06 Desember 2007

Majalah TIARA dibunuh atau KJ disingkirkan?

Juli 1999, suasana manajemen Gramedia Majalah sesungguhnya lagi gerah. Beberapa majalah dinyatakan ngos2an, kerena konon oplagnya di bawah target. Dalam rapat2 rutin tiga bulanan di ruang rapat Dirkel di Jalan Palemarah, sudah sering pihak distribusi melaporkan adanya kemerosotan tiras. "Kami sudah mencoba berbagai jurus, tapi tidak mengangkat juga," kata Harry Sunarko, bos distribusi.

Kemerosotan tiras sesungguhnya bisa digantikan dengan pemasukan iklan. Dalam hitungan saya, waktu itu, untuk penambahan tiras 5.000 eksemplar, hampir sama nilai rupiahnya dengan iklan satu halanan full color. Tapi bagian iklan celakanya juga melaporkan bahwa biro iklan atau pengiklan yang berminat pasang iklan di TIARA di bawah target. "Kami angkat tangan," kata Tommy Anwar, kepala bagian iklan. Itu maksudnya, dia dan timnya sudah bekerja keras tapi tetap sia-sia. Jadi, siapa yang salah? Merasa tersindir, pihak promosi langsung membantah, bahwa kesalahan bukan dari pihaknya. "Kami sudah melakukan semua yang bisa kami lakukan," kata Benny Sumantri sambil membeberkan data-data pengeluaran pemasangan iklan dan kerjasama dengan media massa di sejumlah kota dan lain-lain. Jadi siapa yang salah?

Seperti biasa, elit manajemen tidak mau ambil pusing, mencari kambing hitam. "Kalau memang tidak naik oplagnya, ya bubarin saja," kata Evie Fajari, orang nomor satu di sana dengan enteng. Widi Krastawan dan Adrian Herlambang, waki2l Evie, dengan image seperti sudah lama dikenal di benak karyawan gramedia majalah --yaitu tidak mau berdebat dengan bos-- lantas mengamini. Hasilnya sebuah skenario pahit: Majalah Jakarta-Jakarta yang waktu itu dipimpin sastrawan Seno Gumira Ajidarma harus segera dilikuidasi. Sesudah itu, majalah TIARA yang saya pimpin rencananyanya akan dibubarkan. Widi ditugasi menghubungi Sigit Suryanto, Kepala PSDM (Akoronim itu seringdiplesetkan karyawan menjadi Pembusukan/ Pembinasaan Sumber Daya Manusia), untuk merealisasikan niat 'jahat' itu.

Meski bersifat rahasia, skenario yang dibuat di dalam bilik kedap suara di lantai 5 kantor Manajemen Gramedia Majalah berkantor, segera merebak. Saya mendengar dengan seksama dan tidak terlalu kaget dengan jalan pikiran seperti itu. Sudah lama, ancaman2 serupa dilontarkan kepada beberapa majalah di sana. Para pemred (pemimpin redaksi) sudah hapal gertak sambal itu. Dan sejauh itu memang tidak pernah menjadi kenyataan. Ada yang bilang, Pak Jakob Oetama tak pernah merestui rencana pembubaran, yang berarti akan membuat banyak karyawan di PHK. Orang tua itu, memang sudah lama dikenal sangat bijak dan berpikir visioner. Berkali-kali, JO --begitu ia biasa disebut secara bisik-bisik di kalangan karyawan-- mengatakan bahwa misi gramedia, termasuk kompas, tak hanya mencari laba semata, tetapi juga membantu program pemerintah dalam mengatasi angka pengangguran. Jadi, saya kira, manajamen majalah memang ketanggor JO.

Di hari-hari itu pula, saya dipanggil Wadirkel Majalah Widi di ruangan PSDM di Jalan Palmerah. Harap maklum, pada saat itu, kantor manajemen majalah dipusatkan di Jalan Palmerah Selatan, sehingga praktis di Jalan Panjang hanya berisi kantor-kantor redaksi. Di situ ada Sigit, sang pemilik ruangan. Tanpa banyak basa-basi Widi langsung mengingatkan saya akan pertemuan saya beberapa minggu sebelumnya.

Pertemuan apa? Baru saya ingat. Sekitar beberapa minggu sebelum itu, kami memang bertemu. Saya waktu itu menyampaikan keinginan saya untuk mengundurkan diri dari jabatan sebagai Pemimpin Redaksi Majalah TIARA. Saya beralasan, saya lagi tertarik untuk membangun media online, setelah melihat kenyataan TIARA Online ternyata punya pembaca banyak. "Sayang sekali kalau tidak dipelihara,"begitu argumen saya.

Widi nampak kaget, lalu menanyakan, kalau saya keluar, siapa yang akan menggantikan saya nantinya? Saya jawab: Ada Dharnoto, Redpel saya, dan Widya Sarawsati Waredpel saya. Di bawah mereka juga ada Victor Manahara, Harry Barus, Julie Erikania dll. "Tidak masalah. Mereka cukup kapabel," kata saya meyakinkan.

"Wah, saya kira, (penggantian semacam, penulis) itu tidak gampang. Ini masalah uang milyaran. Manajemen tidak begitu saja percaya pada sembarang orang," kata Widi. Seingat saya, Sigit, yang hadir pada waku itu ikut mempertegas ucapan Widi, bahwa untuk menjalankan unit usaha, perusahaan harus mempercayai orang tersebut.

Kesimpulannya permintaan saya untuk mundur ditolak dan tetap mengelola TIARA. Jadi, punah sudah rencana saya untuk mengelola sebuah media online, yang saat itu saya pikir belum banyak dipikirkan orang

Pertemuan itu saya ingat. Saya tergagap.

"Jadi permintaan saya untuk mundur dikabulkan?" tanya saya.

Widi cengengesan. "Kon ngerti ae," katanya. Kamu ngerti aja, maksudnya. Wah hati saya senang bukan kepalang. "Nanti kon boleh kelola, karena kita mau bikin Media Online"
Tapi?

"Karena itu TIARA mau dibubarin," kata Widi lugas.

Jengah saya. Sungguh mampus, saya tidak ngerti sama sekali kaitannya antara permintaan saya mundur untuk mengelola media online dengan pembubaran TIARA.

"Mosok kon ora paham," kata Widi dengan bahasa Jawa. Masak kamu gak paham, maksudnya. "Oplag TIARA kan payah, kebetulan kon mengundurkan diri. Ya, kebetulan."

Saya mencoba membela diri karena menurut hemat saya, kondisi TIARA pada waktu itu masih mending, masih bisa ditoleransi, dibanding dengan kondisi majalah JJ.

Sigit menukas, maksudnya mungkin untuk menghibur saya bahwa nasib saya dan TIARA tidak sendirian. "JJ juga nantinya dibubarkan, kok."

Saya langsung naik pitam. "Wah, ini tidak adil. Kenapa bisa begini?"

"La kon juga wis ora gelem ngurus TIARA, buat apa diperpanjang?" kata Widi.
"Oke gitu aja ya," Widi mengakhiri pembicaraan. "Sekarang tinggal atur waktu, kapan saya dan Evie ketemu anak-anak (karyawan TIARA, maksudnya)."

Saya ngelokro. Badan saya lemes. Sudah jelas, manajemen telah mengambil momentum ini untuk menghabisi TIARA.

Yang menyesakkan hati, pembicaraan saya dan Widi plus Ketua PSDM lalu itu rupanya sudah beredar luas (sengaja diembuskan?) di kalangan karyawan.

Akibatnya berbagai gosip meruyak. Agak aneh, gosip itu seakan-akan menuding bahwa sayalah yang membubarkan TIARA. Saya tidak tau persis.

Hari itu untuk pertamakalinya saya melihat TIARA menjadi sebuah neraka. Saya masih ingat kata-kata Stanley, wartawan Jakarta-Jakarta lewat email yang menyemangati saya agar melawan manajemen majalah bila pemberangusan tiba. (Setahun kemudian, ketika Majalah Jakarta-Jakarta akhirnya diberangus juga --ada debat sengit dengan Widi Krastawan, yang mewakili manajemen KKG Majalah-- tokoh ini bersama kawan-kawannya menerbitkan buletin "Suara Serikat" sebagai media perlawanan). Tapi hari itu, semangat saya yang berkobar itu mendadak sirna.

Sungguh. Hari itu saya tidak melihat lagi persahabatan dan ketulusan di majalah yang saya dirikan dan terbitkan hampir 10 tahun lalu itu. Saya juga tidak melihat lagi wajah penuh damai wartawan-wartawan TIARA yang saya rekrut, saya latih, dan saya pupuk agar menjadi wartawan yang andal.

Alih2 bersikap kompak, kini saya melihat karyawan mulai mencari selamat sendiri2. Victor dan Harry Barus cs mulai kasak-kusuk. Dengan nada tidak bersahabat, Victor malah terang2an meminta saya, agar kalau memang saya sudah tidak sanggup mengelola TIARA supaya saya menyerahkan saja tampuk kekuasaan pada mereka. Sementara itu, konon ada ketakutan bahwa Widya Saraswati, yang selama ini disebut-sebut sebagai 'anak kesayangan' saya tapi sekaligus tidak disukai karyawan akan menggantikan saya sehingga mereka mendaulat Dharnoto untuk menjadi juru selamat. Gilanya, sebagai Redaktur Pelaksana, Dharnoto dengan gaya khasnya mencoba menenangkan karyawan dengan mengatakan akan mengambilalih TIARA. Apakah Not tidak sadar bahwa langkahnya itu semakin membuat kegelisahan makin merajam?

Begitulah. Kini karyawan-karyawan TIARA yang saya banggakan pada berebutan mencari posisi, dan mencari jalan selamat sendiri-sendiri.

Adalah di hari-hari itu, Evie, Widi, Sigit dan lopan (tauke besar dalam bahasa Cina) Adrian datang ke kantor TIARA di Jl. Panjang, Lantai 2, mengumumkan pembubaran itu. Seingat saya, Victor cs sempat mengajukan berbagai solusi, seperti kesanggupan menangani TIARA dlsb. Selebihnya saya tak ingat lagi. Saya hanya diam 1000 basa bahkan ketika Evie menutup rapat dengan senyum kemenangan.

Yang saya ingat saat meninggalkan kantor, Widi menepuk pundah saya. "Ojo kondo-kondo karo Jakob," katanya berbisik.

Permintaan agar saya jangan melapor pak Jakob paling tidak menyindikasikan bahwa rencana pembubaran itu memang datang dari pihak manajemen bukan dari Pak Jakob. Bahkan saya yakin, Pak Jakob tidak tahu sama sekali rencana itu.

Melapor Jakob? Ada niatan itu sedikit agar masukan ke beliau tidak hanya dari satu sisi. Tapi niat itu segera saya tampik. Bukan untuk menuruti permintaan Widi atau Evie, tapi lebih karena hati sudah kecewa. Biarlah segalanya terjadi, kata hati saya.

Manajemen Gramedia Majalah tentu saja bersorak, TIARA tak hanya dibubarkan, tetapi KJ juga tersingkirkan dengan cara devide et impera, sehingga praktis tanpa perlawanan sama sekali.

Mmmm..... ada satu kisah yang saya masih ingat. Tak lama setelah rapat pembubaran itu, di malam hari, Sigit tiba-tiba menelepon saya agar saya menandatangani sejumlah surat mutasi karyawan. "Mas Jun harus datang saat ini juga," katanya. Jam sembilan atau jam sepuluh waktu itu. Karena tak ada alasan menolak, lagipula saya tetap ingin kooperatif, saya penuhi, dengan catatan, saya akan memeriksa agar pemindahan masing-masing karyawan itu sesuai keinginan masing-masing karyawan. Sigit menyanggupi. Dan surat itu saya teken.

Seminggu kemudian, saya baru tahu, karyawan-karyawan itu ternyata tidak ditempatkan sebagaimana yang saya harapkan. Merasa dikibuli saya telepon Sigit. Apa jawab beliau? "Apa boleh buat, Mas Jun sekarang kan sudah tidak punya hak dan wewenang lagi."

Mendengar jawaban itu, saya berdoa agar tidak perlu lagi melihat Kepala Pembinasaan Sumber Daya Manusia itu lagi. Saya hanya berdoa agar kariernya terus berlanjutan. Paling2 saya ucapkan kepadanya, "Sampai ketemu di puncak karier," persis seperti bunyi salah satu stiker majalah TIARA yang saya buat dulu.

Kisah di atas adalah 100 % kisah nyata. Bila yang bersangkutan tergerak ikut membaca kisah ini dan mungkin dengan berapi-api membantahnya, saya bisa maklum. Sudah pasti ingatan mereka pasti akan tumpul, karena sehari-hari telahn mengurus perusahaan yang besar itu. Tapi itu soal lain. Saya hanya ingin berbagi cerita belaka.

3 komentar:

Gusniar mengatakan...

Belum tuntas ceritanya,Tapi awal cerita yg bagus...kok semua orang pada cari selamat?saling menyalahkan sihh

k. junaedhie mengatakan...

Belum selesai bos. Banyak cerita, tangan dan otaknya cuma satu. Pokoknya, to be continued.

Anonim mengatakan...

Mas Jun dan kawan-kawan eks TIARA,
Saya memang tak banyak mendengar bagaimana ceritanya TIARA musnah dimuka bumi. Alasan klasik memang, soal tirasnya merosot. Tetapi ini memang sekali lagi membuktikan kekuatan bisnis yang paling menentukan mati hidupnya sebuah media, bukan lagi cita-cita dan idealisme orang didalamnya. Saya pernah ikut dalam perahu itu, pernah mendapat kesempatan berlatih. Hal yang hingga kini saya rasakan (dan hampir saja hilang karena lama tak diasah) adalah kemampuan menulis.

Hmmm.. saya jadi kangen ketemu teman2, dimana yang lain ya? Saya masih bisa mengikuti jejak mbak Wid, mungkin juga Yuli... yang lain?

Salam dari jauhhhh...

Imam Prakoso