25 Mei 2008

Bikin Majalah Itu Gampang (di Gramedia)

Orang Gramedia Majalah itu hebat-hebat. Bikin majalah, kayak bikin anak. Ceprot-ceprot. Hanya dalam waktu singkat, begitu bos di rapat memutuskan, majalah bisa langsung terbit. Bagus. Namanya, Gramedia Majalah. Bikin majalah mah perkara sipil.

Saya tidak memfitnah. Sumpah. Dulu waktu saya diminta membuat majalah TIARA, pun begitu. Mas Wendo hanya memberi waktu saya sebulan untuk staffing. Waktu saya bilang, mustahil karena PSDM (waktu itu) tidak punya database calon karyawan/ wartawan, Mas Wendo tidak mau tau. “Terserah kamu. Pokoknya bulan ketiga, terbit.”

Karena saat itu saya sudah jadi orang Gramedia Majalah dua tahun, maka saya bisa. Belum genap sebulan saja saya sudah berhasil merekrut 10 calon karyawan dan wartawan. Tentu saja, yang saya samber adalah orang-orang yang saya kenal, seperti Tine (Yustina Endah Rahayu) untuk sekretaris saya, Julie Erikania, dll. untuk reporter saya. Untung waktu itu belum ada istilah KKN. Juga, untungnya, mereka belakangan juga harus melewati test seperti lainnya. Ada yang diterima, ada pula yang terpaksa tidak terpakai. Biasa.

Saat itu, datang Dharnoto, yang kebetulan, sudah tidak betah di Jakarta-Jakarta. Pucuk dicinta ulam tiba, Dia saya jadikan Redaktur Pelaksana. Eh waktu lagi jalan, banyak wartawan dan karyawan JJ yang melamar juga. Enak saja. Yang saya terima Wicki, karena --hehehe....-- pacarnya teman saya, Gadung Bondowoso.

Ah, ini sekadar cerita betapa mudahnya bikin majalah waktu itu, entah sekarang, ketika zaman susah, persaingan banyak yang membuat konon para bos gampang bete.

Nah, persoalan baru muncul waktu majalah tersebut harus dijual.

Bos mah enak. Sambil duduk makan tempe goreng dan kopi (waktu itu sajian rapat adalah tempe goreng, kalau sekarang saya dengar sudah mulai Pizza Hut, dan Hoka Hoka Bento ya?) dia santai saja memasang target tiras penjualan selakigus memasang target perolehan iklan yang harus diraih dalam kurun waktu tertentu.

Kucluknya, para pimpinan di marketing seperti bagian penjualan (distribusi), dan iklan, mengangguk-angguk saja kayak burung kuntul. Mereka paling langsung meminta bagian promosi supaya mendukung. Usulan pun berhamburan untuk bikin alat promosi. Yang paling populer diusulkan waktu itu adalah: stiker, topi dan pulpen. Hahaha....

Begitulah, rapat bubar.

Adegan-adegan lucu mulai terjadi pada saat rapat evaluasi, pada bulan berikutnya, karena ternyata target meleset jauh.

Bagian distribusi ternyata tidak bisa menjual majalah sebagaimana yang ditetapkan. Demikian juga pihak iklan ternyata tidak bisa mendapat doku sebagaimana yang ditargetkan.

Para pihak yang disalahkan, tentu saja tidak mau kehilangan malu. Heran, seperti paduan suara mereka menuding bagian promosi, tidak bekerja optimal.

Orang distribusi bilang, stiker –seperti halnya Bantuan Langsung Tunai-- tidak disebar ke alamat yang tepat sehingga tidak tepat sasaran. Orang iklan mengamini. “Stikernya, kurang berkelas sih. Gampang luntur…..”

Orang promosi mulai gerah. Kalau boleh saja, dia pengen membanting gelas, dan mengobrak-abrik tempe goreng di meja rapat. Tapi melihat mata bos mentheleng, nyali merosot juga.

Supaya kelihatan tidak salah, paling gampang dia ganti menuding. “Redaksi sih…. Covernya jelek. Tidak berkelas. Isinya tidak bagus. Jadi percuma saja, promosi yang kita lakukan.”

Dan jangan lupa, di ruang rapat itu, juga biasanya ada petugas bagian pra-cetak. Tapi seperti sejawatnya, mereka juga biasanya, pinter ngeles. Kalau masalahnya agak serius, seperti dibilang separasinya meleset, atau warnanya enggak muncul, Mbak Lis (uups sori, saya keprucut nyebut nama) biasanya sudah punya formula khusus untuk 'menaklukkan' sampeyan. (Hehehe.... kalau ketemu, salam dari KJ!)

Nah kalau adegan-adegan mirip di atas berlangsung terus, --artinya tiras majalah Anda tidak naik-naik, atau iklan di majalah sampeyan tidak nambah-nambah juga-- dan Anda sebagai redaksi berada di pihak yang tidak berkutik sama sekali, yah, tunggu nasib sajalah. Majalah Anda --lambat atau cepat-- akan dilikuidasi alias ditutup. Kalau Anda dianggap menyebalkan, tidak kooperatif, malah lebih celaka. Anda dikasih target baru: boleh terus terbit, tapi harga majalah Anda dinaikkan. Mampus gak tuh. Jangan pikir macam-macam. Karyawan dan wartawan Anda akan diBKO-kan ke bagian mana saja. Yang suka artis, masuk ke tabloid artis, yang perlente masuk tabloid wanita, yang suka komputer masuk ke majalah komputer, yang suka tanaman dan bercocok tanam ya masuk ke .... bagian umum!

Anehnya, bagian distribusi, promosi, pra-cetak atau iklan sampai sekarang --di zaman reformasi, dan sudah ganti 4 presiden dan pak jakob pensiun-- tetap tidak pernah dilikuidasi untuk kesalahannya. Bukankah mereka juga seperti rocker, alias manusia juga, yang mestinya bisa bersalah? Atau cari penggantinya susah?

Hehehe... Saya tidak tau, apa dagelan semacam itu masih berlangsung di ruang rapat Anda. Kalau ya, kabari saya.

Tidak ada komentar: