EW. Djati Surendro
• What Hifi Editor in Chief Elwin Siregar
Men's Media Hendra Noor Saleh
• Business Manager Devy O. Situmorang
• Hai Editor in Chief Eddy Suhardy
• Soccer Editor in Chief AG. Angryanto Rachdyatmaka
• Hotgame Editor in Chief Adhityaswara Nuswandana
• National Geographic Editor in Chief Tantyo Bangun
Sales & Marketing
• General Manager Sales & Marketing Bimo Setiawan
• Vice GM Sales & Marketing I Harry Sunarko
• Vice GM Sales & Marketing II Booby Christoffer
• Advertising Sales Manager Prisanti
• Marketing Manager TA. Panji Indra
• Research Manager Sigit Pramono
Human Resource & General Affairs
• General Manager HR & GA Sigit Suryanto
• HR Manager Estiko Saputro
• GA Manager Thomas Herman Pramudi
Sumber: http://www.gramedia-majalah.com/index.php/profil/manajemen
11 November 2008
Matinya Tiara Versi Manajemen Gramedia Majalah
Inilah kisah matinya Majalah TIARA versi manajemen Gramedia Majalah sebagaimana dikutip dari majalah Tempo. Dari cerita ini, sedikit-banyak kita mungkin bisa menarik kesimpulan, bagaimana ideologi manajemen Gramedia Majalah yang waktu itu sedang lucu2nya kemudian dikembangkan. Adapun komentar saya? Emang Gue Pikirin? Hahaha. Selamat membaca:
Setelah delapan tahun, Gramedia menyetop Tiara, menggantinya dengan tiga tabloid dan satu majalah baru.
GRAMEDIA akhirnya "kecipratan" krisis moneter. Grup media terkuat Indonesia yang punya 12 majalah dan tabloid--serta harian beken Kompas--itu harus kehilangan Tiara, majalah gaya hidup yang cukup populer. Senin pekan lalu, para petinggi manajemen Gramedia Majalah mengumumkan, Tiara tidak akan terbit lagi mulai Januari mendatang. Keandalan manajemen dan kerapian jaringan pemasaran grup besar ini rupanya belum cukup ampuh menahan jatuh bebasnya pasar majalah dan kue iklan saat ini.
Sebenarnya, upaya penyelamatan telah dilakukan. "Sudah bertahun-tahun kami mencari di mana letak kesalahannya. Dan kami sudah lelah," kata Widi Krastawan, Wakil Direktur PT Gramedia Majalah. Selama delapan tahun di bawah Gramedia, Tiara sering mengalami bongkar pasang. Konsep isinya beberapa kali diubah. Begitu pula strategi pemasaran dan pencarian iklan. Yang terakhir, majalah yang semula terbit mingguan ini diubah menjadi bulanan. Toh, strategi ini tak banyak menolong, sampai akhirnya Gramedia angkat tangan, menyerah.
Itu lantaran angka-angka pendapatan Tiara terus meluncur ke bawah seperti jet coaster. Pukulan seperti datang dari berbagai penjuru. Angka produksi makin berat nomor demi nomor, apalagi Tiara memakai kertas luks--bukan kertas koran biasa. Tirasnya pun terus terjun bebas hingga akhir semester pertama 1998 tinggal tersisa separuh dari tiras sebelumnya. "Padahal yang semester satu itu pun sudah drop dari Januari 1998," ujar Widi. Terakhir, tiras Tiara bertengger di angka 18 ribu eksemplar, sangat jauh dari target yang ditetapkan--pada angka di atas 40 ribuan.
Pendapatan iklan juga merosot sampai 70 persen. Menurut Adrian Herlambang, wakil direktur bidang bisnis Gramedia Majalah, selama ini produk-produk yang beriklan di Tiara adalah barang bermerek. Celakanya, justru produk-produk bermerek inilah yang iklannya sangat rontok. Tahun lalu, merek-merek ternama produksi PT Great River, seperti Kenzo atau Arrow, memang masih beriklan di Tiara. "Kalau perusahaannya ada, masih bisa kami bujuk untuk pasang iklan. Tapi sekarang ini perusahaannya sendiri sudah tak ada," kata Widi.
Segmen pembaca yang dibidik Tiara, orang kantoran atau yang biasa disebut EBG (eksekutif baru gede), juga menjadi faktor yang menyulitkan Tiara untuk menjaring iklan. Widi menduga, karena segmen ini juga menjadi pembaca majalah berita, pengiklan mungkin lebih memilih memasang iklan di majalah berita yang tirasnya jauh lebih besar. Ini pertimbangan efisiensi bisnis, tentu saja.
Dengan membanjirnya majalah dan tabloid di pasar, pembaca pasti lebih selektif dalam membeli majalah. Dan majalah berita tampaknya lebih dipilih orang kantoran. Menurut survei Sofres-Frank Small & Associates yang dilakukan September lalu, tiras majalah berita justru meningkat sekarang ini. Dari 20 besar majalah yang disurvei, kecuali Gatra, jumlah pembaca majalah berita seperti Forum, D&R, dan Ummat meningkat cukup signifikan. Ini kebalikan dengan jumlah pembaca majalah "nonberita", yang kebanyakan menurun tajam.
Mengamati perubahan "angin" di pasar, Gramedia banting setir. Kelompok bermodal kuat yang bermarkas di Palmerah, Jakarta itu seperti menerapkan pepatah: hilang satu tumbuh seribu. Tutup Tiara, buka lagi yang lain. Karyawan Tiara tidak akan mengalami pemutusan hubungan kerja karena Gramedia malah akan meluncurkan beberapa media baru. Ke sanalah eks karyawan Tiara akan didistribusikan. "Kami akan punya jalur-jalur baru tapi kira-kira lebih spleteran dari yang sudah ada," kata Widi.
Rencananya, setelah Lebaran, Gramedia akan meluncurkan spleteran alias limpahan dari beberapa media yang selama ini sudah diterbitkannya. Ada Nakita, spleteran dari Nova, tabloid yang ditujukan untuk ibu dan anak. Ada Motorplus, dari Otomotif, tabloid khusus untuk sepeda motor. Ada pula majalah Sedap Sekejap dan Info Metro, tabloid yang berisi berita seputar Jakarta.
Jadi, tak ada alasan untuk pesimistis. Sebab, "Kami sudah cukup lama main di situ. Lagi pula kami enggak perlu banyak uang karena bisa memanfaatkan bahan-bahan yang sudah ada," ujar Widi. Apa boleh buat, mengongkosi media baru rupanya lebih berprospek ketimbang terus "menginfus" Tiara yang sudah kekurangan darah. Maka vonis mati bagi Tiara adalah pilihan berat yang tak bisa ditawar lagi.
Gabriel Sugrahetty, Raju Febrian
11/XXVII 15 Desember 1998
Setelah delapan tahun, Gramedia menyetop Tiara, menggantinya dengan tiga tabloid dan satu majalah baru.
GRAMEDIA akhirnya "kecipratan" krisis moneter. Grup media terkuat Indonesia yang punya 12 majalah dan tabloid--serta harian beken Kompas--itu harus kehilangan Tiara, majalah gaya hidup yang cukup populer. Senin pekan lalu, para petinggi manajemen Gramedia Majalah mengumumkan, Tiara tidak akan terbit lagi mulai Januari mendatang. Keandalan manajemen dan kerapian jaringan pemasaran grup besar ini rupanya belum cukup ampuh menahan jatuh bebasnya pasar majalah dan kue iklan saat ini.
Sebenarnya, upaya penyelamatan telah dilakukan. "Sudah bertahun-tahun kami mencari di mana letak kesalahannya. Dan kami sudah lelah," kata Widi Krastawan, Wakil Direktur PT Gramedia Majalah. Selama delapan tahun di bawah Gramedia, Tiara sering mengalami bongkar pasang. Konsep isinya beberapa kali diubah. Begitu pula strategi pemasaran dan pencarian iklan. Yang terakhir, majalah yang semula terbit mingguan ini diubah menjadi bulanan. Toh, strategi ini tak banyak menolong, sampai akhirnya Gramedia angkat tangan, menyerah.
Itu lantaran angka-angka pendapatan Tiara terus meluncur ke bawah seperti jet coaster. Pukulan seperti datang dari berbagai penjuru. Angka produksi makin berat nomor demi nomor, apalagi Tiara memakai kertas luks--bukan kertas koran biasa. Tirasnya pun terus terjun bebas hingga akhir semester pertama 1998 tinggal tersisa separuh dari tiras sebelumnya. "Padahal yang semester satu itu pun sudah drop dari Januari 1998," ujar Widi. Terakhir, tiras Tiara bertengger di angka 18 ribu eksemplar, sangat jauh dari target yang ditetapkan--pada angka di atas 40 ribuan.
Pendapatan iklan juga merosot sampai 70 persen. Menurut Adrian Herlambang, wakil direktur bidang bisnis Gramedia Majalah, selama ini produk-produk yang beriklan di Tiara adalah barang bermerek. Celakanya, justru produk-produk bermerek inilah yang iklannya sangat rontok. Tahun lalu, merek-merek ternama produksi PT Great River, seperti Kenzo atau Arrow, memang masih beriklan di Tiara. "Kalau perusahaannya ada, masih bisa kami bujuk untuk pasang iklan. Tapi sekarang ini perusahaannya sendiri sudah tak ada," kata Widi.
Segmen pembaca yang dibidik Tiara, orang kantoran atau yang biasa disebut EBG (eksekutif baru gede), juga menjadi faktor yang menyulitkan Tiara untuk menjaring iklan. Widi menduga, karena segmen ini juga menjadi pembaca majalah berita, pengiklan mungkin lebih memilih memasang iklan di majalah berita yang tirasnya jauh lebih besar. Ini pertimbangan efisiensi bisnis, tentu saja.
Dengan membanjirnya majalah dan tabloid di pasar, pembaca pasti lebih selektif dalam membeli majalah. Dan majalah berita tampaknya lebih dipilih orang kantoran. Menurut survei Sofres-Frank Small & Associates yang dilakukan September lalu, tiras majalah berita justru meningkat sekarang ini. Dari 20 besar majalah yang disurvei, kecuali Gatra, jumlah pembaca majalah berita seperti Forum, D&R, dan Ummat meningkat cukup signifikan. Ini kebalikan dengan jumlah pembaca majalah "nonberita", yang kebanyakan menurun tajam.
Mengamati perubahan "angin" di pasar, Gramedia banting setir. Kelompok bermodal kuat yang bermarkas di Palmerah, Jakarta itu seperti menerapkan pepatah: hilang satu tumbuh seribu. Tutup Tiara, buka lagi yang lain. Karyawan Tiara tidak akan mengalami pemutusan hubungan kerja karena Gramedia malah akan meluncurkan beberapa media baru. Ke sanalah eks karyawan Tiara akan didistribusikan. "Kami akan punya jalur-jalur baru tapi kira-kira lebih spleteran dari yang sudah ada," kata Widi.
Rencananya, setelah Lebaran, Gramedia akan meluncurkan spleteran alias limpahan dari beberapa media yang selama ini sudah diterbitkannya. Ada Nakita, spleteran dari Nova, tabloid yang ditujukan untuk ibu dan anak. Ada Motorplus, dari Otomotif, tabloid khusus untuk sepeda motor. Ada pula majalah Sedap Sekejap dan Info Metro, tabloid yang berisi berita seputar Jakarta.
Jadi, tak ada alasan untuk pesimistis. Sebab, "Kami sudah cukup lama main di situ. Lagi pula kami enggak perlu banyak uang karena bisa memanfaatkan bahan-bahan yang sudah ada," ujar Widi. Apa boleh buat, mengongkosi media baru rupanya lebih berprospek ketimbang terus "menginfus" Tiara yang sudah kekurangan darah. Maka vonis mati bagi Tiara adalah pilihan berat yang tak bisa ditawar lagi.
Gabriel Sugrahetty, Raju Febrian
11/XXVII 15 Desember 1998
Label:
Adrian Herlambang,
Majalah TIARA,
Widi Krastawan
Tips Penting Bagi Wartawan Lengser
Belum lama ini saya banyak diminta saran, pendapat atau nasehat oleh beberapa teman wartawan yang akan menjadi anggota Komunitas Pendi. (Pendi-=Pensiun Dini). Sebagai anggota Komunitas Pendi senior, tentu saja saya banyak menasehati mereka.
Intinya, saya mengakui bahwa sebagai wartawan yang bekerja di penerbitan pers, kita memang disegani dan punya relasi yang sangat luas. Dulu, misalnya, saya kenal mulai dari artis sinetron, presenter beken, kiyai kondang, penyanyi terkenal, aktivis, rektor, dirjen sampai menteri. Waktu itu saya bahkan bisa telepon mereka kapan saja sayamau, bahkan seenaknya kirim SMS meski isinya sekedar guyonan. Tentu saja, karena waktu itu saya memimpin sebuah penerbitan pers dan mereka jelas punya kepentingan dalam berdekatan dengan saya. Tapi bagaimana kalau kita tak lagi memiliki 'posisi' penting?
Di zaman saya bekerja di penerbitan pers sebagai redaktur pelaksana dan pemimpin redaksi, hal ini selalu saya katakan pada wartawan-wartawan. Saya selalu minta agar mereka tidak gampang belagu setelah kenal dengan pejabat dan pengusaha, dan jangan punya pendapat bahwa para narasumber itu akan menolong kita setelah kita tidak bekerja di kantor.
Ketika saya pensiun dini tahun 2001, saya mempraktekkan hal itu. Sebelum mereka men-delete nomor HP dan menghapus account email saya, saya lebih dulu 'menyembunyikan diri' dari mereka, alih-alih minta job atau proyek. Dan meskipun sebagai wartawan saya merasa tidak pernah pensiun atau mengundurkan diri, memang belakangan saya ingat2, tidak ada lagi dari para narasumber saya itu yang mau menghubungi saya. Positifnya, saya weruh sedurung winarah sehingga saya terbebas dari post power sindrom.
Tentu tidak semua seperti itu. Terbukti, Dr. Rhenald Kasali menjadi salah satu relasi saya dari begitu banyak relasi saya yang terkenal, yang tidak melupakan saya, setelah saya lengser. Bahkan di suatu kurun waktu, (mungkin kuatir saya tidak memperoleh nafkah lagi setelah tidak lagi dapat gaji dari Kompas Gramedia)dia memberi job saya dengan cara elegan, yaitu sering pesan bunga ke istri saya. Jeleknya, selama itu, saya tetap mencoba tidak mau berkontak langsung dengan beliau sehingga kesannya saya sombong 'kali. (Padahal saya cuma ingin tau diri)
Tentu saja tetap berhubungan baik adalah pekerjaan mulia, karena itu bagian dari silaturahmi. Cuma saya cuma ingin mengatakan, jangan terlalu mengandalkan mereka. Apalagi kalau yang diandalkan adalah hidup (keluarga) Anda.
Hal berikut yang saya utarakan kepada teman2 itu adalah kenyataan bahwa ide wartawan itu memang banyak. Tapi kalau dicermati, setelah tidak lagi bekerja di penerbitan pers, ternyata ilmu kita cuma satu, yaitu menulis. Sehingga kita sebagai wartawan lengser sering punya cita-cita baku: membuat suratkabar atau media cetak. Kita rupanya lupa, perusahaan penerbitan pers tidak sama dengan toko onderdil, atau bengkel motor. Seorang kutukupret di bengkel motor, kalau mau, dan serius, bisa saja menyaingi bekas majikannya dengan ikut membuka bengkel motor. Tapi wartawan lengser yang mau bikin penerbitan pers, perusahaan radio atau televisi? Mungkin saja, kalau Anda beruntung bertemu dengan investor yang mau percaya menitipkan uangnya untuk dipertaruhkan oleh Anda. Tapi jangan lupa, dengan cara itu Anda masih tetap jadi orang gajian, dan belum naik pangkat. Buat apa lengser dong?
Hehehe.... tidak lagi menerima gaji bulanan dan kehilangan tunjangan2 lain emang enak?
Intinya, saya mengakui bahwa sebagai wartawan yang bekerja di penerbitan pers, kita memang disegani dan punya relasi yang sangat luas. Dulu, misalnya, saya kenal mulai dari artis sinetron, presenter beken, kiyai kondang, penyanyi terkenal, aktivis, rektor, dirjen sampai menteri. Waktu itu saya bahkan bisa telepon mereka kapan saja sayamau, bahkan seenaknya kirim SMS meski isinya sekedar guyonan. Tentu saja, karena waktu itu saya memimpin sebuah penerbitan pers dan mereka jelas punya kepentingan dalam berdekatan dengan saya. Tapi bagaimana kalau kita tak lagi memiliki 'posisi' penting?
Di zaman saya bekerja di penerbitan pers sebagai redaktur pelaksana dan pemimpin redaksi, hal ini selalu saya katakan pada wartawan-wartawan. Saya selalu minta agar mereka tidak gampang belagu setelah kenal dengan pejabat dan pengusaha, dan jangan punya pendapat bahwa para narasumber itu akan menolong kita setelah kita tidak bekerja di kantor.
Ketika saya pensiun dini tahun 2001, saya mempraktekkan hal itu. Sebelum mereka men-delete nomor HP dan menghapus account email saya, saya lebih dulu 'menyembunyikan diri' dari mereka, alih-alih minta job atau proyek. Dan meskipun sebagai wartawan saya merasa tidak pernah pensiun atau mengundurkan diri, memang belakangan saya ingat2, tidak ada lagi dari para narasumber saya itu yang mau menghubungi saya. Positifnya, saya weruh sedurung winarah sehingga saya terbebas dari post power sindrom.
Tentu tidak semua seperti itu. Terbukti, Dr. Rhenald Kasali menjadi salah satu relasi saya dari begitu banyak relasi saya yang terkenal, yang tidak melupakan saya, setelah saya lengser. Bahkan di suatu kurun waktu, (mungkin kuatir saya tidak memperoleh nafkah lagi setelah tidak lagi dapat gaji dari Kompas Gramedia)dia memberi job saya dengan cara elegan, yaitu sering pesan bunga ke istri saya. Jeleknya, selama itu, saya tetap mencoba tidak mau berkontak langsung dengan beliau sehingga kesannya saya sombong 'kali. (Padahal saya cuma ingin tau diri)
Tentu saja tetap berhubungan baik adalah pekerjaan mulia, karena itu bagian dari silaturahmi. Cuma saya cuma ingin mengatakan, jangan terlalu mengandalkan mereka. Apalagi kalau yang diandalkan adalah hidup (keluarga) Anda.
Hal berikut yang saya utarakan kepada teman2 itu adalah kenyataan bahwa ide wartawan itu memang banyak. Tapi kalau dicermati, setelah tidak lagi bekerja di penerbitan pers, ternyata ilmu kita cuma satu, yaitu menulis. Sehingga kita sebagai wartawan lengser sering punya cita-cita baku: membuat suratkabar atau media cetak. Kita rupanya lupa, perusahaan penerbitan pers tidak sama dengan toko onderdil, atau bengkel motor. Seorang kutukupret di bengkel motor, kalau mau, dan serius, bisa saja menyaingi bekas majikannya dengan ikut membuka bengkel motor. Tapi wartawan lengser yang mau bikin penerbitan pers, perusahaan radio atau televisi? Mungkin saja, kalau Anda beruntung bertemu dengan investor yang mau percaya menitipkan uangnya untuk dipertaruhkan oleh Anda. Tapi jangan lupa, dengan cara itu Anda masih tetap jadi orang gajian, dan belum naik pangkat. Buat apa lengser dong?
Hehehe.... tidak lagi menerima gaji bulanan dan kehilangan tunjangan2 lain emang enak?
Label:
Kewartawanan,
Pensiun Dini
Langganan:
Postingan (Atom)