02 Januari 2008

Dinamika Ketentuan Hukum tentang Pesangon

Oleh: Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, SH., MH.

Dilihat dari sistem hukum yang dianut oleh suatu negara, pada dasarnya terdapat dua macam sistem hukum, yaitu sistem hukum Anglo Saxon (Common Law System) dan Eropa Continental (Civil Law System).

Dalam Common Law System, sumber hukum yang utama adalah kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat serta perjanjian-perjanjian yang telah disepakati para pihak. Sedangkan dalam Civil Law System, peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah merupakan sumber hukum yang utama.

Dibidang Hukum Perburuhan terdapat dua macam sumber hukum yaitu: kaedah hukum otonom dan kaedah hukum heteronom. Yang pertama adalah ketentuan-ketentuan hukum yang ditetapkan oleh para pihak yang terikat dalam suatu hubungan kerja yaitu antara buruh atau Serikat Buruh dengan Pengusaha atau Organisasi Pengusaha. Misalnya Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama (Collective Labor Agreement). Yang kedua adalah ketentuan-ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Pihak Ketiga di luar para pihak yang terikat dalam suatu hubungan kerja. Misalnya semua Peraturan Perundang-undangan di bidang perburuhan yang ditetapkan atau disahkan oleh Pemerintah, yang antara lain adalah UU No. 13 Tahun 2003, UU No. 02 Tahun 2004 dan UU No. 21 Tahun 2000 beserta peraturan pelaksanaannya.

Jika kedua sistem hukum tersebut di atas dikaitkan dengan kedua jenis sumber hukum perburuhan sebagaimana terurai, maka di negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law, sumber hukum perburuhan yang utama pada umumnya adalah kaedah otonom seperti Perjanjian Kerja Bersama. Sedangkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Civil Law System, pada umumnya kaedah heteronom yaitu Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah merupakan sumber hukum perburuhan yang paling dominan.

Faktor lain yang mempengaruhi berkembangnya Kaedah Otonom atau Kaedah Heteronom di suatu negara adalah model Hubungan Industrial yang dianut oleh negara bersangkutan. Dalam hal ini terdapat dua model hubungan industrial yaitu: Corporatist Model dan Contractualist Model. Yang pertama adalah suatu model hubungan industrial dimana peran pemerintah sangat dominan dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja. Kemudian, model keserikatburuhannya adalah Single Union. Dalam hal ini serikat buruh diposisikan sebagai kepanjangan tangan pemerintah. Sedangkan yang kedua, adalah model hubungan industrial dimana peran pemerintah dalam menentukan syarat-syarat kerja sangat minim atau rendah. Selanjutnya model keserikatburuhannya adalah Multi Union System, dimana dalam sistim yang kedua ini, serikat buruh memiliki peran yang besar dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja.

Indonesia sebagai Negara yang menganut sistem Civil Law, menempatkan kaedah heteronom (Peraturan perundang-undangan) menjadi sumber hukum perburuhan yang utama. Oleh sebab itu syarat-syarat kerja dan kondisi kerja tercantum secara lengkap dalam peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah (From the Cradle to the Grave). Dalam situasi demikian, dinamika (perubahan) hukum perburuhan sangat tergantung pada Pemerintah sebagai pembuat sekaligus pelaksana peraturan hukum. Sedangkan Serikat Buruh ataupun Organisasi Pengusaha tidak berperan banyak dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja.

Dominasi pemerintah dalam penentuan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja tersebut di atas cocok dengan situasi dan kondisi pada masa sebelum Reformasi yaitu pada Zaman Orde Baru. Pada masa itu Pemerintah seolah tanpa rintangan menetapkan Peraturan Menteri Tenagakerja No. 04 Tahun 1986 yang bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 1964. Hal ini dimungkinkan karena pada waktu itu Indonesia menganut “Single Union System”. SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) yang awal mulanya bernama FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) ditetapkan sebagai satu-satunya organisasi buruh yang diakui oleh Pemerintah, atau sebagai wadah tunggal kaum buruh di Indonesia, sehingga FBSI atau SPSI pada waktu itu diposisikan sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah. Karena itu ia lebih banyak mendukung kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah.

Setelah Reformasi, wajah ke-serikatburuhan telah berubah. Indonesia tidak lagi menganut “Single Union System” melainkan “Multi Union System”. Hal ini tercermin dalam perubahan persyaratan pembentukan Serikat Buruh. Menurut Peraturan Menakertranskop No. 01/Men/1975 tentang Pendaftaran Organisasi Buruh yang berlaku pada masa Orde Baru, Serikat Buruh baru diakui oleh Pemerintah jika Serikat Buruh tersebut berbentuk gabungan Serikat Buruh yang sekurang-kurangnya memiliki satu pengurus di tingkat nasional, 20 pengurus di tingkat Daerah (Propinsi), 15 Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan yang disusun secara vertikal dari Pusat sampai Unit Kerja Tingkat Perusahaan. Dengan demikian serikat buruh yang diakui pemerintah hanyalah serikat buruh yang berbentuk federatif yaitu serikat buruh yang secara horizontal memiliki sedikit-dikitnya 15 serikat buruh lapangan pekerjaan di berbagai sektor. Secara vertikal memiliki 20 pengurus tingkat daerah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Pada saat ini Keputusan Menteri Tenagakerja yang menjadi dasar dianutnya Single Union System di Indonesia dengan sendirinya tidak berlaku lagi setelah atau dengan diundangkannya UU No. 21 Tahun 2000 yang menetapkan bahwa sepuluh orang buruh dapat secara sah membentuk atau mendirikan Serikat Buruh yang sah. Perubahan sistem Keserikatburuhan di Indonesia dari “Single Union System” ke “Multi Union System” ini, tidak diikuti pengurangan peran Pemerintah dalam penentuan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja, sehingga meskipun sistim keserikatburuhan di Indonesia saat ini adalah Multi Union System, Serikat Buruh dan Pengusaha tidak memiliki keleluasaan dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja yang sesuai dengan kepentingan para pihak yang membuatnya. Dalam perundingan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja, serikat buruh dan pengusaha terganjal oleh standard minimum atau standard maksimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Akibatnya Perjanjian Kerja Bersama dan Peraturan Perusahaan tidak bermakna karena hanya merupakan cuplikan dari peraturan perundang-undangan perburuhan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Dominasi Pemerintah dalam penentuan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja dalam “Multi Union System” ini mengurangi atau tidak memberikan kesempatan kepada Serikat Buruh dan Pengusaha dalam pembentukan Perjanjian Kerja Bersama. Semua syarat-syarat kerja dan kondisi kerja telah ditetapkan oleh Pemerintah, sehingga Pengusaha dan Serikat Buruh-Pengusaha tinggal melaksanakan apa yang ditetapkan oleh Pemerintah. Oleh karena aktor penentu syarat-syarat kerja dan kondisi kerja adalah Pemerintah bukan Serikat Buruh dan Pengusaha, maka pada akhirnya Serikat Buruh dan Organisasi Pengusaha berlomba-lomba mempengaruhi Pemerintah agar syarat kerja dan kondisi kerja yang ditetapkan Pemerintah tidak merugikan kepentingan mereka.

Kondisi demikian akan menimbulkan persoalan yang dapat mengganggu keharmonisan hubungan industrial dalam skala nasional. Sebab, pada waktu Pemerintah hendak bermaksud melakukan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang perburuhan akan timbul persoalan pro dan kontra antara serikat buruh dengan organisasi pengusaha. Dalam hal terjadi perubahan peraturan perundang-undangan di bidang perburuhan merugikan buruh, maka Serikat Buruh akan bersatu melakukan penolakan bahkan sering diikuti mogok atau demonstrasi. Sebaliknya jika perubahan peraturan perundang-undangan di bidang perburuhan tersebut merugikan Pengusaha, maka Organisasi Pengusaha mewakili Pengusaha yang menjadi anggotanya akan melakukan penolakan melalui demonstrasi atau unjuk rasa.

Fakta menunjukkan bahwa pada saat Pemerintah berencana merevisi UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Serikat Buruh menolak revisi dengan melakukan demonstrasi besar-besaran, meskipun pada waktu UU No. 13 Tahun 2003 tersebut diundangkan, berbagai macam Serikat Buruh telah menolaknya. Sebaliknya Organisasi Pengusaha yang sepakat bulat menerima UU No. 13 Tahun 2003 tersebut pada waktu diundangkan, sekarang malah menginginkan revisi. Akibatnya rencana revisi UU Ketenagakerjaan belum terealisasi sampai saat ini.

Pemerintah kembali bermaksud menyempurnakan ketentuan tentang pesangon melalui dua Peraturan Pemerintah (PP). Pertama, atas dasar pertimbangan untuk meningkatkan perlindungan pekerja/buruh yang diputuskan hubungan kerjanya, Pemerintah mempersiapkan draft atau rancangan PP tentang Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja. Kedua, dengan dasar pertimbangan untuk menciptakan hubungan industrial yang kondusif dan iklim usaha yang kompetitif, Pemerintah mempersiapkan draft PP tentang perubahan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Penggantian Hak.

Timbul pertanyaan di sini, dapatkah Pemerintah berhasil menetapkan PP tentang perubahan pesangon, uang penghargaan masa kerja dan Penggantian Hak yang bisa menciptakan hubungan industrial yang kondusif serta iklim usaha yang kompetitif?

Berbicara tentang pesangon buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja, maka uang pesangon pada dasarnya adalah sejumlah uang yang oleh Pengusaha diberikan kepada buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja bukan karena kesalahan atau kehendak si buruh sendiri. Pengertian pesangon di atas memberikan makna bahwa bagi Pengusaha uang pesangon adalah biaya (cost) yang harus dikeluarkan, sedang bagi buruh uang pesangon adalah sarana atau alat untuk memenuhi kehidupan baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya selama menganggur setelah terkena pemutusan hubungan kerja. Dengan demikian terdapat kecenderungan buruh untuk mendapatkan uang pesangon sebesar mungkin, sedangkan Pengusaha cenderung untuk memberikan pesangon sekecil mungkin kalau perlu tidak memberikan uang pesangon dalam rangka penghematan biaya pengeluaran perusahaan.

Berangkat dari konsep pesangon tersebut, antara buruh dan Pengusaha terdapat dua kepentingan yang saling bertentangan dan tidak mudah bahkan dalam skala nasional tidak mungkin dipertemukan, karena perbedaan kondisi perusahaan yang variatif serta dianutnya “Multi Union System”. Dengan demikian perubahan ketentuan pesangon, dan uang penghargaan masa kerja yang akan diberlakukan secara nasional akan mendapatkan reaksi penolakan paling tidak oleh sebagian besar Serikat Buruh jika rancangan perubahan ketentuan tentang pesangon dan uang penghargaan masa kerja tersebut lebih rendah dari ketentuan sebelumnya. Demikian pula sebaliknya jika rancangan perubahannya lebih memberatkan dari ketentuan sebelumnya, akan mendapatkan reaksi penolakan dari organisasi Pengusaha.

Pengalaman menunjukkan bahwa pada Era Reformasi ini, setiap kali Pemerintah menetapkan peraturan perundang-undangan perburuhan selalu mendapatkan reaksi pro dan kontra. Kondisi demikian pada gilirannya menyebabkan ketidakefektifan peraturan perundang-undangan yang baru ditetapkan atau diundangkan. Akibat selanjutnya adalah para investor lama maupun investor yang mau menanamkan modalnya di Indonesia dihadapkan pada ketidakpastian hukum.

Keadaan tersebut akan berulang kembali di masa mendatang jika tidak dilakukan pembaharuan secara mendasar dalam mekanisme penentuan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja. Oleh karena itu perlu adanya perubahan yang mendasar yang disesuaikan dengan sistem keserikatburuhan yang telah berubah dari “Single Union System” menjadi “Multi Union System”.

“Multi Union System” menghendaki penentuan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja supaya diserahkan pada proses perundingan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha, bukan didominasi oleh Pemerintah. Dengan demikian jumlah nominal pesangon ataupun mekanisme pembayaran pesangon hendaknya didasarkan pada kesepakatan para pihak yang dapat dituangkan dalam Perjanjian Kerja Bersama atau dalam Perjanjian Kerja.

Selanjutnya materi hukumnya dapat diatur dengan beberapa cara. Pertama, uang pesangon dimasukkan sebagai salah satu unsur dalam gaji/upah. Dalam hal ini pesangon dapat diberikan pertahun semacam gaji ke-13 atau diberikan per-bulan. Cara yang pertama ini lebih sederhana dan praktis, karena pihak Pengusaha dapat mengestimasikan Labor Cost pertahun dan tidak perlu mengeluarkan biaya jika sewaktu-waktu terjadi Pemutusan Hubungan Kerja. Demikian pula bagi buruh ada jaminan penerimaan uang pesangon yang pasti. Kedua, uang pesangon tidak dimasukkan sebagai unsur upah/gaji, tetapi ditentukan dalam jumlah tertentu. Dalam hal ini pesangon diberikan pada saat buruh diputuskan hubungan kerja. Cara yang kedua ini tidak menjamin kepastian diterimanya pesangon oleh buruh, karena hak itu harus diperjuangkan tidak turun dari langit. Demikian pula bagi pengusaha tidak dapat mengestimasi Labour Cost secara pasti dan memakan energi.

Peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku dan yang berlaku saat ini menganut sistem atau cara yang kedua. Pada awalnya hal ini tercermin dalam Peraturan Menteri Perburuhan No. 9 Tahun 1964 tentang Penetapan besarnya Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian beserta perubahannya yakni Peraturan Menteri Perburuhan No. 11 Tahun 1964. Kemudian diganti Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 04/Men/1986 tentang Tata Cara Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian. Selanjutnya diganti lagi dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 03/Men/1996 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian di Perusahaan Swasta. Kemudian diganti lagi dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 150/Men/2000 tentang Peneyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian di Perusahaan. Akhirnya ketentuan tentang Perhitungan Pesangon ini diatur dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Perubahan pertama, kedua dan ketiga yang terjadi pada Era “Single Union System” dapat berjalan mulus, tanpa menimbulkan masalah. Tetapi perubahan keempat dan kelima pada Era “Multi Union System” tidak berjalan mulus oleh karenanya telah menimbulkan atau terjadi demonstrasi buruh yang dapat mengganggu iklim investai.

Berangkat dari kenyataan tersebut, saya berpendapat sebaiknya pada era “Multi Union System” ini, Pemerintah sudah waktunya mengurangi perannya dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja. Berikan kebebasan kepada Serikat Buruh dan Pengusaha untuk menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerjanya sendiri. Dengan kata lain marilah kita menggeser Pola Hubungan Industrial kita dari “Corporatist Model” ke ”Contractualist Model”.

*) Penulis adalah Guru Besar Hukum Perburuhan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar: