02 Januari 2008

Ketika Saya Bergabung dengan Gramedia Majalah

Sekitar Februari 1985, saya resmi jadi karyawan Kelompok Kompas Gramedia. Karena termasuk golongan wartawan yang 'dibutuh'kan, saya tidak mengiikuti banyak 'ritual penerimaan karyawan baru' sebagaimana lazimnya di sana. "Kalaupun dites, itu sekedar proforma," kata Noorca.

Adalah Norrca Marendra Massardi, yang megajak saya selagi saya enak bekerja di Majalah DEWI, milik keluarga Sofyan Alisyahbana. Noorca bukan orang baru bagi saya. Kami teman sesama penulis, meski hubungan saya terus terang tidak terlalu akrab. Dibanding teman-teman lain sesama seniman waktu itu, saya lihat Noorca dan saudara kembarnya Yudhis, terlalu flamboyant. Paling saya cuma dengar beritanya, misalnya, dia baru pulang dari Paris, dan di sana dia --sebagai koresponden Tempo di Paris-- sempat mewawancarai Ayatoollah Khomeini. Saya kira, itu prestasi jurnalistik lumayan, mengingat Sang Iman itu tidak gampang diwawancara. Dengan Yudhis saya juga kenal-kenal tahi ayam. Paling waktu dia meraih Buku Utama karena novelnya Arjuna Mencari Cinta, saya mengucapkan selamat, karena kebetulan saya harus mewawancarai dia dirumah kontrakannya di --hahaha, saya ingat nama jalannya-- di Jalan Jembatan Utara nomor sekian... Yudhis lebih ndeso. Noorca lebih borjuis, apalagi setelah dia pulang dari Paris.

Saya lebih kenal dan akrab dengan istrinya Rayni karena dia teman saya di Majalah DEWI. Saya koordinator redaksi di bagian umum, dia ngurus soal fashion. Melalui istrinya itulah, Noorca mengajak saya untuk menghidupkan lagi majalah Jakarta-Jakarta (yang waktu itu di tangan Gramedia sempat menjadi majalah rumahtangga) dengan konsep lebih baru. "Ini majalah berita bergambar. Kayak Life atau Paris Match-lah," kata Noorca lewat telepon membujuk saya.

Saya tahu kedua majalah yang disebut itu. Formatnya lebar tidak sebagaimana lazimnya majalah biasa, isinya gambar melulu, dan yang disebut berita hanyalah berupa caption. Sebagai pengamat majalah di Indonesia (waktu itu saya beberapa kali menulis di Kompas tentang perkembangan pers Indonesia), majalah seperti itu belum pernah ada. Boleh juga, pikir saya.

"Jadi bagaimana kj?" tanya Noorca di ujung telepon.
"Oke. Oke," jawab saya. Noorca sempat mengajak saya ke Palmerah, menunjukkan dummy majalah tersebut.

Proses admnistrasi dibikin lebih ringkas. Saya wajib bertemu Suz Swat (panggilan Irawati SH, waktu itu Direktur Gramedia Majalah), tetap diwawancarai, termasuk ditanya gaji sebelumnya dan sebagainya. Waktu saya cerita soal gaji saya di Femina Group (yang lebih besar daripada gaji yang akan saya terima dari GramediaMajalah), dan Sus Swat tidak yakin, Noorca mengatakan, keterangan saya benar dan dapat dipercaya, karena istrinya teman sekerja saya.

Ringkasnya saya diterima kerja dengan summa cumlaude. Terus terang, bukan kejutan lagi.

Sejak itu saya jadi karyawan Gramedia Majalah dengan nomor NIK 85192. Kemana-mana ada label tergantung di baju, menandakan saya orang gajian di Gramedia. Jabatan saya adalah redaktur majalah Jakarta-Jakarta bersama Seno Gumira Ajidarma dan Yudhistira Ardi Nugraha.

Kerjanya enak. Cuma nyuruh reporter meliput, dan mengedit laporan-laporannya.

Salah seorang reporter saya waktu itu adalah Rhenald Kasali (sekarang jadi pHd, dan jadi orang sohor). Kalau saya wawancara, saya ajak seorang reporter untuk jadi kamcong (singkatan: kambing congkek). Nantinya dia yang akan mentranskrip hasil wawancara panjang saya dari tape recorder. Salah satu kamcong yang saya ingat adalah Djati Surendro (sekarang Pemred Flona) dan JJ Waskito (sekarang redaktur di Senior).

Di majalah Jakarta-Jakarta, ada sedikitnya dua rubrik yang kami isi, yaitu RESENSI FILM dan WANITA DI MATA PRIA. Ini rubrik elit, begitu istilah kami. Yang ngisi hanya para redaktur, yaitu saya, SGA, Yudhis dan Noorca. Reporter taunya mewawancara.

Dibanding kerja di tempat-tempat sebelumnya, sebagai karyawan Gramedia juga banyak enaknya. Beli buku di TB Gramedia atau nginap di Hotel Santika di seluruh Indonesia, saya selalu mendapat diskon. Kalau buku terbitan Gramedia diskon 30 persen, kalau buku non-Gramedia cuma 15 persen. Wah lumayan. Saya juga dapat fasilitas menginap gratis bersama keluarga di Wisma Pacet dan Villa Karabolong, Merak, dua villa milik Gramedia yang khusus diperuntukkan untuk keluarga karyawan.

Tiga bulan kerja, saya dapat fasilitas mencicil Vespa. Padahal saya sudah punya sepeda motor Honda Bebek. Tapi karena itu fasilitas kantor, saya terima.Beberapa bulan kemudian, Vespa itu saya jual kepada famili. Harus famili, karena BPKB kan masih dipegang perusahaan? Seminggu kemudian, bebek saya lego. Dari duit itu saya kredit mobil Suzuki Pick Up.

Bekas teman-teman di Femina Group kagum campur ngiri. "Enak ya, kerja di Gramedia? Baru 6 bulan dapat mobil."

Hahaha.....

Itulah riwayat singkat saya kerja di Gramedia Majalah. Siapa sangka, saya akan terbenam di sana selama 15 tahun lamanya.***

Tidak ada komentar: