11 Desember 2007

Kenapa Gramedia Majalah Undercover?


Banyak teman2 di Gramedia Majalah kirim SMS saya. Tumben2an. Ada yang protes, ada yang marah, ada yang malah ngompori, ada yang cekakakan, ada yang cekikikan. Awalnya saya tidak tahu juntrungannya. Lama-lama sadar, mereka sudah membaca blog ini.

Rupanya judul blog: GRAMEDIA MAJALAH UNDERCOVER telah membuat pirsawan, punya asosiasi ke mana-mana. Maklum, sebelumnya ada novel dan film berjudul, "JAKARTA UNDERGROUND", terus ada buku laris karangan Dr. Inu, dosen IPDN, "IPDN UNDERCOVER". Bahwa judul itu diharapkan seru, tentu saja, iya. Tapi, bahwa saya berpretensi jadi Dr. Inu, tentu tidak. Apalah saya. Dr.Inu punya penyakit gula, saya tidak. Dr. Inu nekad, saya orangnya hati2. Mau terkenal? Tidak juga. Nama saya masih dikenal baik di kalangan sastrawan2 Indonesia yang tahu dulu saya suka nulis cerpen, dan puisi di majalah serius maupun majalah tidak serius. Di dunia pers saya sudah menghasilkan sedikitnya 3 buku: ENSIKLOPEDI PERS INDONESIA (Gramedia pustaka Utama, 19990), MENGGEBRAK DUNIA WARTAWAN INDONESIA (Puspa Swara, 1993), dan RAHASIA DAPUR MAJALAH INDONESIA (Gramedia Pustaka Utama, 1995). Di dunia yang saya geluti sekarang, saya sudah menerbitkan sedikitnya 5 buku tentang tanaman hias, antara lain: PEDOMAN MERAWAT AGLAONEMA, PESONA ANTHURIUM DAUN, JURUS SUKSES BERBISNIS TANAMAN HIAS dan JADI MILYARDER DARI ANTHURIUM, semuanya terbitan PT Agro Media Pustaka. Dengan portofolio yang saya punya, saya masih dipercaya jadi anggota dewan juri Yayasan Buku Utama selama bertahun2. Hehehehe.... Mau cari sensasi? Boro-boro. Saya sudah tua, giginya tinggal dua, impiannya cuma suarga. Sekadar contoh, kalau mau tahu tentang saya, klik saja di Google.

Mungkin saya frustrasi? Jangan memfitnah. Saya orangnya suka cengengesan. Frustrasi waktu kerja di Gramedia? Ah mosok? Seingat saya, karier saya bagus selama hampir 15 tahun bekerja di sana. Dua tahun jadi Redpel dan Wapemred Jakarta-Jakarta, kemudian 10 tahun dipercaya jadi Pemred TIARA, dan setahun dipercaya mengurus Kompas Online bersama Mas Ninok Laksono.

Saya mundur dari Gramedia Majalah juga bukan karena dipecat. Lagi enak-enak ngobrol dan ngopi, saya langsung menjabat tangan Widi Krastawan, pamitan. (Tentu saja sebelumnya saya sudah main mata dengan pihak Kompas, bahwa tenaga saya diharapkan banget). Kepada Widi saya bilang, mulai besok saya tidak datang lagi ke Jalan Panjang, tapi mau mau ngantor di Palmerah. Pak Widi, atasan saya yang budiman itu, melongo. Sebelum dia bertanya, saya sudah kabur dan melambaikan tangan. Itulah cara saya mengundurkan diri. (Ah, belakangan saya menyesal, kali2 Mas Widi menganggap saya tidak sopan.)

Saya mungkin satu2nya orang yang keluar dari Gramedia Majalah yang tidak pernah direpotkan oleh urusan administrasi. Umpamanya, saya tidak pernah diminta mengajukan surat pengunduran diri atau harus bertemu dengan para pejabat di PSDM Majalah. Pokoknya, otomatis saya sudah berstatus Kompas (Asal Anda tahu, untuk level yang sama, gaji di Kompas tingkatnya lebih tinggi dibanding di Majalah).

Di Kompas, saya diterima dengan baik oleh Mas Ninok Laksono,Mas Robby Sugiantoro, Mas Andrey Handoko, dan Mas Tommy (Pemimpin Redaksi). Saya dibuatkan newsroom, ditanya apa kebutuhannya, dan suka diajak rapat2. Di Kompas, saya sendiri bersikap pandai2 membawa diri, tidak mentang2 bekas pimpinan. Syukurnya, teman2 di Kompas, pandai juga menempatkan saya pada tempat yang pas. Sering mengajak saya ngobrol Rudy Badil, Liem Bun Cay, Maria Hartiningsih, FX Mulyadi, Dono, Rene dll.

Waktu kemudian saya mau keluar dari perusahaan Kompas/ Gramedia, saya menghadap Mas RB Sugiantoro. Ternyata itu pun tidak gampang, saya diminta berpikir ulang sampai 3 bulan, ditawari gaji naik, dan posisi lebih bagus. Saya tidak bergeming. Iman saya cukup kuat. Saya cuma terkenang pada Teori Maslow.

Ada wartawan senior Kompas mengingatkan bahwa anak saya masih kecil2 sehingga tak perlu keluar, tapi saya langsung potong: Justru anak saya masih kecil2, maka saya keluar. Wartawan senior lain, menyarankan saya tidak usah keluar. "Kalau sudah malas kerja, masuk kantor saja cukup. Tapi Anda jangan keluar," katanya. Dia lalu menunjuk Si A, yang rajin masuk kantor tiap pagi, tapi langsung kabur, si B, yang masuk kantor setiap hari, langsung ngetik, tapi tidak pernah ada tulisannya yang dimuat di Kompas, si C yang masuk kantor cuma tanggal 25, saat ambil gaji. "Pokoknya jangan keluar. Tiru saja tipe mana yang Anda inginkan."

Tapi saya tetap emoh. Dalam hati, kalau bisa, saya malah mau membayar, asal saya boleh keluar. Nyatanya saya dapat uang. Utang2 saya pada perusahaan dilunasi. Karena menurut perusahaan, saya punya jasa pada perusahaan. Alhamdulillah.

Setelah tidak lagi jadi orang kantoran, ternyata saya masih pula banyak dilamar perusahaan penerbitan besar. Saya cuma tertawa, "Ah, sampeyan gimana sih. Kalau saya mau bekerja, mah saya gak perlu keluar dari Gramedia," begitu kata saya. Ada juga yang menawari posisi bos. Saya geli sampai sakit perut. "Gaji berapa pun tidak membuat saya ngiler, Mas. Bagi saya yang penting, saya bisa merdeka." Itu jawab saya, seakan-akan anak konglomerat saja.

Tak terasa sudah hampir 7 tahun saya mundur dari Kompas, dan 8 tahun saya mundur dari Gramedia Majalah, tapi justru sekarang saya merasa banyak hal penting yang harus disimak, dan dikaji.

Tempat saya mencari nafkah sekarang, yaitu sebuah kebun di BSD, bersifat terbuka. Siapa saja boleh datang dan pergi. Beli tidak beli, tetap tengkyu, begitu kata pabrik kaos Jogger, Bali. Di antara yang datang, adalah teman2 dan kolega2 saya di Gramedia Majalah dan Kompas, ada juga teman2 dari The Jakarta Post. Sering kami ngobrol sembari ngopi. Awalnya tentu saja membahas tanaman, tahu-tahu ngobrol tentang kerjaan, dan kemudian merembet ke suasana perusahaan, ngrasani para bos, nggosipin kebijakan perusahaan dlsb. Terus terang dari sini saya jadi merasa keep in touch terus dengan almamater saya, tanpa saya minta, meski kalau mau jujur saya sudah ingin membuang kenangan jadi employee. Dari sini pula, timbul ide membuat blog ini. Kalau pegawai pabrik las, keluar bermimpi jadi tukang las, dan karyawan pabrik kaos kalau keluar pengen punya pabrik kaos sendiri, maka saya keluar dari perusahaan majalah, tidak pengenan bikin majalah. Bisa bikin blog, syukurlah. Apalagi, sebuah blog yang dibaca oleh Anda-Anda, yang dengan sukacita mau membuang waktu membacanya, meski dengan hati was2 karena takut namanya kesenggol. Rasain deh.

Jadi, wahai pembaca, blog ini pada dasarnya sebuah homage (penghormatan) bagi almamater saya, Gramedia Majalah, tempat "kudibesarkan". Kenapa disebut UNDERCOVER? Jelas saja, karena tulisan-tulisan di sini bersifat tidak resmi, dan sekadar catatan belaka yang ditulis di bawah meja. Bahwa di sana-sini ada kritik, jangan berhati tipis. Bersikaplah, positive thingking. Cuma kalau Anda membayangkan (atau mengharapkan) di sini akan ada tulisan2 yang membongkar skandal atau kebobrokan perusahaan, semacam Gramedia Majalah-Gate, lihat saja nanti perkembangannya. Saya enggak janji.

Merdeka! Sekali merdeka tetap merdeka.

Tidak ada komentar: