11 November 2008

Tips Penting Bagi Wartawan Lengser

Belum lama ini saya banyak diminta saran, pendapat atau nasehat oleh beberapa teman wartawan yang akan menjadi anggota Komunitas Pendi. (Pendi-=Pensiun Dini). Sebagai anggota Komunitas Pendi senior, tentu saja saya banyak menasehati mereka.

Intinya, saya mengakui bahwa sebagai wartawan yang bekerja di penerbitan pers, kita memang disegani dan punya relasi yang sangat luas. Dulu, misalnya, saya kenal mulai dari artis sinetron, presenter beken, kiyai kondang, penyanyi terkenal, aktivis, rektor, dirjen sampai menteri. Waktu itu saya bahkan bisa telepon mereka kapan saja sayamau, bahkan seenaknya kirim SMS meski isinya sekedar guyonan. Tentu saja, karena waktu itu saya memimpin sebuah penerbitan pers dan mereka jelas punya kepentingan dalam berdekatan dengan saya. Tapi bagaimana kalau kita tak lagi memiliki 'posisi' penting?

Di zaman saya bekerja di penerbitan pers sebagai redaktur pelaksana dan pemimpin redaksi, hal ini selalu saya katakan pada wartawan-wartawan. Saya selalu minta agar mereka tidak gampang belagu setelah kenal dengan pejabat dan pengusaha, dan jangan punya pendapat bahwa para narasumber itu akan menolong kita setelah kita tidak bekerja di kantor.

Ketika saya pensiun dini tahun 2001, saya mempraktekkan hal itu. Sebelum mereka men-delete nomor HP dan menghapus account email saya, saya lebih dulu 'menyembunyikan diri' dari mereka, alih-alih minta job atau proyek. Dan meskipun sebagai wartawan saya merasa tidak pernah pensiun atau mengundurkan diri, memang belakangan saya ingat2, tidak ada lagi dari para narasumber saya itu yang mau menghubungi saya. Positifnya, saya weruh sedurung winarah sehingga saya terbebas dari post power sindrom.

Tentu tidak semua seperti itu. Terbukti, Dr. Rhenald Kasali menjadi salah satu relasi saya dari begitu banyak relasi saya yang terkenal, yang tidak melupakan saya, setelah saya lengser. Bahkan di suatu kurun waktu, (mungkin kuatir saya tidak memperoleh nafkah lagi setelah tidak lagi dapat gaji dari Kompas Gramedia)dia memberi job saya dengan cara elegan, yaitu sering pesan bunga ke istri saya. Jeleknya, selama itu, saya tetap mencoba tidak mau berkontak langsung dengan beliau sehingga kesannya saya sombong 'kali. (Padahal saya cuma ingin tau diri)
Tentu saja tetap berhubungan baik adalah pekerjaan mulia, karena itu bagian dari silaturahmi. Cuma saya cuma ingin mengatakan, jangan terlalu mengandalkan mereka. Apalagi kalau yang diandalkan adalah hidup (keluarga) Anda.

Hal berikut yang saya utarakan kepada teman2 itu adalah kenyataan bahwa ide wartawan itu memang banyak. Tapi kalau dicermati, setelah tidak lagi bekerja di penerbitan pers, ternyata ilmu kita cuma satu, yaitu menulis. Sehingga kita sebagai wartawan lengser sering punya cita-cita baku: membuat suratkabar atau media cetak. Kita rupanya lupa, perusahaan penerbitan pers tidak sama dengan toko onderdil, atau bengkel motor. Seorang kutukupret di bengkel motor, kalau mau, dan serius, bisa saja menyaingi bekas majikannya dengan ikut membuka bengkel motor. Tapi wartawan lengser yang mau bikin penerbitan pers, perusahaan radio atau televisi? Mungkin saja, kalau Anda beruntung bertemu dengan investor yang mau percaya menitipkan uangnya untuk dipertaruhkan oleh Anda. Tapi jangan lupa, dengan cara itu Anda masih tetap jadi orang gajian, dan belum naik pangkat. Buat apa lengser dong?

Hehehe.... tidak lagi menerima gaji bulanan dan kehilangan tunjangan2 lain emang enak?

1 komentar:

aquayers mengatakan...

mirip kayak tv series Ugly Betty di mana Wilhemina cari investor pas mau mendirikan majalah baru.^^