30 Desember 2007

KKG Pasca-Jakob

(Tulisan berikut dikutip dari majalah SWA. Ada baiknya kita baca untuk mengetahui langkah-langkah CEO Kelompok Kompas-Gramedia yang baru.)

Kamis, 01 Maret 2007

Oleh : Firdanianty

Sejak tahun lalu, pucuk pemimpin Kelompok Kompas-Gramedia berganti. Bagaimana CEO baru mengubah kultur lama?

Menjelang tutup tahun 2006, Agung Adiprasetiyo bertambah sibuk. Ia bukan hanya bekerja lebih panjang dari hari-hari biasanya, tetapi juga harus mengetahui persis kondisi ke-66 perseroan terbatas (PT) di bawah Kelompok Kompas-Gramedia (KKG). Dalam sehari, paling sedikit rapat dengan 4-5 unit usaha digelarnya.

“Satu PT ada yang berisi satu suku usaha, ada pula yang berisi beberapa suku usaha,” katanya menjelaskan. Tak mengherankan bila pria yang telah berkarier 25 tahun di kelompok bisnis ini semakin sibuk. Sejak September 2006 Agung didaulat menjadi CEO menggantikan Jakob Oetama, yang bersama P.K. Ojong mendirikan kerajaan bisnis ini.

Barangkali, tak banyak orang tahu tentang pergantian kepemimpinan ini. Maklum, nama Jakob identik dengan KKG -- terutama Kompas. Harian umum yang dibidaninya bersama PK Ojong 42 tahun lalu itu seperti anaknya sendiri. Akan tetapi, Jakob -- yang di lingkungannya akrab disapa JO -- menyadari usianya tak semuda dulu lagi. Ia memang masih bersemangat. Namun, usianya yang telah melewati 70 tahun itu membuatnya harus memikirkan kelangsungan bisnis KKG.

Karena itu, alih kepemimpinan menjadi prioritas utamanya selama beberapa tahun terakhir ini. Menurut Agung, langkah mencari CEO baru itu dilakoni Jacob sejak lima tahun lalu. “Pak Jakob ingin mundur sejak lima tahun lalu. Namun perubahan itu harus berlangsung lancar, tanpa rock the boat. Mungkin itu salah satu cara Pak Jakob.”Agung mengaku sangat mengagumi sosok Jakob.

“Di satu sisi, Pak Jakob membawa saya sebagai profesional. Namun di sisi lain, ia seperti ayah dan terkadang seperti guru. Itu mungkin yang membuat saya dan kawan seangkatan mengaguminya sebagai founder,” ujarnya memuji Jakob. Karena itu, ketika terpilih sebagai CEO KKG menggantikan Jakob, ia tidak membayangkan akan melakukan transformasi.

“Saya bayangkan kultur di sini seperti agama, sama halnya dengan Pak Jakob membawa visi kemanusiaannya. Visi yang dibawa Pak Jakob adalah menghargai manusia seutuhnya. Sehingga ketika sudah terbentuk seperti itu, sudah mendarah daging. Tentu saja, tidak mudah jika harus turn around atau switch arah.”Apakah itu berarti bahwa nilai-nilai yang diturunkan Jakob akan tetap dipertahankan? “Intinya, ya. Bagaimana kami membawa nilai-nilai itu ke dalam situasi hari ini, namun tidak persis seluruh filosofi seperti itu,” kata Agung seraya memberi contoh, “Meski namanya kemanusiaan, bukan berarti oang bisa seenaknya sendiri ketika masuk ke lembaga ini.”Lantaran itu, Agung merasa bukan pekerjaan mudah mengubah KKG dengan kondisi yang sudah terbentuk seperti sekarang.

“Yang saya lakukan adalah mengidentifikasi kembali, lalu memberi dimensi kekinian. Itu saja yang saya bayangkan,” tuturnya realistis. Sejauh ini, masalah SDM menjadi perhatian utamanya. “Mengubah teknik marketing atau produksi mungkin bagian terkecil. Tetapi, bagian terbesarnya adalah membawa SDM ini kepada situasi persaingan baru yang benar-benar berbeda dari 15 tahun lalu,” ia menandaskan.

Agung benar. Ambil contoh Kompas, yang selama ini dianggap sebagai koran terbesar di Tanah Air. Sekarang, kondisinya berbeda. Kompas bukan lagi satu-satunya harian pilihan pembaca. Ada puluhan bahkan ratusan koran yang ada di hadapan pembaca. Tak cuma itu. Di luar media cetak, masyarakat masih disodori berbagai informasi dari media elektronik seperti televisi dan radio. Dengan kata lain, informasi bisa diperoleh dari mana saja. Pesaing begitu banyak dan ganas pula.

“Para pesaing tidak memberi ruang sedikit pun kepada yang lain untuk hidup,” ujar Agung memberi komentar. Bahkan, ilmu yang datang dari militer pun terkadang diterapkan dan hanya mengenal prinsip: saya yang akan hidup, atau kamu yang mati. Kondisi seperti itu, diharapkan Agung, dapat membuka mata karyawan KKG yang kini berjumlah 11.300 orang untuk tidak merasa nyaman.

“Ini membawa kesadaran kepada banyak kawan di KKG bahwa survival adalah bagian penting dari kapal besar ini. Ketika banyak sekali orang terbuai dengan kebesaran KKG, justru inilah PR (pekerjaan rumah) besar yang saya bawa ke depan,” ujar Agung menegaskan. Diakuinya, sejauh ini Jakob tidak benar-benar meninggalkan KKG.

“Pak Jakob masih memimpin. Senior prime minister-lah posisinya sekarang,” tutur Agung diiringi tawa. Tentu, tak mudah bagi Agung mengubah persepsi karyawan. Terlebih, bayang-bayang Jakob masih mengiringinya. Selama ini, “Di KKG mataharinya adalah Jakob Oetama. Saya sendiri tidak membayangkan menggantikannya. Ia dikenal sebagai tokoh dan orang yang baik, juga pemilik perusahaan. Saya tidak memiliki itu semua, dan tidak berkehendak menggantikan ‘matahari’,” ujarnya merendah. Akan tetapi, menurut Agung, Jakob pernah berkata, “Gung, kamu dikatakan berhasil jika perusahaan ini tidak mati saat saya wafat. Jadi, yang ada di benak saya kalau KKG ingin langgeng adalah, tidak mungkin lagi mengandalkan sosok seseorang. Sudah waktunya diganti dengan institusi.”

Dengan kata lain, Agung menerjemahkan kata-kata Jakob dengan membuat sistem yang baik dan solid. “Saya bisa saja besok tidak ada. Namun, saya tidak terlalu pusing membayangkan akan duduk di sini selamanya. Ke depan KKG harus tetap ada,” ujar Agung.

Dicontohkannya, “Dulu setiap ada persoalan di internal KKG, Jakob akan berpidato (turun tangan). Setelah itu, masalah langsung beres. Besok-besok siapa yang harus pidato? Saya bayangkan, yang menjadi mataharinya adalah sistem di perusahaan.”

Salah seorang karyawan, Theodorus Nung Antasana, mengakui bahwa tantangan yang dihadapi dunia bisnis kini lebih berat. Karena itu, GM Pemasaran PT Gramedia Pustaka Utama ini memaklumi kenapa karyawan dituntut harus bekerja keras dan berkinerja baik. “Dulu orang masuk KKG langsung merasa aman. Sekarang tidak bisa lagi,” ujar Nung yang dijumpai SWA pertengahan Desember tahun lalu usai acara peluncuran buku Pengantin Gypsi dan Penipu Cinta di Toko Buku Kinokuniya, Sogo, Plaza Senayan.

Kendati demikian, ia optimistis memandang masa depan KKG. Di tempat terpisah, seorang wartawan dari salah satu majalah di bawah KKG yang tak berkenan disebutkan namanya membenarkan, perubahan terlihat sejak Agung naik ke pucuk pemimpin.

“Seusai rapat kerja dengan Agung Januari lalu, jajaran Redaktur Pelaksana dan Pemimpin Redaksi terlihat serius dan lebih gigih bekerja,” tuturnya. Mulanya, sang wartawan agak bingung melihat perubahan itu. Setelah ditelusuri, barulah ia tahu apa yang membuat bos-bosnya menjadi lebih rajin.

“Ternyata, orang-orang di ring 1 dan ring 2 (istilahnya untuk Pemimpin Redaksi dan Redaktur Pelaksana – Red.) itu akan dinilai juga. Ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Hasil penilaian itu bisa membuat mereka naik pangkat atau malah sebaliknya, digantikan bawahannya jika tidak perform,” tuturnya lugas.Wartawan ini mengakui, sebelum Agung jadi CEO, sistem penilaian kerja sudah ada. Namun, menurutnya, sekadar formalitas alias tidak ketat.

“Dulu di bawah Pak Jakob yang penting kami bekerja dengan baik, dijamin tidak akan di-PHK-kan. Sekarang ukurannya tidak lagi seperti itu,” katanya. Ia juga diberitahu atasannya agar bekerja lebih gigih agar medianya tidak ditutup lantaran merugi. “Saat ini unit usaha yang tidak berkinerja baik akan ditutup,” katanya lagi tandas. Ia sendiri secara pribadi setuju dengan sistem dan budaya kerja yang ditawarkan Agung. “Bagi saya, asal job description-nya yang jelas serta sistem penilaiannya adil dan transparan, tidak menjadi masalah,” tuturnya.

“Bila ingin berpacu dengan pesaing, karyawan KKG memang harus bekerja keras.” Sehubungan dengan itu, Agung memaparkan strategi dan taktiknya dalam melaksanakan visi KKG.

“Pertama, yang saya lakukan adalah melakukan road show,” ujarnya. Dalam hal ini, ia berupaya menyadarkan karyawan bahwa industri media telah mengalami pergeseran luar biasa.

“Menurut AC Nielsen, media elektronik penetrasinya sampai 90%. Sementara media cetak justru turun dari 60% ke 40%. Dari situ saja terlihat bahwa kita hanya sekadar bangga dengan romantisme media cetak. Sekarang televisi telah mengambil porsi yang sangat besar,” ujarnya. Di luar itu, masih ada mobile phone dan Internet. Ketika semuanya digabungkan, itu akan mengubah gaya hidup konsumen dalam mendapatkan informasi.

Langkah kedua Agung adalah mendorong peningkatan produktivitas dan performa karyawan. Kalau digambarkan, misalnya, manusia terdiri atas sumbu X yang berisi watak, dan sumbu Y yang mencerminkan produktivitas. Maka, selama ini para pendiri lebih menekankan pentingnya memiliki watak baik. Namun, ketika hanya itu yang dikedepankan, masalah performa jadi kurang diperhatikan. Sekadar contoh, selama ini karyawan -- di luar redaksi -- yang bekerja dari pukul 08.00-17.00 sudah dianggap baik.

Menurut Agung, itu belum cukup. Seluruh karyawan juga dituntut memberikan yang terbaik bagi perusahaan. Lagi-lagi, disadarinya, ini tidak mudah. “Mungkin masih ada yang tidak percaya, lalu protes. Tapi biar saja, itu bagian dari cara kami berkomunikasi,” tutur Agung mengakui bahwa itu adalah langkah yang harus ditempuh dan dibangun di KKG.

Pria yang bercita-cita menulis dan mengajar ketika pensiun nanti ini mengungkapkan, KKG membagi usahanya ke dalam dua kelompok besar: knowledge-based industry dan nonknowledge - based industry. Selanjutnya, knowledge-based industry dibagi dua: multimedia dan pencerahan.

Dalam kategori multimedia masuklah unit usaha radio, koran, televisi, majalah dan Internet service provider. Sementara di kategori pencerahan terdapat penerbitan buku, toko buku dan sekolah, termasuk Universitas Multimedia Nusantara yang baru dibesut KKG beberapa bulan lalu. Di samping itu, ada pula kursus komputer LPKP dan kursus bahasa Inggris ELTI.

Sementara untuk nonknowledge-based industry, ada unit perhotelan dan kertas tisu. Ke depan, bisnis inti KKG akan tetap berada di knowledge-based industry yang diperkaya dengan program-program digital publishing.

Sejauh ini, menurut Agung, industri media ditakar oleh bujet iklan nasional yang besarnya hanya Rp 24 triliun. Nilai itu masih terbagi-bagi ke media cetak, TV, radio, dan lain-lain. “Makin lama industri media cetak menjadi industri kelas menengah karena perkembangannya tidak lebih cepat dari industri lain. Saya bayangkan, ke depan yang berkembang cepat adalah industri telekomunikasi dan infrastruktur serta lembaga-lembaga keuangan karena limitnya langit,” ujar pemburu tempat makan baru ini.

“Jadi, kalau saya mau mendorong pertumbuhan perusahaan, tidak mungkin mengandalkan industri media lagi. Kami harus mengarah ke industri yang batasannya langit, seperti penerbitan buku,” tutur pria yang juga mengajar periklanan di Universitas Trisakti ini. “Prinsipnya, selama masih ada orang yang ingin pintar, bisnis penerbitan tidak akan mati,” ujar lulusan S-1 Manajemen IKIP Sanata Dharma Yogyakarta dan Magister Manajemen LPPM itu. Dalam rapat yang diselenggarakan akhir tahun lalu, Agung menggambarkan, masing-masing strategic business unit (SBU) mempresentasikan kinerjanya selama setahun dan prediksinya ke depan.

Hal yang sama juga dilakukannya pada grup koran daerah yang membawahkan 11 unit. Semua pemrednya dipanggil ke kantor pusat KKG untuk melaporkan kondisinya. Saat rapat, Agung mengaku lebih banyak mendengarkan. Laporan keuangan yang dipaparkan masing-masing unit adalah salah satu contoh pertanggungjawaban yang disimak Agung. “Masing-masing suku usaha meski tidak punya holding, koordinasi finansialnya di bawah satu atap KKG,” ujar kelahiran Semarang, 18 Oktober 1958 ini.

Namun, Agung tidak hanya sekadar mendengarkan. Dia juga bertanggung jawab memberikan arahan besar kepada seluruh karyawan KKG bagaimana menghadapi tantangan hingga 2010 berikut target-targetnya. Mengingat satu SBU bisa terdiri dari belasan bahkan puluhan unit usaha, target itu akan dibagi-bagi lagi ke masing-masing unit usaha.

“Masing-masing SBU membagi sendiri untuk tiap unitnya. Misalnya, hotel. Target SBU hotel akan diperinci, berapa target di Bali dan berapa di Cirebon,” kata Agung memberi contoh. KKG juga terus menguatkan dan mencari pilar lain untuk meraih untung dalam berbagai bisnis.
“Bisnis hotel masih bagus. Kami masih di kelas bintang 4 dengan Santika Group,” katanya. Saat ini Hotel Santika berekspansi ke Bogor (menempel Botani Square, yang terletak di bekas Kampus Institut Pertanian Bogor Jl. Pajajaran), serta di Medan.

Selain Santika, KKG pun memiliki butik hotel Kayana di Bali. Sementara itu, di segmen menengah akan dikembangkan Hotel Amaris. Sayang, Agung belum dapat memastikan hotel tersebut akan dibangun di mana. Setelah ditelisik, tidak semua hotel di bawah jaringan Santika, Kayana maupun Amaris dikelola KKG. “Hanya 3-4 hotel yang manajemennya dipegang KKG dari total 15 hotel yang kami miliki,” ungkapnya. Selama ini, ia membenarkan, yang memberi kontribusi pendapatan terbesar KKG adalah bisnis multimedia dan pencerahan, yakni sekitar 85%. Sisanya disumbang bisnis perhotelan, 15%.

“Pertumbuhan kami sejauh ini masih mengikuti inflasi ditambah 1%-2% saja. Karena mengikuti industri iklan nasional, kalau nasib ekonomi turun, kami ikut turun. Sebaliknya, kalau ekonomi naik, ya ikut naik,” kata Agung yang mengaku tidak pernah menghitung aset KKG. Lantas, berapa pendapatan dari bisnis media KKG? Agung menggelengkan kepala lantaran tidak ingat angkanya. Namun, ia memberikan gambaran sebagai berikut.

“Dari Rp 24 triliun bujet iklan nasional bruto, saya menduga nettonya setelah dipotong diskon iklan untuk agensi, bonus-bonus dan sebagainya sekitar 60% atau Rp 14,4 triliun. Dari jumlah itu, media cetak baik koran dan majalah mendapat share 31% atau sekitar Rp 4,46 triliun. Pembagiannya, 26% surat kabar nasional dan 5% majalah nasional. Nah, pangsa pasar kami sekitar 24% (gabungan koran dan majalah KKG – Red.). Maka, perolehan pendapatan KKG dari bisnis media cetak sekitar Rp 1,07 triliun,” ujarnya. Itu baru dari bisnis media saja, belum termasuk hotel dan tisu (ada beberapa merek, antara lain Tessa, Multi, Dinasty, Bobo dan Nova).

Bagaimana dengan Trans 7? Sebagaimana diketahui, sebagian kepemilikan stasiun TV yang dulu bernama TV 7 ini telah berpindah ke Trans Corporation milik pengusaha Chairul Tanjung – empunya Trans TV. Mengenai Trans 7, Agung menolak mengatakan bahwa stasiun televisi itu mengalami pendarahan keuangan yang hebat sehingga terpaksa dijual ke pihak lain. “Kalau dibilang berdarah-darah, tak cuma stasiun TV,” ujarnya.

“Semua industri baru yang hidupnya kurang dari empat tahun memang merugi. Semua investasi kami di Trans 7 selama ini masih masuk dalam asumsi-asumsi kami. Jadi, ini bukan semata-mata persoalan keuangan, namun ke depan kami merasa perlu berlari lebih cepat,” tuturnya menjelaskan.

“Berdasarkan beberapa asumsi yang kami punya, saya rasa Trans 7 justru di atas asumsi kami,” lanjutnya. Kenapa pilihannya jatuh ke tangan Trans TV? “Mungkin karena kecocokan,” jawabnya. Hingga 2008, fokus pekerjaan Agung di KKG masih pada pembenahan sistem dan SDM, antara lain meliputi rekrutmen, evaluasi jabatan, job grading dan penilaian kinerja.
Harapannya, di 2008 sebagian besar karyawan sudah lebih siap mental menyongsong tantangan baru yang makin besar. “Ini semua persoalan-persoalan besar yang harus bisa digambarkan dengan sederhana, sehingga bisa dianggap sebagai tantangan pribadi.”

Dalam hal benah-benah, Agung tidak main-main. Selain menggunakan konsultan WatsonWyatt untuk melakukan job grading, KKG juga mengundang lembaga yang dianggap berhasil melakukan alih generasi dan kepemimpinan.

Tujuannya, tak lain untuk berbagi pengalaman. Contohnya, PT HM Sampoerna yang berhasil melakukan alih kepemilikan dengan mulus-mulus saja. KKG juga mengundang PT Unilever Indonesia dan PT Astra International untuk berbagi hal yang sama.

“Selain dengan konsultan, kami adakan banyak forum dengan harapan proses perubahan ini terus bergulir dan kami bisa belajar dari pengalaman orang lain.” Perubahan yang digaungkan Agung, dinilai Direktur Pengelola Red Pyramid Steve Sudjatmiko, sudah benar. “

Agung menunjukkan sesuatu yang penting dengan menggambarkan ancaman yang akan datang di industrinya. Ia bisa memberi gambaran ke karyawan bahwa kalau ancaman itu menghadang KKG, ribuan orang akan kehilangan pekerjaan. Jadi, sebelum PHK terjadi, kita harus berubah dulu. Memang sakit, tapi dibandingkan PHK, rasa sakitnya lebih ringan,” kata Steve memberi ilustrasi. Steve yang juga konsultan spesialis change management ini menekankan pentingnya kesepakatan antara karyawan dan perusahaan tentang target yang akan dikejar.

“Mereka harus sepakat bahwa penilaiannya akan seperti itu dan yang harus dikejar adalah target ini. Selain itu, orang-orang yang terlibat harus sepakat bahwa ini adalah tujuan bersama,” ujarnya.

Yang juga penting, ia menambahkan, manajemen harus memberi masukan kompetensi apa yang harus diubah dan berapa lama karyawan diberi waktu untuk berubah. Jika ada yang terbukti melanggar kesepakatan itu, hukumannya pun harus fair. Agung juga harus bisa memetakan keunggulan dan kelemahan setiap unit bisnis.

“Perubahan harus bisa menjaga kompetensi yang ada. Jangan sampai, kompetensi yang sudah bagus dikorbankan,” kata Steve menegaskan. Maka, manajemen harus melihat kompetensi karyawan saat ini dan apa yang membuat mereka bisa menghasilkan karya begitu hebat. “Dari situ, harus dilihat juga apakah perubahan ini akan mengganggu kompetensi mereka atau tidak,” tuturnya mewanti-wanti.

Seandainya Agung ingin melakukan perubahan budaya, menurut Steve, ia harus menyadari bahwa norma-norma, tingkah laku dan keyakinan baru akan berubah setelah 4-11 tahun. “Itu pun jika kondisinya urgen,” katanya tandas.

Jika tidak urgen alias baik-baik saja, akan membutuhkan waktu lebih lama. Berkaitan dengan nilai-nilai positif di KKG, Agung berujar, yang akan dipertahankan, pertama adalah watak baik. “Setiap karyawan baru akan dilihat, apakah cocok bergabung dengan filosofi kami ataukah tidak,” ujarnya.

Nilai kedua adalah menjaga harmoni. “Setiap orang tidak dibiarkan terbang sendiri. Kepada karyawan baru saya katakan, ‘Yang penting bagaimana kita bisa diterima di lingkungan baru. Simpan saja dulu kemampuan yang hebat-hebat, jangan langsung ditunjukkan di hari pertama.’ Biasanya kalau itu terjadi di hari pertama, orang itu akan mental. Karena itu, yang perlu dijaga adalah harmoni’,” ujar mantan Direktur Pengelola TV 7 ini.

Memang, Agung menyadari, nilai-nilai tersebut akan membuat proses pengambilan keputusan menjadi lebih lama karena tim harus kumpul dulu. “Ini salah satu kelemahannya. Tapi di sisi lain, saya tinggal mendorong sehingga tim bisa bekerja dan keputusannya diambil cepat. Kalau perlu, melakukan rapat pada pukul 7-8 malam yang selama ini dianggap aneh.” Agung memperkirakan, akan ada karyawan yang tersinggung dengan budaya baru ini.

“Saya rasa itu dinamika biasa. Kalau sebagai pemimpin kita ingin populer, ingin baik terus, mungkin jadinya tidak mengambil keputusan apa-apa, tidak mengubah apa-apa. Sekali-kali memberi kejutan yang konsisten,” ujar pria yang selalu tersenyum ramah itu.

Meski demikian, Agung menekankan, saat ini KKG akan konsolidasi dulu. Selama ini, ia menilai, KKG berangkat dengan model bisnis tanpa segmentasi. “Kalau butuh percetakan, kami bikin. Butuh hotel, kami bikin. Tapi, tidak terpikir segmentasinya. Moto Kompas yang dulu: ‘Harian untuk Umum’, itu cerminan semua bisnis yang kami buat serba umum,” ujarnya.

Namun, ketika kini menghadapi perubahan selera konsumen, KKG harus mulai memikirkan segmen yang dituju agar lebih spesifik. Hal ini sejalan dengan yang dipikirkan Steve. Ia pun berpendapat, setelah Jakob tidak ada, semuanya mungkin akan berubah. Apalagi, media-media besar dari luar negeri seperti Fortune, Forbes dan Strait Times dalam waktu dekat ditengarai juga akan masuk ke Indonesia.

“Menurut saya, di kemudian hari Kompas harus lebih spesifik. Akan menjadi harian ekonomi-politik atau khusus budaya dan internasional saja,” katanya menyarankan. Akan tetapi, Steve memprediksi, perubahan seperti itu baru akan terjadi kira-kira 15 tahun lagi.Ke depan, bisa dipastikan warna Agung akan memengaruhi KKG. Kendati demikian, Steve menilai, Agung tetaplah hasil didikan Jakob selama puluhan tahun.

“Jadi, perubahannya tidak akan terlalu banyak. Karakter KKG masih akan tetap mengayomi,” katanya yakin. Sebelum menjadi CEO, Agung sempat bertanya-tanya, apakah dirinya sanggup menjalani tugas ini? Kini pertanyaan itu terjawab. Ternyata, sejauh ini semuanya baik-baik saja dan terkendali meski sempat terjadi gejolak internal di Kompas. “Begitu pula respons rekan-rekan ketika kami road show, baik-baik saja,” ujarnya.

Agung sadar apa yang dijalaninya saat ini hanya sebagai jaket. “Saya bekerja atas mandat pemilik. Saya sadar, yang namanya pemilik bisa tiba-tiba meminta saya melepaskan jaket. Ketika itu terjadi, saya tidak boleh merasa berat. Sebagai profesional, setinggi apa pun pangkatnya, saya tetap bukan pemilik,” tuturnya.

Reporter: Eddy Dwinanto Iskandar (swa)
Sumber: URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/praktik/details.php?cid=1&id=5588

Tidak ada komentar: